Senin, 02 Juli 2018

RADEN NGABEHI RONGGOWARSITO DAN PEMIKIRAN TASAWWUF JAWA (Mata Kuliah: Ilmu Tasawwuf)

BAB  I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Khazanah sastra tulis Nusantara di Indonesia sangat kaya dan meliputi karya-karya dalam berbagai bahasa. Salah satu dari sekian khazanah sastra Nusantara tersebut ditulis dalam bahasa Jawa. Pada abad ke-4 hingga ke-14 M, sastra Jawa Kuno berkembang pesat karena adanya beberapa kerajaan besar, seperti Kediri, Singasari, dan Majapahit yang berperan sebagai penyebar peradaban dan kebudayaan Hindu-Budha.
Setelah keruntuhan kerajaan Majapahit pada tahun 1478 M, unsur-unsur budaya Islam mulai masuk dan berkembang di Jawa. Pada masa Kerajaan Mataram Islam yang dipimpin Sultan Agung, banyak muncul buku-buku yang terpengaruh oleh ajaran tasawuf. Pada periode 1757-1881 M merupakan masa kebangkitan sastra. Salah satunya adalah naskah cibolek karya Yadisapura I. Pada periode inilah muncul tokoh Ronggowarsito yang oleh orang-orang Jawa dianggap sebagai bapak kebatinan atau kejawen.[1]
Pada makalah ini, kami akan membahas salah satu tokoh kapujanggan Jawa, yaitu Raden Ngabehi Ronggowarsito, beserta pemikiran tasawwufnya.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat kami rumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1.   Bagaimana biografi Raden Ngabehi Ronggowarsito?
2.   Bagaimana Pemikiran Tasawwuf dalam perspektif Ronggowarsito?



BAB  II
PEMBAHASAN

A.  Biografi Raden Ngabehi Ronggowarsito
Ronggowarsito berasal dari keluarga bangsawan keraton Surakarta. Dari garis ayahnya, ia adalah keturunan ke-10 dari Sultan Hadiwijoyo (Joko Tingkir), pendiri kerajaan Pajang. Sedangkan dari garis keturunan ibu adalah keturunan ke-13 dari Sultan Trenggono, raja Demak ketiga. Sebenarnya Ronggowarsito adalah sebuah gelar. Ronggowarsito yang penulis bahas dalam makalah ini adalah Ronggowarsito III.[2]
Raden Ngabehi Ronggowarsito terlahir dengan nama kecil Bagus Burhan adalah putra dari RM. Ng. Pajangsworo. Beliau lahir pada tanggal 14 Maret tahun 1802.[3] Ayahnya Panjangsworo atau Ronggowarsito II adalah juru tulis kerajaan. Sedangkan kakeknya, Sastronagoro atau Ronggowarsito I adalah pujangga kerajaan.
Oleh kakeknya, R.T Sastronegoro, Bagus Burhan diserahkan kepada Ki Tanujaya. Selama kurang lebih delapan tahun, Bagus Burhan mendapatkan pendidikan dari Ki Tanujaya. Ki Tanujaya merupakan orang yang pandai dalam bergaul, pandai, lucu dan banyak ilmunya.
Pada usia 12 tahun, ia dipesantrenkan di Tegalsari yang diasuh oleh seorang guru agama, yaitu Ki Ageng Kasan Besari atau biasa disebut dengan Imam Besari. Imam Besari merupakan menantu Paku Buwana IV, dan teman R.T Sastronegoro. Ia selain guru agama, juga merupakan ahli kebatinan yang masih berdarah priyayi. Maka tidak heran jika pesantren semacam ini menghasilkan tokoh-tokoh agamawan, juga melahirkan tokoh-tokoh negarawan dan priyayi.[4]
Selain berguru di sekitar pulau Jawa, Bagus Burhan juga pernah merantau berguru ke luar Jawa seperti Bali, Lombok, Ujung Pandang, Banjarmasin bahkan ada sumber yang mengatakan pengembaraan Bagus Burham sampai di India dan Srilanka.[5]
Sekembali dari berguru, ia tinggal di Surakarta melaksanakan tugas sebagai abdi dalem keraton. Pada masa Sri Paduka Paku Buwono VI, ia diangkat menjadi pegawai keraton sebagai Penewu Carik Kadipaten Anom dengan gelar Raden Ngabehi Ronggowarsito, yang selanjutnya bertempat tinggal di Pasar Kliwon.
Ronggowarsito wafat pada tahun 1873 bulan Desember hari Rabu pon tanggal 24.

Karya-Karya Ranggawarsito
Diantara sekian banyak karya-karya Ronggowarsito, ada beberapa karyanya yang berkenaan dengan spiritual atau mistik dan bahkan karya ini adalah inti dari ajaran ketuhanan Ronggowarsito yaitu:
a.   Suluk Jiwa atau Suluk Saloka Jiwa
Serat Suluk Jiwa atau Suluk Saloka Jiwa adalah karya Ronggowarsito yang telah diterbitkan oleh percetakan Albert Rusche, Surakarta 1915.[6] Sebuah risalah kecil yang memuat cerita simbolik yang meriwayatkan Tuhan Wisnu menyerupakan diri sebagai seorang tokoh bernama Sulaiman yang berangkat ke Turki untuk mempelajari Tasawuf. Dalam isi suluk ini menceritakan pembicaraan ajaran ma’rifat para wali tentang wujud dan tentang awal penciptaan, serta tiga jenis istana.[7]
b.   Serat Pamoring Kawulo Gusti
Isinya berbicara mengenai zikir dan larut dalam perenungan kepada Allah SWT dengan hati penuh rindu. Sesungguhnya segala sesuatu yang ada di alam terpancar dari kehendak Allah SWT. Mereka yang mendapat anugerah rahmat dan hidaya-Nya, maka kelak akan bersatu dengan-Nya, dalam arti bersama-Nya dan tentu yang demikian halnya memperoleh cita-citanya dan selalu bersama dalam menjalankan tugas.[8]
Dalam Serat Pamong Kawulo Gusti juga diutarakan pokok ajaran Wirid Hidayat Jati, bahwa manusia tersusun atas tujuh martabat manusia: jasad (badan), budi (akal), nafsu (jiwa), ruh (suksma), sir (rahsa), nur, dan hayu (kehidupan).[9]
c.   Suluk Lukma Lelana
Risalah ini memuat motivasi untuk membentuk budi perketi luhur. Terdapat pula uraian mengenai pengorbanan Imam Ali Zain Al-Abidin Ibnu Husain r.a. Suluk Sukma Lelana ini isinya menceritakan perjalanan seorang santri bernama Sukma Lelana. Tujuanya berguru ilmu sangkan-paran (ketuhanan) kepada seorang guru kebatinan yang bernama Syekh Iman Suci di Arga (bukit) Sinai. Cerita ini melambangkan perjalanan jiwa manusia dalam menuju makrifat kepada Tuhan.[10]
d.   Serat Paramayoga
Risalah ini menyinggung martabat wujud dengan menetapkan adanya dualisme antara wujud Tuhan pencipta dengan makhluk. Paham ini pun tidak lepas dari ajaran Ibnu Arabi yang menurut Al-‘Affi menganut paham wujud tunggal sehingga apapun yang terjadi di dunia hanyalah manifestasi Tuhan.[11]
e.   Serat Wirid Hidayat Jati atau Serat Hidayat Jati
Risalah ini sebagaimana pengakuan pengarangnya merupakan saripati ilmu ma’rifat yang diajarkan delapan wali di Jawa. Keistimewaan lainnya, Wirid Hidayat Jati ini disusun dalam bentuk jarwa atau prosa. Isi kandungannya diusahakan untuk menjadi kitab mistik yang cukup lengkap, padat dan bulat.[12] Serat Wirid Hidayat Jati yang diterbitkan oleh Administrasi Jawi Kandha, yang isinya meliputi:
1.   Upacara dan perlengkapan sajian yang harus diselenggarakan oleh seorang guru yang akan mengajarkan ilmu mistik dan uraian bab guru dan murid.
2.   Ajaran tentang Tuhan dan hubungan antara Dzat, Sifat, Asma dan Af'al Tuhan.
3.   Uraian tentang cita kesatuan antara manusia dengan Tuhan.
4.   Jalan untuk mencapai penghayatan ghaib dan kesatuan denganTuhan.
5.   Tingkat-tingkat penghayatan ghaib beserta godaan-godaan yang terdapat dalam tingkatan-tingkatan tersebut.
6.   Uraian tentang penciptaan manusia dan hakikat manusia.
7.   Aspek budi luhur beserta pelbagai ajaran yang berkaitan dengan mistik.[13]

B.  Pemikiran Tasawwuf Jawa
Ronggowarsito oleh orang-orang Jawa dianggap sebagai bapak kebatinan atau kejawen (shufi Jawa).[14] Ajaran tasawuf menurut pemikiran Ronggowarsito tertuangkan ke dalam salah satu karyanya yaitu Serat Wirid Hidayat Jati. Di dalam Wirid Hidayat Jati mengajarkan paham kesatuan manusia dengan Tuhan. Paham ini mengajarkan bahwa manusia berasal dari Tuhan, oleh karena itu, harus berusaha untuk kembali dengan Tuhan.[15] Adapun jalan untuk kembali kepada Tuhan yaitu manusia sempurna (insan kamil). Pengertian insan kamil menurut Al-Ghazali yaitu, manusia sempurna didapat karena menjalani laku tasawuf dan sebagai manusia yang setaraf dengan waliyullah  yang dapat mencapai manunggal dengan Tuhan atau manunggaling Kawula Gusti.[16]
Konsep manunggaling Kawula Gusti dalam wirid hidayat jati, merupakan gubahan dari ajaran tajalli yang berasal dari paham martabat tujuh. Tajalli berarti memperlihatkan keluar. Dasar pemikiran ini merupakan suatu pemikiran ajaran tasawuf yang berpaham wahdatul wujud. Tajalli merupakan kondisi kerohanian yang mampu menyaksikan cahaya penjelman-Nya dalam nama-Nya.[17]
Ronggowarsito merupakan seorang yang pandai dalam menuangkan pemikirannya dalam sebuah tulisan. Dalam tulisannya, ia menggabungkan pemahaman yang didapatkan dari beberapa referensi yang dipelajarinya. Hal ini dibuktikan dalam pemahamannya tentang konsep manunggaling Kawula Gusti yang tersirat di dalam Wirid Hidayat Jati. Untuk menerangkan konsep ini ia menggambarkan sosok Bima yang bisa masuk ke dalam Dewa Ruci. Cerita ini merupakan hasil karya dari kakeknya yaitu Yadisapura I yang berjudul “Serat Dewa Ruci”. Dari cerita yang dituliskan kakekknya ini, Ronggowarsito mempunyai pemikiran tentang konsep manunggaling Kawula Gusti.
Manunggaling Kawula Gusti, dalam Islam tahapan ini dikenalkan pada ajaran tasawuf, di dalam tasawuf diterangkan untuk mencapai kesatuan dengan Tuhan (penghayatan menyatu dengan Tuhan) harus melalui tahapan-tahapan yang ada dalam ajaran tasawuf. Adapun tingkatannya yaitu, syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Ketika kita sudah mencapai tingkatan makrifat, bisa dikatakan kita akan bisa menyatu dengan Dzat yang khalik. Kata menyatu dalam pengertian ini tidak bisa digambarkan bahwa yang menyatu itu tubuh kita. Akan tetapi, yang dimaksudkan dalam tulisan ini yaitu, jika kita berada pada tingkatan makrifat jiwa kita akan mengalami ekstase (kondisi antara sadar dan tidak sadar). Pada keadaan seperti ini kita akan mendapatkan pengalaman pribadi yang tidak bisa dijelaskan dengan sebuah metode ilmiah. Melainkan kita hanya bisa percaya dengan keyakinan kita sendiri. Sebagaimana Musbikin (2010) menjelaskan bahwa manunggaling kawula Gusti, bukanlah suatu ajaran, melainkan suatu pengalaman. Yakni pengalaman yang benar-benar nyata bagi siapa saja yang mengalaminya. Pengalaman ini berupa penyatuan/peleburan diri dengan Maha Kuasa.[18]
Wirid Hidayat Jati mengajarkan  paham ketuhanan yang bersifat theis (percaya adanya Tuhan). Dimana dalam Wirid Hidayat Jati karya Ronggowarsito, Tuhan digambarkan sebagai Dzat yang berkehendak dan berkarya secara aktif, sebagai pencipta dan penguasa alam semesta.  Adapun konsepsi tentang manusia dalam Wirid Hidayat Jati mengetengahkan ajaran martabat tujuh yang dibawa oleh sufi Nusantara pada abad ke-16 yaitu Syekh Hamzah Fansuri. Martabat tujuh adalah pengembangan dari suatu paham ketuhanan dalam tasawuf yang cenderung ke arah pantheistis-monis. Yaitu, suatu paham yang mengatakan bahwa segala yang ada di alam merupakan aspek lahir dari satu hakikat yang tunggal, yakni Tuhan.[19] Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu ‘Arabi, bahwa manusia adalah tempat tajalli Tuhan yang sempurna karena padanya tercermin alam semesta dan sifat-sifat ketuhanan. Menurutnya, manusia berbeda dengan segala sesuatu yang lain. Meskipun Tuhan merupakan Dzat (ain) segala sesuatu, segala sesuatu itu bukan ‘ain (Dzat)-Nya karena sesuatau itu hanya merupakan perwujudan sebagai asma-Nya, bukan Tuhan ber-tajjali pada sesuatu itu dalam bentuk Dzat-Nya.[20]
Ajaran tujuh martabat dalam Wirid Hidayat Jati karya Ronggowarsito, merupakan unsur pokok dalam penghayatan rohani dalam mencapai makrifat dan kesatuan kembali dengan Tuhan. Dari uraian tentang ketujuh martabat Wirid Hidayat Jati di atas, merupakan penjelasan asal manusia dengan martabat-martabat pelapisan unsur-unsur pokok manusia. Dalam ajaran martabat tujuh ini, ketujuh tingkatan tajalli merupakan ajaran penciptaan pada umumnya. Termasuk manusia sebagai penciptaan terakhir. Dalam Wirid Hidayat Jati ketujuh tingkat tajalli, dipusatkan untuk penciptaan manusia, dimana yang diistilahkan seperti, hayyu (atma), nur, pramana, sukma, angan-angan, budi dan jasad, adalah unsur-unsur manusia sempurna. Sehingga terjadi unsur manusia yang sempurna atau insan kamil.[21] Manusia sempurna (insan kamil) bukan semata hanya beribadah di tingkatan batinnya saja, dalam arti ia pun tidak meninggalkan ibadah syari’at (wajib), dan juga menjalankan ibadah sunah yang dicontohkan Rasulullah.
Konsep manusia sempurna (insan kamil) yang ada pada Serat Wirid Hidayat Jati, bukan merupakan konsep manusia sempurna sebagaimana para sufi sebelumnya, seperti Al-Ghazali, Ibnu ‘Arabi, dan Syekh Hamzah Fansuri. Kata insan kamil yang ada pada serat Wirid Hidayat Jati merupakan proses penciptaan manusia secara utuh. Adapun manusia yang sempurna atau sudah mencapai kesempurnaan dalam Wirid Hidayat Jati, dibedakan menjadi dua golongan yaitu, golongan awam dan orang khawas. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa ajaran manunggaling Kawual Gusti dalam pemikiran Ronggowarsito yang terserat dalam Wirid Hidayat Jati yaitu, manusia bisa menyatu atau bertemu dengan Tuhan ketika sudah mencapai ajal (kematian).[22]
Dari beberapa penjelasan di atas, bahwa pemikiran tasawuf jawa dalam perspektif Ronggowarsito merupakan suatu ajaran berpaham kemanunggalan yang disebut manunggaling Kawulo Gusti. Hal ini terlihat dari paham martabat tujuhnya yang tersirat dalam Wirid Hidayat Jati. Jelas bahwa ajaran tasawuf Ronggowarsito dalam Wirid Hidayat Jati, merupakan perpaduan ajaran mistisisme Islam, dengan berbagai ajaran yang berkembang dalam kepustakaan Jawa, sehingga terjadi sifat sinkretis. Adapun nilai sinkretisme dalam ajaran ini, yaitu penggunaan istilah-istilah Jawa Hindu-Budha. Nilai sinkretisme/kejawen nampak hanya dari segi metode (cara pemaparan) yang terlihat pada penggunaan bahasa Jawa sebagai alat penyampaian ajarannya.






BAB  III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ronggowarsito dilahirkan dari keluarga seorang pujangga. Ia mendapatkan pendidikan dalam pesantren Ki Imam Besari. Imam Besari merupakan tokoh agama Islam yang terkemuka pada abad ke-19. Selain itu, ia juga ahli dalam bidang kebatinan. Maka tidak heran dari pesantren seperti ini menghasilkan seorang yang ahli dalam kebatinan dan taat beragama.
Pemikiran tasawuf Ronggowarsito terpengaruh paham tasawuf wahdatul wujud atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan manunggaling Kawula Gusti. Paham wahdatul wujud ini merupakan suatu paham ajaran tasawuf falsafi yang dipopulerkan oleh sufi yang bemama Ibnu Arabi.
Pemikiran Ronggowarsito tentang manunggaling kawula Gusti bersumber dari ajaran martabat tujuh yang merupakan ajaran tasawuf yang dikenalkan oleh tokoh sufi dari Aceh yaitu Hamzah Fansuri.
Ajaran tasawuf Islam, mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat Jawa yang cenderung gemar mendalami ilmu kebatinan. Pada masa perkembangan kepustakaan Jawa. Kemunculan tokoh Ronggowarsito dianggap oleh masyarakat Jawa sebagai seorang tokoh kebatinan. Dari karya-karya sastranya banyak dijadikan suatu rujukan bagi kebatinan yang ada di Jawa.

B.     Saran
Dengan segala keterbatasan dan kekurangan penulis, demikianlah makalah ini kami buat. Oleh karena itu, sudah pasti makalah ini memerlukan kritik dan saran yang membangun dari pembaca yang budiman demi lebih baiknya makalah kami selanjutnya. Selamat membaca dan semoga bermanfaat. Amin.

DAFTAR PUSTAKA


Alwi Shihab, 2009, Akar Tasawuf Di Indonesia. Depok: Pustaka Iman.
Djumiati, http://kakagung.blogspot.co.id/2012/02/sejarah-raden-ronggowarsito.html, diakses tanggal 26 April 2016
Hernawan, 2012, Manunggaling Kawula Gusti: Pemikiran Ronggowarsito dan Pengaruhnya Terhadap Ajaran Tasawuf di Jawa Abad ke-19. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Hernawan, http://gurusejarahtea.blogspot.co.id/2016/03/manunggaling-kaula-gusti-prespektif.html, diakses tgl. 26 April 2016
Simuh, 1988, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: UI-Press.
Simuh, 1999, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam Ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Rif’i, dan Hasan Mud’is, 2010, Filsafat Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia.


[1]Alwi Shihab, 2009, Akar Tasawuf Di Indonesia. Depok: Pustaka Iman. Hal. 238
[2]Hernawan, 2012, Manunggaling Kawula Gusti: Pemikiran Ronggowarsito dan Pengaruhnya Terhadap Ajaran Tasawuf di Jawa Abad ke-19, (Skripsi), hal. 20.
[3]Simuh, 1988, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: UI-Press, hal. 35.
[4]Ibid, hal. 182.
[5]Oleh Djumiati, http://kakagung.blogspot.co.id/2012/02/sejarah-raden-ronggowarsito.html, diakses tanggal 26 April 2016
[6]Simuh, 1988, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: UI-Press, hal. 51
[7]Alwi Shihab, Islam Sufistik, 162
[8]Ibid, hal 163
[9]Simuh, Op.Cit, hal. 58
[10]Ibid, hal. 58
[11]Ibid, hal  42
[12]Ibid, hal.3
[13]Simuh. (1988). Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ronggowarsito: Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: UI-Press, hal. 43
[14]Alwi Shihab, 2009, Akar Tasawuf Di Indonesia. Depok: Pustaka Iman. Hal. 238
[15]Ibid, hal. 282.
[16]Simuh. (1999). Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam Ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, hal. 262.
[17]Oleh Hernawan, http://gurusejarahtea.blogspot.co.id/2016/03/manunggaling-kaula-gusti-prespektif.html, diakses tgl. 26 April 2016
[18]Oleh Hernawan, http://gurusejarahtea.blogspot.co.id/2016/03/manunggaling-kaula-gusti-prespektif.html, diakses tgl. 26 April 2016
[19]Simuh. (1999). Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam Ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, hal. 215.
[20]Rif’i, dan Hasan Mud’is. (2010). Filsafat Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia, hal. 141
[21]Simuh. (1988). Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ronggowarsito: Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: UI-Press, hal. 312
[22] Ibid, hal. 329.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer :