BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Khazanah
sastra tulis Nusantara di Indonesia sangat kaya dan meliputi karya-karya dalam
berbagai bahasa. Salah satu dari sekian khazanah sastra Nusantara tersebut
ditulis dalam bahasa Jawa. Pada abad ke-4 hingga ke-14 M, sastra Jawa Kuno
berkembang pesat karena adanya beberapa kerajaan besar, seperti Kediri,
Singasari, dan Majapahit yang berperan sebagai penyebar peradaban dan
kebudayaan Hindu-Budha.
Setelah
keruntuhan kerajaan Majapahit pada tahun 1478 M, unsur-unsur budaya Islam mulai masuk
dan berkembang di Jawa. Pada masa Kerajaan Mataram Islam yang dipimpin
Sultan Agung, banyak muncul buku-buku yang terpengaruh oleh ajaran tasawuf.
Pada periode 1757-1881 M
merupakan masa kebangkitan sastra. Salah satunya adalah naskah cibolek karya
Yadisapura I. Pada periode inilah muncul tokoh Ronggowarsito yang oleh orang-orang
Jawa dianggap sebagai bapak kebatinan atau kejawen.[1]
Pada
makalah ini, kami akan membahas salah satu tokoh kapujanggan Jawa, yaitu Raden
Ngabehi Ronggowarsito, beserta pemikiran tasawwufnya.
B. Rumusan
Masalah
Dari latar belakang
masalah di atas, maka dapat kami rumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana biografi Raden Ngabehi Ronggowarsito?
2. Bagaimana Pemikiran Tasawwuf dalam
perspektif Ronggowarsito?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Raden Ngabehi Ronggowarsito
Ronggowarsito berasal dari keluarga
bangsawan keraton Surakarta. Dari garis ayahnya, ia adalah keturunan ke-10 dari
Sultan Hadiwijoyo (Joko Tingkir), pendiri kerajaan Pajang. Sedangkan dari garis
keturunan ibu adalah keturunan ke-13 dari Sultan Trenggono, raja Demak ketiga.
Sebenarnya Ronggowarsito adalah sebuah gelar. Ronggowarsito yang penulis bahas
dalam makalah ini adalah Ronggowarsito III.[2]
Raden Ngabehi Ronggowarsito terlahir dengan
nama kecil Bagus Burhan adalah putra dari RM. Ng. Pajangsworo. Beliau lahir
pada tanggal 14 Maret tahun 1802.[3]
Ayahnya Panjangsworo atau Ronggowarsito II adalah juru tulis kerajaan. Sedangkan
kakeknya, Sastronagoro atau Ronggowarsito I adalah pujangga kerajaan.
Oleh kakeknya, R.T Sastronegoro, Bagus
Burhan diserahkan kepada Ki Tanujaya. Selama kurang lebih delapan tahun, Bagus
Burhan mendapatkan pendidikan dari Ki Tanujaya. Ki Tanujaya merupakan orang
yang pandai dalam bergaul, pandai, lucu dan banyak ilmunya.
Pada usia 12 tahun, ia dipesantrenkan di
Tegalsari yang diasuh oleh seorang guru agama, yaitu Ki Ageng Kasan Besari atau
biasa disebut dengan Imam Besari. Imam Besari merupakan menantu Paku Buwana IV,
dan teman R.T Sastronegoro. Ia selain guru agama, juga merupakan ahli kebatinan
yang masih berdarah priyayi. Maka tidak heran jika pesantren semacam ini
menghasilkan tokoh-tokoh agamawan, juga melahirkan tokoh-tokoh negarawan dan
priyayi.[4]
Selain berguru di sekitar pulau Jawa, Bagus Burhan
juga pernah merantau berguru ke luar Jawa seperti Bali, Lombok, Ujung Pandang,
Banjarmasin bahkan ada sumber yang mengatakan pengembaraan Bagus Burham sampai
di India dan Srilanka.[5]
Sekembali dari berguru, ia tinggal di Surakarta
melaksanakan tugas sebagai abdi dalem keraton. Pada masa Sri Paduka Paku Buwono
VI, ia diangkat menjadi pegawai keraton sebagai Penewu Carik Kadipaten Anom
dengan gelar Raden Ngabehi Ronggowarsito, yang selanjutnya
bertempat tinggal di Pasar Kliwon.
Ronggowarsito wafat pada tahun 1873 bulan Desember
hari Rabu pon tanggal 24.
Karya-Karya Ranggawarsito
Diantara sekian banyak karya-karya
Ronggowarsito, ada beberapa karyanya yang berkenaan dengan spiritual atau
mistik dan bahkan karya ini adalah inti dari ajaran ketuhanan Ronggowarsito
yaitu:
a. Suluk
Jiwa atau Suluk Saloka Jiwa
Serat Suluk Jiwa atau Suluk Saloka Jiwa adalah karya
Ronggowarsito yang telah diterbitkan oleh percetakan Albert Rusche, Surakarta
1915.[6]
Sebuah risalah kecil yang memuat cerita simbolik yang meriwayatkan Tuhan Wisnu
menyerupakan diri sebagai seorang tokoh bernama Sulaiman yang berangkat ke
Turki untuk mempelajari Tasawuf. Dalam isi suluk ini menceritakan
pembicaraan ajaran ma’rifat para wali tentang wujud dan tentang awal
penciptaan, serta tiga jenis istana.[7]
b. Serat
Pamoring Kawulo Gusti
Isinya berbicara mengenai zikir dan larut
dalam perenungan kepada Allah SWT dengan hati penuh rindu. Sesungguhnya segala
sesuatu yang ada di alam terpancar dari kehendak Allah SWT. Mereka yang
mendapat anugerah rahmat dan hidaya-Nya, maka kelak akan bersatu dengan-Nya,
dalam arti bersama-Nya dan tentu yang demikian halnya memperoleh cita-citanya
dan selalu bersama dalam menjalankan tugas.[8]
Dalam Serat Pamong Kawulo Gusti juga
diutarakan pokok ajaran Wirid Hidayat Jati, bahwa manusia tersusun atas tujuh
martabat manusia: jasad (badan), budi (akal), nafsu (jiwa), ruh (suksma),
sir (rahsa), nur, dan hayu (kehidupan).[9]
c. Suluk
Lukma Lelana
Risalah ini memuat motivasi untuk membentuk
budi perketi luhur. Terdapat pula uraian mengenai pengorbanan Imam Ali Zain
Al-Abidin Ibnu Husain r.a. Suluk Sukma Lelana ini isinya menceritakan
perjalanan seorang santri bernama Sukma Lelana. Tujuanya berguru ilmu sangkan-paran
(ketuhanan) kepada seorang guru kebatinan yang bernama Syekh Iman Suci di
Arga (bukit) Sinai. Cerita ini melambangkan perjalanan jiwa manusia dalam
menuju makrifat kepada Tuhan.[10]
d. Serat
Paramayoga
Risalah ini menyinggung martabat wujud
dengan menetapkan adanya dualisme antara wujud Tuhan pencipta dengan makhluk.
Paham ini pun tidak lepas dari ajaran Ibnu Arabi yang menurut Al-‘Affi menganut
paham wujud tunggal sehingga apapun yang terjadi di dunia hanyalah manifestasi
Tuhan.[11]
e. Serat
Wirid Hidayat Jati atau Serat
Hidayat Jati
Risalah ini sebagaimana pengakuan
pengarangnya merupakan saripati ilmu ma’rifat yang diajarkan delapan wali di
Jawa. Keistimewaan lainnya, Wirid Hidayat Jati ini disusun dalam bentuk jarwa
atau prosa. Isi kandungannya diusahakan untuk menjadi kitab mistik yang
cukup lengkap, padat dan bulat.[12]
Serat Wirid Hidayat Jati yang diterbitkan oleh Administrasi Jawi Kandha,
yang isinya meliputi:
1. Upacara dan perlengkapan sajian yang harus
diselenggarakan oleh seorang guru yang akan mengajarkan ilmu mistik dan uraian
bab guru dan murid.
2. Ajaran tentang Tuhan dan hubungan antara Dzat,
Sifat, Asma dan Af'al Tuhan.
3. Uraian tentang cita kesatuan antara manusia
dengan Tuhan.
4. Jalan untuk mencapai penghayatan ghaib dan
kesatuan denganTuhan.
5. Tingkat-tingkat penghayatan ghaib beserta
godaan-godaan yang terdapat dalam tingkatan-tingkatan tersebut.
6. Uraian tentang penciptaan manusia dan hakikat manusia.
7. Aspek budi luhur beserta pelbagai ajaran yang
berkaitan dengan mistik.[13]
B. Pemikiran Tasawwuf Jawa
Ronggowarsito oleh orang-orang Jawa dianggap
sebagai bapak kebatinan atau kejawen (shufi Jawa).[14]
Ajaran
tasawuf menurut pemikiran Ronggowarsito tertuangkan ke dalam salah satu
karyanya yaitu Serat Wirid Hidayat Jati. Di dalam Wirid Hidayat Jati mengajarkan paham
kesatuan manusia dengan Tuhan. Paham ini mengajarkan bahwa manusia berasal dari
Tuhan, oleh karena itu, harus berusaha untuk kembali dengan Tuhan.[15]
Adapun jalan untuk kembali kepada Tuhan yaitu manusia sempurna (insan kamil). Pengertian insan
kamil menurut Al-Ghazali yaitu, manusia sempurna didapat karena menjalani
laku tasawuf dan sebagai manusia yang setaraf dengan waliyullah yang dapat mencapai manunggal dengan Tuhan
atau manunggaling Kawula Gusti.[16]
Konsep
manunggaling Kawula Gusti dalam wirid hidayat jati, merupakan gubahan
dari ajaran tajalli yang berasal dari
paham martabat tujuh. Tajalli berarti
memperlihatkan keluar. Dasar pemikiran ini merupakan suatu pemikiran ajaran
tasawuf yang berpaham wahdatul wujud.
Tajalli merupakan kondisi kerohanian yang mampu menyaksikan cahaya
penjelman-Nya dalam nama-Nya.[17]
Ronggowarsito
merupakan seorang yang pandai dalam menuangkan pemikirannya dalam sebuah
tulisan. Dalam tulisannya, ia menggabungkan pemahaman yang didapatkan dari
beberapa referensi yang dipelajarinya. Hal ini dibuktikan dalam pemahamannya
tentang konsep manunggaling Kawula Gusti
yang tersirat di dalam Wirid Hidayat Jati.
Untuk menerangkan konsep ini ia menggambarkan sosok Bima yang bisa masuk ke
dalam Dewa Ruci. Cerita ini merupakan hasil karya dari kakeknya yaitu
Yadisapura I yang berjudul “Serat Dewa
Ruci”. Dari cerita yang dituliskan kakekknya ini, Ronggowarsito mempunyai
pemikiran tentang konsep manunggaling
Kawula Gusti.
Manunggaling Kawula
Gusti,
dalam Islam tahapan ini dikenalkan pada ajaran tasawuf, di dalam tasawuf
diterangkan untuk mencapai kesatuan dengan Tuhan (penghayatan menyatu dengan
Tuhan) harus melalui tahapan-tahapan yang ada dalam ajaran tasawuf. Adapun
tingkatannya yaitu, syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Ketika kita sudah mencapai
tingkatan makrifat, bisa dikatakan
kita akan bisa menyatu dengan Dzat yang khalik. Kata menyatu dalam pengertian
ini tidak bisa digambarkan bahwa yang menyatu itu tubuh kita. Akan tetapi, yang
dimaksudkan dalam tulisan ini yaitu, jika kita berada pada tingkatan makrifat
jiwa kita akan mengalami ekstase
(kondisi antara sadar dan tidak sadar). Pada keadaan seperti ini kita akan
mendapatkan pengalaman pribadi yang tidak bisa dijelaskan dengan sebuah metode
ilmiah. Melainkan kita hanya bisa percaya dengan keyakinan kita sendiri.
Sebagaimana Musbikin (2010) menjelaskan bahwa manunggaling kawula Gusti,
bukanlah suatu ajaran, melainkan suatu pengalaman. Yakni pengalaman yang
benar-benar nyata bagi siapa saja yang mengalaminya. Pengalaman ini berupa
penyatuan/peleburan diri dengan Maha Kuasa.[18]
Wirid Hidayat Jati mengajarkan paham ketuhanan yang bersifat theis (percaya adanya Tuhan). Dimana
dalam Wirid Hidayat Jati karya
Ronggowarsito, Tuhan digambarkan sebagai Dzat yang berkehendak dan berkarya
secara aktif, sebagai pencipta dan penguasa alam semesta. Adapun konsepsi tentang manusia dalam Wirid Hidayat Jati mengetengahkan ajaran
martabat tujuh yang dibawa oleh sufi Nusantara pada abad ke-16 yaitu Syekh
Hamzah Fansuri. Martabat tujuh adalah
pengembangan dari suatu paham ketuhanan dalam tasawuf yang cenderung ke arah pantheistis-monis. Yaitu, suatu paham
yang mengatakan bahwa segala yang ada di alam merupakan aspek lahir dari satu
hakikat yang tunggal, yakni Tuhan.[19]
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu ‘Arabi, bahwa manusia adalah tempat tajalli Tuhan yang sempurna karena
padanya tercermin alam semesta dan sifat-sifat ketuhanan. Menurutnya, manusia
berbeda dengan segala sesuatu yang lain. Meskipun Tuhan merupakan Dzat (ain) segala sesuatu, segala sesuatu itu
bukan ‘ain (Dzat)-Nya karena sesuatau
itu hanya merupakan perwujudan sebagai asma-Nya, bukan Tuhan ber-tajjali pada sesuatu itu dalam bentuk
Dzat-Nya.[20]
Ajaran
tujuh martabat dalam Wirid Hidayat Jati karya
Ronggowarsito, merupakan unsur pokok dalam penghayatan rohani dalam mencapai
makrifat dan kesatuan kembali dengan Tuhan. Dari uraian tentang ketujuh
martabat Wirid Hidayat Jati di atas,
merupakan penjelasan asal manusia dengan martabat-martabat pelapisan
unsur-unsur pokok manusia. Dalam ajaran martabat tujuh ini, ketujuh tingkatan tajalli merupakan ajaran penciptaan pada
umumnya. Termasuk manusia sebagai penciptaan terakhir. Dalam Wirid Hidayat Jati ketujuh tingkat tajalli, dipusatkan untuk penciptaan
manusia, dimana yang diistilahkan seperti, hayyu (atma), nur, pramana,
sukma, angan-angan, budi dan jasad, adalah unsur-unsur manusia sempurna.
Sehingga terjadi unsur manusia yang sempurna atau insan kamil.[21]
Manusia sempurna (insan kamil) bukan semata hanya beribadah di
tingkatan batinnya saja, dalam arti ia pun tidak meninggalkan ibadah syari’at (wajib), dan juga menjalankan
ibadah sunah yang dicontohkan Rasulullah.
Konsep
manusia sempurna (insan kamil) yang ada pada Serat Wirid Hidayat Jati, bukan merupakan konsep manusia sempurna
sebagaimana para sufi sebelumnya, seperti Al-Ghazali, Ibnu ‘Arabi, dan Syekh
Hamzah Fansuri. Kata insan kamil yang
ada pada serat Wirid Hidayat Jati
merupakan proses penciptaan manusia secara utuh. Adapun manusia yang sempurna
atau sudah mencapai kesempurnaan dalam Wirid
Hidayat Jati, dibedakan menjadi dua golongan yaitu, golongan awam dan orang khawas. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa ajaran manunggaling Kawual Gusti dalam
pemikiran Ronggowarsito yang terserat dalam Wirid
Hidayat Jati yaitu, manusia bisa menyatu atau bertemu dengan Tuhan ketika
sudah mencapai ajal (kematian).[22]
Dari
beberapa penjelasan di atas, bahwa pemikiran tasawuf jawa dalam perspektif
Ronggowarsito merupakan suatu ajaran berpaham kemanunggalan yang disebut manunggaling
Kawulo Gusti. Hal ini terlihat dari paham martabat tujuhnya yang tersirat dalam Wirid Hidayat Jati. Jelas bahwa ajaran tasawuf Ronggowarsito dalam Wirid Hidayat Jati, merupakan perpaduan
ajaran mistisisme Islam, dengan berbagai ajaran yang berkembang dalam
kepustakaan Jawa, sehingga terjadi sifat sinkretis.
Adapun nilai sinkretisme dalam ajaran ini, yaitu penggunaan istilah-istilah
Jawa Hindu-Budha. Nilai sinkretisme/kejawen nampak hanya dari segi metode (cara
pemaparan) yang terlihat pada penggunaan bahasa Jawa sebagai alat penyampaian
ajarannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ronggowarsito dilahirkan
dari keluarga seorang pujangga. Ia mendapatkan pendidikan dalam pesantren Ki
Imam Besari. Imam Besari merupakan tokoh agama Islam yang terkemuka pada abad
ke-19. Selain itu, ia juga ahli dalam bidang kebatinan. Maka tidak heran dari
pesantren seperti ini menghasilkan seorang yang ahli dalam kebatinan dan taat
beragama.
Pemikiran tasawuf
Ronggowarsito terpengaruh paham tasawuf wahdatul wujud atau dalam bahasa
Jawa dikenal dengan manunggaling Kawula Gusti. Paham wahdatul wujud ini
merupakan suatu paham ajaran tasawuf falsafi yang dipopulerkan oleh sufi yang
bemama Ibnu Arabi.
Pemikiran Ronggowarsito
tentang manunggaling kawula Gusti bersumber dari ajaran martabat
tujuh yang merupakan ajaran tasawuf yang dikenalkan oleh tokoh sufi dari
Aceh yaitu Hamzah Fansuri.
Ajaran tasawuf Islam,
mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat Jawa yang cenderung
gemar mendalami ilmu kebatinan. Pada masa perkembangan kepustakaan Jawa.
Kemunculan tokoh Ronggowarsito dianggap oleh masyarakat Jawa sebagai seorang
tokoh kebatinan. Dari karya-karya sastranya banyak dijadikan suatu rujukan bagi
kebatinan yang ada di Jawa.
B. Saran
Dengan
segala keterbatasan dan kekurangan penulis, demikianlah makalah ini kami buat.
Oleh karena itu, sudah pasti makalah ini memerlukan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca yang budiman demi lebih baiknya makalah kami
selanjutnya. Selamat membaca dan semoga bermanfaat. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi Shihab, 2009, Akar
Tasawuf Di Indonesia. Depok: Pustaka Iman.
Djumiati, http://kakagung.blogspot.co.id/2012/02/sejarah-raden-ronggowarsito.html, diakses tanggal 26
April 2016
Hernawan,
2012, Manunggaling Kawula Gusti: Pemikiran Ronggowarsito dan Pengaruhnya
Terhadap Ajaran Tasawuf di Jawa Abad ke-19. Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia.
Hernawan, http://gurusejarahtea.blogspot.co.id/2016/03/manunggaling-kaula-gusti-prespektif.html, diakses tgl. 26 April
2016
Simuh,
1988, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi
Ranggawarsita: Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: UI-Press.
Simuh,
1999, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf
Islam Ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Rif’i, dan
Hasan Mud’is, 2010, Filsafat Tasawuf.
Bandung: CV Pustaka Setia.
[1]Alwi Shihab, 2009, Akar Tasawuf Di
Indonesia. Depok: Pustaka Iman. Hal. 238
[2]Hernawan, 2012, Manunggaling Kawula
Gusti: Pemikiran Ronggowarsito dan Pengaruhnya Terhadap Ajaran Tasawuf di Jawa
Abad ke-19, (Skripsi), hal. 20.
[3]Simuh, 1988, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi Terhadap
Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta:
UI-Press, hal. 35.
[5]Oleh Djumiati, http://kakagung.blogspot.co.id/2012/02/sejarah-raden-ronggowarsito.html,
diakses tanggal 26 April 2016
[6]Simuh, 1988, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi Terhadap
Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta:
UI-Press, hal. 51
[7]Alwi Shihab, Islam Sufistik, 162
[9]Simuh, Op.Cit, hal. 58
[13]Simuh. (1988). Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ronggowarsito: Suatu Studi Terhadap
Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta:
UI-Press, hal. 43
[14]Alwi Shihab, 2009, Akar Tasawuf Di
Indonesia. Depok: Pustaka Iman. Hal. 238
[16]Simuh. (1999). Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam Ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, hal. 262.
[17]Oleh Hernawan, http://gurusejarahtea.blogspot.co.id/2016/03/manunggaling-kaula-gusti-prespektif.html,
diakses tgl. 26 April 2016
[18]Oleh Hernawan, http://gurusejarahtea.blogspot.co.id/2016/03/manunggaling-kaula-gusti-prespektif.html,
diakses tgl. 26 April 2016
[19]Simuh. (1999). Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam Ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, hal. 215.
[20]Rif’i, dan Hasan
Mud’is. (2010). Filsafat Tasawuf. Bandung: CV Pustaka
Setia, hal. 141
[21]Simuh. (1988). Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ronggowarsito: Suatu Studi Terhadap
Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta:
UI-Press, hal. 312
[22] Ibid, hal. 329.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar