I. PENDAHULUAN
Zakat merupakan salah satu pilar dari pilar islam yang lima, Allah
Swt. telah mewajibkan bagi setiap muslim untuk mengeluarkannya sebagai
penyuci jiwa dan harta mereka, yaitu bagi mereka yang telah memiliki harta
sampai nishab (batas terendah wajibnya zakat) dan telah lewat atas kepemilikan
harta tersebut masa haul (satu tahun bagi harta simpanan dan niaga, atau telah
tiba saat memanen hasil pertanian).
Zakat menurut istilah agama islam artinya „kadar harta yang
tertentu, yang diberikan kepada yang berhak menerimanya, dengan berbagai
syarat.“ Hukumnya zakat adalah salah satu rukun islam yang ke tiga, fardhu’ain
atas tiap-tiap orang yang cukup syarat-syaratnya. Zakat mulai diwajibkan pada
tahun kedua hijriyah. Firman Allah Swt: “Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'”.
Puasa
pada bulan ramadhan merupakan salah satu dari lima rukun islam. Dalam bahasa
arab disebut shiyam atau shaum. Puasa atau shaum/ siyam menurut
istilah Al-Quran ialah suatu ibadah yang sangat penting dalam syari’at islam.
Yang pokok artinya adalah menahan. didalam peraturan syara’ dijelaskan bahwa shiyam
adalah menahan diri dari makan dan minum dan segala hal yang membatalkan puasa
pada waktu fajar sampai terbenamnya matahari, karena menjunjung tinggi perintah
Allah. Maka setelah nenek moyang kita memeluk agama islam kita pakailah kata
puasa untuk menjadi arti dari pada shaum itu. Karena memang ketika belum
masuk islam, perintah puasa itu telah ada pada agama yang dianut sebelumnya.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Tafsir Ahkam surat Al-Baqarah ayat 267 tentang
zakat, infaq dan shodaqah?
2. Bagaimana Tafsir Ahkam surat Al-Baqarah ayat 183-184 tentang
puasa?
III. PEMBAHASAN
A. Zakat,
Infaq dan Shodaqah
1. Surat Al-Baqarah ayat 267
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan
Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang
Kami keluarkan dari bumi untuk kamu dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk
lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memincingkan mata terhadap-nya. dan ketahuilah, bahwa Allah
Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. Al-Baqarah: 267)
2. Asbabun Nuzul
Al-Hakim, meriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi SAW
memerintahkan ummat Islam agar mengeluarkan zakat fitrah dengan satu sha’ kurma.
Lalu datanglah seorang membawa kyrma berualitas rendah. Maka turunlah surat
Al-Baqarah ayat 267. Al-Hakim, At-Turmudi, Ibnu Majah meriwayatkan dari
Al-Bara’, ayat ini turun berkenaan dengan kaum Anshar. Ketika memanen kurma
mereka mengeluarkan beberapa tandan kurma, baik yang sudah matang atau belum
matang yang diperuntukkan untuk orang miskin kaum Muhajirin dan seorang
laki-laki sengaja mengeluarkan satu tandan kurma dengan kualitas buruk. Ia
mengira diperbolehkan hingga turun ayat yang artinya “...dan janganlah kamu
memilah-milah yang buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya...”. Yakni,
tandanan kurma bermutu buruk yang seandainya diberikan kepadamu, kamu tidak mau
menerimanya.[1]
Sedangkan menurut Dr. Mardani, Allah menurunkan FirmanNya yang artinya “...Wahai
orang-orang yang beriman! Infaqkanlah seagian dari hasil usahamu yang baik...”.
Yang pada intinya sama, yaitu turun surat Al-Baqarah ayat 267.
Ibnu
Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Dulu para sahabat memberi
bahan makanan yang murah, lalu mereka menyedekahkannya. Maka turunlah ayat ini.[2]
3. Munasabah
Pada ayat
sebelumnya QS. Al-Baqarah ayat 261-264 Allah mengemukakan sifat dan niat yang
harus disandang oleh seseorang ketika berinfaq, seperti ikhlas karena Allah,
niat membersihkan jiwa, menjauhi sifat riya’
serta sikap yang harus diperthatikan setelah berinfaq yaitu, tidak menyebut
infaqnya dan tidak pula menyakiti penenrimanya. Itu semua merupakan edoman yang
berkenanan dengan orang yang berinfaq dan cara bagaiamna seharusnya ia
berinfaq.[3]
4. Tafsir Ayat
Menurut Ibnu Abbas ayat diatas mengandung perintah
berinfaq dengan harta yang baik dalam hal ini adalah harta yang didapat dari
jalan halal dan merupakan harta yang baik atau layak diterima dan
melarang berinfaq dengan harta yang diperoleh dengan jalan haram atau tidak
layak diterima, beliau bertendensi dengan hadits bahwa Allah adalah Thoyyib dan
tidak menerima kecuali yang thoyyib. Ketika Nabi ditanya oleh sayyidah A’isyah
“makanan apakah yang boleh kami berikan pada orang-orang miskin? beliau
menjawab “janganlah kamu memberi mereka sesuatu yang tidak kalian makan”. maka
dalam redaksi ayat selanjutnya Allah menegaskan “Dan janganlah kamu memilih
yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak
mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya”. bahkan dalam
surat ali imron ayat 92 Allah berfirman bahwa tidak akan memperoleh kebjiakan
sehingga menafkahkan harta yang ia sukai.
a. Zakat
Menurut lughat arti zakat adalah tumbuh (al Numuww) seperti pada
zakat Al Zar’u yang artinya bertambah banyak dan mengandung berkat seperti pada
zaka’ul maalu dan suci (thoharoh) seperti pada nafsan zakiyah dan qad aflaha
man zakkaha.
Sedangkan menurut istilah “Zakat” adalah memberikan sebagian harta
yang telah diwajibkan oleh Allah Swt kepada orang yang berhak menerimanya
sebagaimana yang telah dinyatakan dalam Al Qur’an, atau juga boleh diartikan
dengan kadar tertentu atas harta tertentu yang diberikan kepada orang-orang
tertentu dengan lafadz “Zakat” yang juga digunakan terhadap bagian tertentu
yang dikeluarkan dari orang yang telah dikenai kewajiban untuk mengeluarkan
zakat.
Menurut Imam Maliki dalam mendefinisikan zakat, bahwa zakat adalah
mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah
mencapai nishab (batas kuantitas yang mewajibkan zakat) kepada orang-orang yang
berhak menerimanya dengan catatan kepemilikan itu penuh dan mencapai haul,
bukan barang tambang dan bukan pertanian.
Menurut madzhab Syafii zakat adalah sebuah ungkapan untuk keluarnya
harta atau tubuh sesuai dengan cara khusus, sedangkan madzhab Hambali
mengatakan Zakat adalah hak yang wajib dikeluarkan dari harta yang khusus untuk
kelompok yang khusus pula.
b. Infaq
Infaq (bahasa Arabnya: infâq), maknanya lebih umum. Infak berarti
‘membelanjakan harta, uang, ataupun bentuk kekayaan yang lain, yang bersifat
wajib maupun yang bukan wajib’.
c. Shadaqah
Shadaqah, dari segi bahasa berasal dari akar kata kerja shadaqa atau
ash-shidq yang berarti ‘kesungguhan’ dan ‘kebenaran’. Al-Qur’an menggunakan
kata ini sebanyak lima kali dalam bentuk tunggal dan tujuh kali dalam bentuk
jamak. Kesemuanya dalam konteks pengeluaran harta benda secara ikhlas. Sedekah
sifatnya tidak wajib, melainkan sunnah, sangat dianjurkan. Tetapi, meski
demikian, kata sedekah juga terkadang digunakan oleh al-Qur’an untuk makna
pengeluaran harta yang wajib. Surah at-Taubah ayat 103 memerintahkan Nabi saw.
mengambil zakat harta dari mereka yang memenuhi syarat-sy arat. Demikian juga
surah at-Taubah ayat 60 yang berbicara tentang mereka yang berhak menerima
zakat dengan menggunakan kata (shadaqah) sedekah dalam arti zakat wajib.
Abdul Hamid Barahimi menambahkan bahwa makna pertama dari kata
“Zakat” adalah pembagian harta untuk memperbaiki kesulitan ekonomi pihak-pihak
yang membutuhkan. Setiap sesuatu yang kita keluarkan untuk membantu
pihak-pihak yang membutuhkan,pajak untuk membantu keuangan Negara,ataupun
hal-hal lain yang semakna dapat dikatakan sebagai zakat dalam pengertian ini.
B. Puasa
1. Surat Al
Baqarah ayat 183
Artinya: Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
2. Tafsir
ayat
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ
الصِّيَامُ maksudnya, puasa diwajibkan atas kamu (umat
Muhammad) sebagaimana telah diwajibkan pula atas orang mukmin dari semua
pemeluk agama sebelum kamu, sejak Nabi Adam as.
Ash-Shaum
menurut istilah dalam syariat Islam ialah menahan diri dari segala macam
makanan, minuman dan bersenggama dengan wanita, mulai dari terbit fajar sidiq
(subuh) sampai terbenam matahari (magrib) dengan niat dan syarat-syarat yang
tertentu.
Para
ulama banyak memberikan uraian tentang hikmah berpuasa, misalnya: untuk
mempertinggi budi pekerti, menimbulkan kesadaran dan kasih sayang terhadap
orang-orang miskin, orang-orang lemah yang tidak mampu memenuhi kebutuhan
hidupnya, melatih jiwa dan jasmani, menambah kesehatan dan lain sebagainya.
Uraian
serupa itu tentulah ada benarnya, walaupun tidak mudah dirasakan oleh setiap
orang. Begitu juga tidak akan mudah dirasakan oleh setiap orang berpuasa, bahwa
puasa itu membantu kesehatan, walaupun para dokter yang memberikan penjelasan
secara ilmiah, bahwa berpuasa memang benar-benar dapat menyembuhkan sebagian
penyakit, tetapi ada pula penyakit yang tidak membolehkan berpuasa. Kalau
diperhatikan perintah berpuasa bulan Ramadhan ini, maka pada permulaan ayat 183
secara langsung Allah menunjukkan perintah wajib itu kepada orang-orang yang
beriman.
Orang-orang
yang beriman akan patuh melaksanakan perintah berpuasa dengan sepenuh hati,
karena ia merasa kebutuhan jasmaniyah dan rohaniyah adalah dua unsur yang pokok
bagi kehidupan manusia yang harus diperkembangkan dengan bermacam-macam
latihan, agar dapat dimanfaatkan untuk ketenteraman hidup yang bahagia di dunia
dan di akhirat.
Pada
ayat ini Allah mewajibkan puasa kepada semua manusia yang beriman, sebagaimana
diwajibkan kepada umat-umat sebelum mereka supaya mereka menjadi orang yang
bertakwa. Jadi puasa ini sungguh penting bagi kehidupan orang-orang yang
beriman. Kalau kita selidiki macam-macam agama dan kepercayaan pada masa kita
sekarang ini, dapat dipastikan bahwa kita akan menjumpai bahwa puasa salah satu
ajaran yang umum untuk menahan hawa nafsu dan lain-lain sebagainya. Dalam ilmu
keduniaan untuk memperoleh apa yang dinamakan kesaktian juga puasa selalu dipergunakan.[4]
3. Surah Al
Baqarah ayat 184
Artinya: (yaitu) dalam
beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib
bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan
kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan
berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
4. Asbabun Nuzul
Diterangkan oleh ibn sa’ad dalam thabaqatnya, dari
Mujahid katanya: ayat ini diturunkan mengenai majikan dari Qis bin Saib (yang
sudah sangat tua) “dan bagi orang yang berat menjalankannya wajib membayar
fidyah yaitu memberi makan seorang miskin” (al-Baqarah: 184). Lalu ia berbuka
dan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari Ramadhan yang ia tinggalkan
puasanya.[5]
5. Tafsir Ayat
Setelah
pada ayat sebelumnya Allah memanggil umat beriman untuk berpuasa. Kewajiban ini
juga telah diwajibkan kepada umat-umat yang terdahulu guna mencapai takwa.
Kemudian pada ayat 184 ini diterangkan hukum puasa permulaannya, siapa yang
dalam keadaan sakit atau musafir, mereka boleh untuk tidak berpuasa, tapi harus
qadha (mengganti) sebanyak yang ia tinggalkan.
Adapun
perubahan puasa yaitu, ketika Nabi hijrah ke Madinah, awalnya puasa tiap bulan
selama tiga hari, puasa Asy-Syura. Kemudian turunlah ayat yang mewajibkan puasa
Wa’alalladzina yuthiqunahu, dalam tafsir jalalain, mengartikan la pada
lafadz yuthiqunahu, yakni ay la yuthiqunahu (bagi orang yang tak
mampu puasa). Tidak ada kepastian pembuangan ia pada lafadz tersebut,sebab
sebenarnya makna yuthiqunqhu adalah orang yang mampu berpuasa namun
disertai dengan sangat kepayahan/kesusahan, seperti orang tua yang pikun, ibu
hamil, menyusui, mereka sebenarnya mampu berpuasa namun terasa berat lagi
menambah beban.[6]
Ulama
sepakat bahwa mufasir dengan tujuan ta’at (bukan maksiyat) seperti haji, jihad,
silaturrahmi, mencari kebutuhan hidup, berdagang dan hal-hal yang
diperbolehkan, baginya boleh tidak puasa. Namun menurut madzhab hanafi
bepergian maksiyat juga boleh tidak berpuasa. Sebab hakikat safar itu sendiri
itu bukan perbuatan maksiyat. Akan tetapi maksiyat itu terjadi setelah
bepergian atau ketika dalam perjalanannya. Maka tidak menimbulkan efek apapun
jika mendapat rukhsah qashor. Sebab orang tersebut sedikit bertobat ketika
mengingat nikmat Allah yang tercurah padanya yakni kemurahannya memperbolehkan
qashor. Jika seseorang meninggalkan puasa udzur atau tidak, kemudian mereka
tidak segera mengganti puasa tersebut dihari lain hingga ramadhon
berikutnya,maka menurut jumhur ulama ia terkena kafarot,yaitu memberi makanan
kepada orang fakir miskin 1 hari 1 mud.
Menurut
Imam Abu Hanifah tidak ada kafarat baginya, kareana mengamalkan secara
tekstual. Sedangkan dalil yang dijadikan pegangan oleh jumhur ulama ialah
hadits yang diriwayatkan oleh imam al-daruqutni dengan sanad shohih,dari Abi
hurairah mengenai orang yang tidak mempedulikan dalam mengkodho puasa hingga
datang ramadhon lagi. Kemudian bersabda orang tersebut sekarang berpuasa
bersama-sama kaum yang lainnya, dan nanti mengganti puasa yang pernah ia
tinggalkan dan terkena kafarat.
IV. KESIMPULAN
1.
Menurut madzhab
Syafii zakat adalah sebuah ungkapan untuk keluarnya harta atau tubuh sesuai
dengan cara khusus.
2.
Infak berarti
‘membelanjakan harta, uang, ataupun bentuk kekayaan yang lain, yang bersifat
wajib maupun yang bukan wajib.
3.
Shadaqah, dari
segi bahasa berasal dari akar kata kerja shadaqa atau ash-shidq yang berarti
‘kesungguhan’ dan ‘kebenaran’.
4.
Ash-Shaum menurut istilah dalam syariat Islam ialah
menahan diri dari segala macam makanan, minuman dan bersenggama dengan wanita,
mulai dari terbit fajar sidiq (subuh) sampai terbenam matahari (magrib) dengan
niat dan syarat-syarat yang tertentu.
V. PENUTUP
Alhamdulillah, akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan juga. Semua itu tidak lepas dari izin, pertolongan, dan juga
rahmat Allah Subhanahu Wata’ala. Dan juga berkat dukungan dan motivasi dari
teman-teman yang tercinta yang telah banyak memberikan support dalam
penyelesaian makalah ini.
Penyusun mengakui dan menyadari bahwa dalam penulisan
makalah ini masih terdapat kekurangan yang tidak lain adalah dari
keterbatasan penyusun. Untuk itu, penyusun berharap kepada para pembaca makalah
ini bila di dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dimohon untuk
memberikan masukan, kritik, dan saran yang membangun sehingga dapat menjadi
masukan yang berharga bagi penyusun dan menjadi lebih baik dalam menyelesaikan
tugas-tugas berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Barahimi, Abdul
Hamid. 2005. Al ‘Adalah Al-Ijtima’iyyah Fi Al-Iqtishod Al-Islami. Beirut
: markaz Dirasat Al-Wahdah Al ‘Arabiyyah. Cet. Ke-1.
Mardani. 2014. Tafsir Ahkam.
Yogyakarta: Pustaka Belajar
Shaleh, Qamarudin.
1989. Asbabun Nuzul, CV. Diponegoro, Bandung
Summa, Muhammad Amin. 1997. Tafsir Ahkam,
Jakarta: Logos
Tidak ada komentar:
Posting Komentar