Senin, 02 Juli 2018

ZAKAT, INFAQ, SHODAQOH DAN PUASA (Mata Kuliah : Tafsir Ahkam)


I.   PENDAHULUAN
Zakat merupakan salah satu pilar dari pilar islam yang lima, Allah Swt. telah  mewajibkan bagi setiap muslim untuk mengeluarkannya sebagai penyuci jiwa dan harta mereka, yaitu bagi mereka yang telah memiliki harta sampai nishab (batas terendah wajibnya zakat) dan telah lewat atas kepemilikan harta tersebut masa haul (satu tahun bagi harta simpanan dan niaga, atau telah tiba saat memanen hasil pertanian).
Zakat menurut istilah agama islam artinya „kadar harta yang tertentu, yang diberikan kepada yang berhak menerimanya, dengan berbagai syarat.“ Hukumnya zakat adalah salah satu rukun islam yang ke tiga, fardhu’ain atas tiap-tiap orang yang cukup syarat-syaratnya. Zakat mulai diwajibkan pada tahun kedua hijriyah. Firman Allah Swt: “Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'”.
            Puasa pada bulan ramadhan merupakan salah satu dari lima rukun islam. Dalam bahasa arab disebut shiyam atau shaum. Puasa atau shaum/ siyam menurut istilah Al-Quran ialah suatu ibadah yang sangat penting dalam syari’at islam. Yang pokok artinya adalah menahan. didalam peraturan syara’ dijelaskan bahwa shiyam adalah menahan diri dari makan dan minum dan segala hal yang membatalkan puasa pada waktu fajar sampai terbenamnya matahari, karena menjunjung tinggi perintah Allah. Maka setelah nenek moyang kita memeluk agama islam kita pakailah kata puasa untuk menjadi arti dari pada shaum itu. Karena memang ketika belum masuk islam, perintah puasa itu telah ada pada agama yang dianut sebelumnya.

II.  RUMUSAN MASALAH
1.   Bagaimana Tafsir Ahkam surat Al-Baqarah ayat 267 tentang zakat, infaq dan shodaqah?
2.   Bagaimana Tafsir Ahkam surat Al-Baqarah ayat 183-184 tentang puasa?

III. PEMBAHASAN
A.  Zakat, Infaq dan Shodaqah
1.   Surat Al-Baqarah ayat 267
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadap-nya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. Al-Baqarah: 267)

2.   Asbabun Nuzul
Al-Hakim, meriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi SAW memerintahkan ummat Islam agar mengeluarkan zakat fitrah dengan satu sha’ kurma. Lalu datanglah seorang membawa kyrma berualitas rendah. Maka turunlah surat Al-Baqarah ayat 267. Al-Hakim, At-Turmudi, Ibnu Majah meriwayatkan dari Al-Bara’, ayat ini turun berkenaan dengan kaum Anshar. Ketika memanen kurma mereka mengeluarkan beberapa tandan kurma, baik yang sudah matang atau belum matang yang diperuntukkan untuk orang miskin kaum Muhajirin dan seorang laki-laki sengaja mengeluarkan satu tandan kurma dengan kualitas buruk. Ia mengira diperbolehkan hingga turun ayat yang artinya “...dan janganlah kamu memilah-milah yang buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya...”. Yakni, tandanan kurma bermutu buruk yang seandainya diberikan kepadamu, kamu tidak mau menerimanya.[1] Sedangkan menurut Dr. Mardani, Allah menurunkan FirmanNya yang artinya “...Wahai orang-orang yang beriman! Infaqkanlah seagian dari hasil usahamu yang baik...”. Yang pada intinya sama, yaitu turun surat Al-Baqarah ayat 267.
            Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Dulu para sahabat memberi bahan makanan yang murah, lalu mereka menyedekahkannya. Maka turunlah ayat ini.[2]

3.   Munasabah
            Pada ayat sebelumnya QS. Al-Baqarah ayat 261-264 Allah mengemukakan sifat dan niat yang harus disandang oleh seseorang ketika berinfaq, seperti ikhlas karena Allah, niat membersihkan jiwa, menjauhi  sifat riya’ serta sikap yang harus diperthatikan setelah berinfaq yaitu, tidak menyebut infaqnya dan tidak pula menyakiti penenrimanya. Itu semua merupakan edoman yang berkenanan dengan orang yang berinfaq dan cara bagaiamna seharusnya ia berinfaq.[3]

4.   Tafsir Ayat
Menurut Ibnu Abbas ayat diatas mengandung perintah berinfaq dengan harta yang baik dalam hal ini adalah harta yang didapat dari jalan halal dan merupakan harta yang baik atau layak diterima  dan melarang berinfaq dengan harta yang diperoleh dengan jalan haram atau tidak layak diterima, beliau bertendensi dengan hadits bahwa Allah adalah Thoyyib dan tidak menerima kecuali yang thoyyib. Ketika Nabi ditanya oleh sayyidah A’isyah “makanan apakah yang boleh kami berikan pada orang-orang miskin? beliau menjawab “janganlah kamu memberi mereka sesuatu yang tidak kalian makan”. maka dalam redaksi ayat selanjutnya Allah menegaskan “Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya”. bahkan dalam surat ali imron ayat 92 Allah berfirman bahwa tidak akan memperoleh kebjiakan sehingga menafkahkan harta yang ia sukai.

a.   Zakat
Menurut lughat arti zakat adalah tumbuh (al Numuww) seperti pada zakat Al Zar’u yang artinya bertambah banyak dan mengandung berkat seperti pada zaka’ul maalu dan suci (thoharoh) seperti pada nafsan zakiyah dan qad aflaha man zakkaha. 
Sedangkan menurut istilah “Zakat” adalah memberikan sebagian harta yang telah diwajibkan oleh Allah Swt kepada orang yang berhak menerimanya sebagaimana yang telah dinyatakan dalam Al Qur’an, atau juga boleh diartikan dengan kadar tertentu atas harta tertentu yang diberikan kepada orang-orang tertentu dengan lafadz “Zakat” yang juga digunakan terhadap bagian tertentu yang dikeluarkan dari orang yang telah dikenai kewajiban untuk mengeluarkan zakat. 
Menurut Imam Maliki dalam mendefinisikan zakat, bahwa zakat adalah mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nishab (batas kuantitas yang mewajibkan zakat) kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan catatan kepemilikan itu penuh dan mencapai haul, bukan barang tambang dan bukan pertanian.
Menurut madzhab Syafii zakat adalah sebuah ungkapan untuk keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan cara khusus, sedangkan madzhab Hambali mengatakan Zakat adalah hak yang wajib dikeluarkan dari harta yang khusus untuk kelompok yang khusus pula. 

b.   Infaq
Infaq (bahasa Arabnya: infâq), maknanya lebih umum. Infak berarti ‘membelanjakan harta, uang, ataupun bentuk kekayaan yang lain, yang bersifat wajib maupun yang bukan wajib’.

c.   Shadaqah
Shadaqah, dari segi bahasa berasal dari akar kata kerja shadaqa atau ash-shidq yang berarti ‘kesungguhan’ dan ‘kebenaran’. Al-Qur’an menggunakan kata ini sebanyak lima kali dalam bentuk tunggal dan tujuh kali dalam bentuk jamak. Kesemuanya dalam konteks pengeluaran harta benda secara ikhlas. Sedekah sifatnya tidak wajib, melainkan sunnah, sangat dianjurkan. Tetapi,  meski demikian, kata sedekah juga terkadang digunakan oleh al-Qur’an untuk makna pengeluaran harta yang wajib. Surah at-Taubah ayat 103 memerintahkan Nabi saw. mengambil zakat harta dari mereka yang memenuhi syarat-sy arat. Demikian juga surah at-Taubah ayat 60 yang berbicara tentang mereka yang berhak menerima zakat dengan menggunakan kata (shadaqah) sedekah dalam arti zakat wajib.
Abdul Hamid Barahimi menambahkan bahwa makna pertama dari kata “Zakat” adalah pembagian harta untuk memperbaiki kesulitan ekonomi pihak-pihak yang membutuhkan.  Setiap sesuatu yang kita keluarkan untuk membantu pihak-pihak yang membutuhkan,pajak untuk membantu keuangan Negara,ataupun hal-hal lain yang semakna dapat dikatakan sebagai zakat dalam pengertian ini.

B.  Puasa
1.   Surat Al Baqarah ayat 183
Artinya:  Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

2.   Tafsir ayat
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ   maksudnya, puasa diwajibkan atas kamu (umat Muhammad) sebagaimana telah diwajibkan pula atas orang mukmin dari semua pemeluk agama sebelum kamu, sejak Nabi Adam as. 
Ash-Shaum menurut istilah dalam syariat Islam ialah menahan diri dari segala macam makanan, minuman dan bersenggama dengan wanita, mulai dari terbit fajar sidiq (subuh) sampai terbenam matahari (magrib) dengan niat dan syarat-syarat yang tertentu.
Para ulama banyak memberikan uraian tentang hikmah berpuasa, misalnya: untuk mempertinggi budi pekerti, menimbulkan kesadaran dan kasih sayang terhadap orang-orang miskin, orang-orang lemah yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, melatih jiwa dan jasmani, menambah kesehatan dan lain sebagainya. 
Uraian serupa itu tentulah ada benarnya, walaupun tidak mudah dirasakan oleh setiap orang. Begitu juga tidak akan mudah dirasakan oleh setiap orang berpuasa, bahwa puasa itu membantu kesehatan, walaupun para dokter yang memberikan penjelasan secara ilmiah, bahwa berpuasa memang benar-benar dapat menyembuhkan sebagian penyakit, tetapi ada pula penyakit yang tidak membolehkan berpuasa. Kalau diperhatikan perintah berpuasa bulan Ramadhan ini, maka pada permulaan ayat 183 secara langsung Allah menunjukkan perintah wajib itu kepada orang-orang yang beriman.
Orang-orang yang beriman akan patuh melaksanakan perintah berpuasa dengan sepenuh hati, karena ia merasa kebutuhan jasmaniyah dan rohaniyah adalah dua unsur yang pokok bagi kehidupan manusia yang harus diperkembangkan dengan bermacam-macam latihan, agar dapat dimanfaatkan untuk ketenteraman hidup yang bahagia di dunia dan di akhirat.
Pada ayat ini Allah mewajibkan puasa kepada semua manusia yang beriman, sebagaimana diwajibkan kepada umat-umat sebelum mereka supaya mereka menjadi orang yang bertakwa. Jadi puasa ini sungguh penting bagi kehidupan orang-orang yang beriman. Kalau kita selidiki macam-macam agama dan kepercayaan pada masa kita sekarang ini, dapat dipastikan bahwa kita akan menjumpai bahwa puasa salah satu ajaran yang umum untuk menahan hawa nafsu dan lain-lain sebagainya. Dalam ilmu keduniaan untuk memperoleh apa yang dinamakan kesaktian juga puasa selalu dipergunakan.[4]

3.   Surah Al Baqarah ayat 184
Artinya:           (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

4.   Asbabun Nuzul
Diterangkan oleh ibn sa’ad dalam thabaqatnya, dari Mujahid katanya: ayat ini diturunkan mengenai majikan dari Qis bin Saib (yang sudah sangat tua) “dan bagi orang yang berat menjalankannya wajib membayar fidyah yaitu memberi makan seorang miskin” (al-Baqarah: 184). Lalu ia berbuka dan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari Ramadhan yang ia tinggalkan puasanya.[5]

5.   Tafsir Ayat
Setelah pada ayat sebelumnya Allah memanggil umat beriman untuk berpuasa. Kewajiban ini juga telah diwajibkan kepada umat-umat yang terdahulu guna mencapai takwa. Kemudian pada ayat 184 ini diterangkan hukum puasa permulaannya, siapa yang dalam keadaan sakit atau musafir, mereka boleh untuk tidak berpuasa, tapi harus qadha (mengganti) sebanyak yang ia tinggalkan.
Adapun perubahan puasa yaitu, ketika Nabi hijrah ke Madinah, awalnya puasa tiap bulan selama tiga hari, puasa Asy-Syura. Kemudian turunlah ayat yang mewajibkan puasa Wa’alalladzina yuthiqunahu, dalam tafsir jalalain, mengartikan la pada lafadz yuthiqunahu, yakni ay la yuthiqunahu (bagi orang yang tak mampu puasa). Tidak ada kepastian pembuangan ia pada lafadz tersebut,sebab sebenarnya makna yuthiqunqhu adalah orang yang mampu berpuasa namun disertai dengan sangat kepayahan/kesusahan, seperti orang tua yang pikun, ibu hamil, menyusui, mereka sebenarnya mampu berpuasa namun terasa berat lagi menambah beban.[6]
Ulama sepakat bahwa mufasir dengan tujuan ta’at (bukan maksiyat) seperti haji, jihad, silaturrahmi, mencari kebutuhan hidup, berdagang dan hal-hal yang diperbolehkan, baginya boleh tidak puasa. Namun menurut madzhab hanafi bepergian maksiyat juga boleh tidak berpuasa. Sebab hakikat safar itu sendiri itu bukan perbuatan maksiyat. Akan tetapi maksiyat itu terjadi setelah bepergian atau ketika dalam perjalanannya. Maka tidak menimbulkan efek apapun jika mendapat rukhsah qashor. Sebab orang tersebut sedikit bertobat ketika mengingat nikmat Allah yang tercurah padanya yakni kemurahannya memperbolehkan qashor. Jika seseorang meninggalkan puasa udzur atau tidak, kemudian mereka tidak segera mengganti puasa tersebut dihari lain hingga ramadhon berikutnya,maka menurut jumhur ulama ia terkena kafarot,yaitu memberi makanan kepada orang fakir miskin 1 hari 1 mud.
Menurut Imam Abu Hanifah tidak ada kafarat baginya, kareana mengamalkan secara tekstual. Sedangkan dalil yang dijadikan pegangan oleh jumhur ulama ialah hadits yang diriwayatkan oleh imam al-daruqutni dengan sanad shohih,dari Abi hurairah mengenai orang yang tidak mempedulikan dalam mengkodho puasa hingga datang ramadhon lagi. Kemudian bersabda orang tersebut sekarang berpuasa bersama-sama kaum yang lainnya, dan nanti mengganti puasa yang pernah ia tinggalkan dan terkena kafarat.

IV. KESIMPULAN
1.      Menurut madzhab Syafii zakat adalah sebuah ungkapan untuk keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan cara khusus.
2.      Infak berarti ‘membelanjakan harta, uang, ataupun bentuk kekayaan yang lain, yang bersifat wajib maupun yang bukan wajib.
3.      Shadaqah, dari segi bahasa berasal dari akar kata kerja shadaqa atau ash-shidq yang berarti ‘kesungguhan’ dan ‘kebenaran’.
4.      Ash-Shaum menurut istilah dalam syariat Islam ialah menahan diri dari segala macam makanan, minuman dan bersenggama dengan wanita, mulai dari terbit fajar sidiq (subuh) sampai terbenam matahari (magrib) dengan niat dan syarat-syarat yang tertentu.

V.  PENUTUP
Alhamdulillah, akhirnya makalah ini dapat terselesaikan juga. Semua itu tidak lepas dari izin, pertolongan, dan juga rahmat Allah Subhanahu Wata’ala. Dan juga berkat dukungan dan motivasi dari teman-teman yang tercinta yang telah banyak memberikan support dalam penyelesaian makalah ini.
Penyusun mengakui dan menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat kekurangan  yang tidak lain adalah dari keterbatasan penyusun. Untuk itu, penyusun berharap kepada para pembaca makalah ini bila di dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dimohon untuk memberikan masukan, kritik, dan saran yang membangun sehingga dapat menjadi masukan yang berharga bagi penyusun dan menjadi lebih baik dalam menyelesaikan tugas-tugas berikutnya.


DAFTAR PUSTAKA


Barahimi, Abdul Hamid. 2005. Al ‘Adalah Al-Ijtima’iyyah Fi Al-Iqtishod Al-Islami. Beirut : markaz Dirasat Al-Wahdah Al ‘Arabiyyah. Cet. Ke-1.
Mardani. 2014. Tafsir Ahkam. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Shaleh, Qamarudin. 1989. Asbabun Nuzul, CV. Diponegoro, Bandung
Summa, Muhammad Amin. 1997. Tafsir Ahkam, Jakarta: Logos


[1] Muhammad Amin Suma, Tafsir Ahkam , (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 54
[2] Dr. Mardani, Tafsir Ahkam, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2014), hlm. 65
[3] M. Amin Suma, Tafsir Ahkam 1, Op.Cit., hlm. 54
[4] Muhammad Amin Summa, Tafsir Ahkam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, hal.78-84
[5] Qamarudin shaleh, Asbabun Nuzul, CV. Diponegoro, Bandung, 1989, hal. 53
[6] Muhammad Amin Summa, Op.cit,hal.76

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer :