BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Agama Buddha merupakan salah
satu agama yang besar di dunia. Kata Buddha sendiri diambil dari kata Buddh yang
berarti membangun. Sedangkan orang Buddha sendiri artinya orang yang membangun.
Ada juga sebutan lain yakni Bhagavat artinya yang luhur serta Tathagat artinya
yang sempurna. Selanjutnya seorang Buddha adalah orang yang mendapat
pengetahuan dengan kekuatannya sendiri. Dalam alur sejarah agama-agama di India
zaman agama Buddha dimulai sejak tahun 500 SM hingga tahun 300 M. Secara
historis, agama tersebut mempunyai kaitan erat dengan agama yang mendahuluinya
dan yang datang sesudahnya, yaitu agama Hindu. Agama itu timbul di daerah India
Utara (daerah Kerajaan Magadha).
Banyak orang yang belum
mengerti mengenai ajaran agama Buddha terutama mereka yang bukan pemeluk agama
itu. Makalah ini mencoba menelisik lebih dalam lagi mengenai seluk beluk agama
Buddha.
B.
Permasalahan
- Bagaimana kajian historis dan pembawa agama Buddha?
- Bagaimana teologi, kitab suci dan sakramen dalam agama Buddha?
- Bagaimana perspektif Islam mengenai agama Buddha?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kajian Historis dan Pembawa Agama
Buddha
Agama Buddha muncul pada
abad ke-6 S.M. di India Utara (daerah Kerajaan Magadha) diajarkan oleh sang
Gautama atau Sidharta (hidup 560 S.M. s/d 480 S.M). Ayah dari Pangeran
Sidhartha Gautama adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dari Suku Sakya dan ibunya
adalah Ratu Mahāmāyā Dewi. Ibunda Pangeran Siddharta Gautama meninggal
dunia tujuh hari setelah melahirkan Pangeran. Dalam Usia 7 tahun Pangeran
Siddharta telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Pangeran Siddharta
menguasai semua pelajaran dengan baik. Dalam usia 16 tahun Pangeran Siddharta
menikah dengan Puteri Yasodhara yang dipersuntingnya setelah memenangkan
berbagai sayembara. Sidharta dikaruniai anak bernama Rahula.
Menurut riwayat hidupnya, Gautama
mula-mula beragama Hindu mengikuti orang tuanya. Untuk mencegah pengaruh
kehidupan masyarakat yang mungkin dapat melemahkan kepercayaan/keimanannya
dalam agama, maka dia tidak diizinkan melihat kenyataan hidup di luar istana.
Dia mengalami pendidikan isolatif dari masyarakat luas di luar istana. Untuk
menentramkan kehidupannya dia senantiasa dikelilingi dengan kehidupan serba
mewah yang khas istana yang penuh dengan kenikmatan dan kelezatan.[1] segala keinginannya akan dikabulkan
asalkan ia mau menetap di istana dan kelak bersedia menggantikan ayahnya
sebagai raja. Namun ia menolak hidup yang diliputi serba kemewahan bahkan ia
tertarik untuk hidup sederhana sebagai pertapa.
Setelah ia menginjak usia 29
tahun, terbitlah keinsyafan batinnya, bahwa hidup keduniaan dalam suasana
kemewahan di istana tidaklah dapat memberi ketentraman batinnya. Timbulnya keinsyafan
demikian itu karena di waktu ia bercengkrama telah melihat beberapa peristiwa
yang sangat mengesankan. Ia melihat seorang tua yang sangat lemah tubuhnya,
sehingga hidupnya penuh penderitaan. Ia berfikir bahwa bagaimanapun juga orang
hidup itu akhirnya pasti akan mengalami tua yang penuh penderitaan itu. Ia
melihat orang sakit yang merasakan penderitaan karena penyakitnya itu. Ia juga
melihat orang mati, yang meskipun tubuhya masih tampak utuh, tetapi sudah tidak
mempunyai daya apapun. Ia harus berpisah
dengan harta, tahta dan segala sesuata yang dicintainya. Terakhir ia melihat
seorang pendeta pertapa yang meskipun hidup miskin tapi tampak cerah wajahnya
melambangkan kedamaian yang terdapat dalam batinnya. Maka Sidharta sangat
tertarik untuk menempuh jalan hidup
orang petapa ini. Dari beberapa yang dijumpainya itu, ia dapat mengambil
kesimpulan, bahwa hidup di dunia ini penuh penderitaan. Akhinya ia memutuskan
untuk meninggalkan istana ayahnya, guna mencari jalan yang dapat membebaskan
manusia dari penderitaan. Ia mengembara masuk keluar hutan, berpuasa dan
bertapa guna untuk mendapatkan pengetahuan yang sejati. Akhirnya setelah ia
bersemedi di bawah pohon boddhi di Boddh Gaya tersingkaplah baginya pengetahuan
tentang kebenaran yang sejati. Maka sejak itu ia memakai gelar Buddha, artinya
yang telah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran yang sejati.[2]
Buddha mengembara di India
Utara untuk menyebarkan ajaran. Banyak yang percaya kepadanya. Ia hidup dari
pemberian-pemberian para pengikutnya. Kelima orang muridnya di Benares menjadi
muridnya yang pertama. Di dalam pengajarannya Buddha senantiasa memperhatikan
sifat para pendengarnya dan tingkat-tingkat perkembangan rohani mereka. Oleh
karena itu, kepada beberapa orang Buddha ia hanya mengajarkan menjalani hidup
susila, dengan membayangkan kesenangan surga di kemudian hari atau suatu
penjelmaan kembali yang bagus sebagai pahala mereka.[3]
Setelah 45 tahun
mendakwahkan ajaran-ajarannya yang sangat ditentang oleh kaum pendeta Hinduisme
itu akhirnya dia wafat dalam usia 80 tahun. Janazahnya dibakar dan abunya dibagi-bagikan
kepada raja-raja yg mengikuti ajarannya. Kota tempat Buddha wafat itu ialah Kusinagara.
Dengan demikian
pengikut-pengikutnya memandang adanya empat tempat yang disucikan
selama-lamanya. Empat kota suci tersebut menurut pemeluk ajaran Budha ialah:
1. Kapilavastu:
tempat kelahiran Gautama
2. Bodhgaya:
tempat dimana Gautama mendapat ilham pertama
3. Benares
(kasi): tempat dia pertama kali mengajarkan ilham
4. Kusinagara
: tempat dimana dia wafat dalam usia 80 tahun.
Agama Buddha diperkirakan masuk ke nusantara sejak abad ke-2 Masehi.
Hal tersebut dapat dinyatakan dengan penemuan patung Budha dari perunggu di
Jember dan Sulawesi Selatan. Patung-patung itu menunjukkan gaya seni Amarawati.
Agama Budha di nusantara berasal dari laporan seorang pengelana Cina
bernama Fa Hien pada awal abad ke-5 Masehi. Dalam laporan tersebut, Fa Hien
menceritakan bahwa selama bermukim di Jawa, ia mencatat adanya komunitas Budha
yang tidak begitu besar di antara penduduk pribumi.
Seorang Biksu Buddha bernama Gunawarman, putera dari seorang raja Kashmir di India, yang datang ke negeri Cho-Po untuk menyebarkan agama Budha Hinayana. Negeri Cho-Po mungkin terletak di Jawa atau Sumatera. Pengaruh Buddha mulai luntur ketika kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1292 M, dan posisinya digeser oleh Islam.
Seorang Biksu Buddha bernama Gunawarman, putera dari seorang raja Kashmir di India, yang datang ke negeri Cho-Po untuk menyebarkan agama Budha Hinayana. Negeri Cho-Po mungkin terletak di Jawa atau Sumatera. Pengaruh Buddha mulai luntur ketika kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1292 M, dan posisinya digeser oleh Islam.
B.
Teologi, Kitab Suci dan Sakramen
dalam Agama Buddha
- Teologi Agama Buddha
Buddha Gautama menerima dan melanjutkan ajaran
agama Brahma/Hindu tentang karma. Yakni hukum sebab akibat dari tindak laku di
dalam kehidupan, dan ajaran tentang samsara, yakni lahir berulang kali ke dunia
sebagai lanjutan karma dan ajaran tentang moksa yakni pemurnian hidup itu guna
terbebas dari Karma dan Samsara. Sekalipun Budha Gautama menerima ajaran
tentang karma dan samsara itu akan tetapi ia menyelidiki dan meneliti pangkal
sebab dari keseluruhannya itu, dan merumuskan di dalam Empat Kebenaran Utama.
Sekalipun Budha Gautama menerima ajaran tentang
Moksa itu, akan tetapi ia tidak dapat menerima dan membenarkan upacara-upacara
kebaktian penuh korban mencapai moksa itu, dan lalu menunjukkan jalan yang
hakiki bagi mencapai Moksha yang dirumuskan dengan Delapan Jalan Kebaktian.
Kotbah Pertama Budha Gautama di Isipathana,
Taman Menjangan, dekat Benares, berisikan uraian panjang lebar mengenai “Empat
Kebenaran Utama” yang pada dasarnya merupakan pendekatan Budha dalam memecahkan
masalah kehidupan ini dan Delapan Jalan Kebaktian itu.
Empat Kebenaran Utama (khutbah pertama sang Buddha),
yaitu:
a. “Dukha”
Lahirnya manusia, menjadi tua dan meninggal dunia.
b. “Samudaya”
Penderitaan itu disebabkan oleh hati yang tidak ikhlas dan hawa nafsu.
c. “Nirodha”
Penderitaan dapat dihilangkan, dengan hati ikhlas dan hawa nafsu ditahan.
d. “Magga”
(jalan), Budha mengemukakan empat tingkatan jalan yang harus dilalui yaitu :
- Sila (kebajikan)
- Samadhi (perenungan)
- Panna (pengetahuan
atau hikmat)
- Wimukti (kelepasan)
Kemudian
keempat tingkatan ini diselaraskan dengan delapan jalan tengah atau delapan
jalan kebenaran (Astavida) atau Arya Attangika Mangga :
a. Berpandangan
yang benar
b. Berniat
yang benar
c. Berbicara
yang benar
d. Berbuat
yang benar
e. Berpenghidupan
yang benar
f. Berusaha
yang benar
g. Berperhatian
yang benar
h. Memusatkan
pemikiran yang benar
Ada tiga pengakuan dalam agama budha yaitu :
a. Buddhan
saranan gacchami (saya berlindung di dalam Buddha)
b. Dhamman
saranam gacchami (saya berlindung di dalam dhamman)
c. Sangham
saranam gacchami (saya berlindung di dalam sangha).
Dassasila (sepuluh peraturan ) bagi penganut agama budha
Setiap penganut agama Buddha dari
golongan bikshu, maupun pengikut biasa harus berusaha mencapai keselamatan dan
melepaskan diri dari lingkungan hawa nafsu, dan memiliki akhlak serta
sifat-sifat keutamaan dengan menjalankan ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan sang Buddha, Dassasila (sepuluh peraturan), yaitu;
a. jangan mengganggu dan menyakiti makhluk
b. jangan mengambil apa yang tidak diberikan
c. jangan berzina
d. jangan berkata bohong
e. jangan meminum barang yang bisa memabukkan
Dan untuk golongan biksu ditambah lima lagi :
f. jangan makan bukan pada waktunya
g. jangan menonton dan menghadiri pertunjukan
h. jangan memakai perhiasan emas dan
wangi-wangian.
i. jangan tidur di tempat yang enak
j. jangan mau menerima hadiah uang.
Rukun syarat beragama budha
Adapun rukun beragama Buddha dan
ketentuan-ketentuan dalam beragama Buddha adalah sebagai berikut :
a. Tiap-tiap
orang hendaklah berusaha mengetahui Buddha itu sedalam-dalamnya.
b. Manusia
harus mempunyai sukma yang halus.
c. Manusia
jangan sampai melakukan perbuatan yang menyakiti orang lain
d. Manusia
harus mencari penghidupan yang tidak mendatangkan kebinasaan bagi orang lain.
e. Tiap-tiap
orang harus mempunyai niat yang suci dan bersih.
f. Tiap-tiap
orang hendaknya memikirkan semua mahkluk.
g. Manusia
hendaklah mempunyai roh yang kuat untuk menciptakan kebaikan dan menghilangkan
kejahatan.
Pengikut agama Buddha dibagi menjadi dua kelompok, Kelompok
pertama terdiri dari Bikkhu, Bikkhuni, Samanera, dan Samaneri. Kelompok kedua
adalah masyarakat awam terdiri dari upasaka dan upasaki yang telah menyatakan
diri berlindung kepada Buddha, Dharma, dan Sangha serta melaksanakan
prinsip-prinsip moral bagi umat awam dan hidup berumah tangga.
- Kitab Suci Agama Buddha
Sebelum kitab
suci agama Buddha tersusun seperti sekarang, awalnya hanyalah diteruskan dari
lisan kelisan oleh para pemukanya. Dapat berupa khotbah, kata mutiara, syair,
cerita, peraturan dan lain-lain. Kumpulan tersebut kemudian dikelompokkan masing-masing
yang disebut Pittaka (keranjang) yang kemudian terkenal dengan sebutan Tripittaka
(tiga keranjang). Penyusunan kitab suci secara lengkap dilakukan pada masa raja
Ashoka (313 SM), dan diteliti ulang pada 77 SM. Adapun kitab tersebut adalah:[4]
a. Sutta Pitaka, berisikan himpunan ajaran dan kotbah Buddha Gautama. Bagian terbesar
berisi percakapan antara Buddha dengan muridnya. Didalamnya juga termasuk
kitab-kitab tenang pertekunan (meditasi), dan peribadatan, himpunan kata-kata
hikmat, himpunan sajak-sajak agamawi, kisah berbagai orang suci. Keseluruhan
himpunan ini ditunjukkan bagi kalangan awam dalam agama Buddha.
b. Vinaya Pitaka, berisikan Pattimokkha, yakni peraturan tata
hidup setiap anggota biara-biara (sangha). Di dalam himpunan itu termasuk Maha
Vagga, berisikan sejarah pembangunan kebiaraan (ordo) dalam agama Buddha
beserta hal-hal yang berkaitan dengan biara. Himpunan Vinaya-pitaka itu
ditunjukkan bagi masyarakat Rahib yang disebut dengan Bikkhu dan Bikkhuni.
c. Abidharma-pitaka, yang ditunjukkan bagi lapisan terpelajar
dalam agama Buddha, bermakna : dhamma lanjutan atau dhamma khusus. Berisikan
berbagai himpunan yang mempunyai nilai-nilai tinggi bagi latihan ingatan, berisikan
pembahasan mendalam tentang proses pemikiran dan proses kesadaran. Paling
terkenal dalam himpunan itu ialah milinda-panha (dialog dengan raja Milinda)
dan pula Visuddhi maga (jalan menuju kesucian)
- Sakramen dalam Agama Buddha
Dilihat dari sejarah Buddha, Sang Buddha tidak pernah mengajar cara
upacara, namun Sang Buddha hanya mengajarkan Dhamma agar semua makhluk terbebas
dari penderitaan. Pada jaman Buddha, upacara hanya dilakukan untuk penahbisan
bhikkhu/bhikkhuni dan samanera (calon bhikku/bhikkuni). Namun upacara yang
sekarang kita lihat dan dilakukan oleh umat Buddha merupakan perkembangan dari
kebiasaan yang ada, yang terjadi sewaktu Sang Buddha masih hidup, yaitu yang
disebut Vattha yang artinya kewajiban yang harus dipenuhi
oleh para bhikkhu seperti merawat Sang Buddha, membersihkan ruangan,
mengisi air dan sebagainya sehingga mereka semua bersama dengan umat lalu duduk
selanjutnya mendengarkan khotbah Dhamma yang disampaikan oleh Sang Buddha.
Setelah Sang Buddha wafat, para bhikkhu dan umat tetap berkumpul untuk
mengenang Sang Buddha dan menghormat Sang Tiratana, yang sekaligus merupakan
kelanjutan kebiasaan Vattha.
Upacara keagamaan atau peribadatan dalam Agama Buddha dikenal dengan
istilah “Puja” atau “Puja Bakti”. Puja berarti ritual
penghormatan. Penghormatan atau pemujaan dalam agama Buddha ditujukan pada
objek yang benar atau patut dan didasarkan pada pandangan benar. Dalam
Dukanipata, Anguttara Nikaya, Sutta Pitaka, ada dua cara pemujaan, yaitu:
1. Amisa Puja (memuja secara materi)
Makna amisa
puja secara harfiah berarti pemujaan dengan persembahan seperti: lilin, dupa,
bunga, air, buah dan sebagainya. Sedangkan asal mula amisa puja ini berawal
dari kebiasaan bhikkhu Ananda, siswa setia Buddha. Setiap hari beliau selalu
mengatur tempat tidur, membersihkan tempat tinggal, membakar cendana,
menyiapkan bunga-bunga, mengatur giliran umat yang ingin menemui atau
menyampaikan dana makanan, merawat dan melayani Sang Buddha.
2. Patipatti Puja (memuja secara praktik)
Makna
patipatti puja secara harfiah berarti pemujaan melalui pelaksanaan atau
praktik. Seperti berlindung pada Tiratana, melaksanakan lima kemoralan
Pancasila Buddhis, bertekad melaksanakan Atthanga sila/delapan kemoralan dihari
uposatha, pengendalian terhadap enam indera, mencari nafkah hidup secara benar
dan praktik meditasi.
Dalam agama
Buddha terdapat empat hari raya besar, yaitu:
a. Waisak
Penganut
Buddha merayakan Hari Waisak yang merupakan peringatan 3 peristiwa.
Yaitu, hari kelahiran Pangeran Siddharta (nama sebelum menjadi Buddha), hari
pencapaian Penerangan Sempurna Pertapa Gautama, dan hari Sang Buddha wafat atau
mencapai Nibbana/Nirwana. Hari Waisak juga dikenal dengan nama Visakah Puja
atau Buddha Purnima di India, Vesak di Malaysia dan Singapura, Visakha Bucha di
Thailand, dan Vesak di Sri Lanka. Nama ini diambil dari bahasa Pali
"Wesakha", yang pada gilirannya juga terkait dengan
"Waishakha" dari bahasa Sanskerta.
b. Kathina
Hari
raya Kathina merupakan upacara persembahan jubah kepada Sangha setelah
menjalani Vassa. Jadi setelah masa Vassa berakhir, umat Buddha memasuki masa
Kathina atau bulan Kathina. Dalam kesempatan tersebut, selain memberikan
persembahan jubah Kathina, umat Buddha juga berdana kebutuhan pokok para
Bhikkhu, perlengkapan vihara, dan berdana untuk perkembangan dan kemajuan agama
Buddha
c. Asadha
Kebaktian
untuk memperingati Hari besar Asadha disebut Asadha Puja/Asalha Puja. Hari raya
Asadha, diperingati 2 (dua) bulan setelah Hari Raya Waisak, guna memperingati
peristiwa dimana Buddha memaparkan Dharma untuk pertama kalinya kepada 5 orang
pertapa (Panca Vagiya) di Taman Rusa Isipatana, pada tahun 588 Sebelum Masehi.
Kelima pertapa tersebut adalah Kondanna, Bhadiya, Vappa, Mahanama dan Asajji,
dan sesudah mendengarkan khotbah Dharma, mereka mencapai arahat. Lima orang
pertapa, bekas teman berjuang Buddha dalam bertapa menyiksa diri di hutan
Uruvela merupakan orang-orang yang paling berbahagia, karena mereka mempunyai
kesempatan mendengarkan Dhamma untuk pertama kalinya. Selanjutnya, bersama
dengan Panca Vagghiya Bhikkhu tersebut, Buddha membentuk Arya Sangha Bhikkhu (Persaudaraan
Para Bhikkhu Suci) yang pertama (tahun 588 Sebelum Masehi). Dengan terbentuknya
Sangha, maka Tiratana (Triratna) menjadi lengkap. Sebelumnya, baru ada Buddha
dan Dhamma (yang ditemukan oleh Buddha).
Khotbah
pertama yang disampaikan oleh Buddha pada hari suci Asadha ini dikenal dengan
nama Dhamma Cakka Pavattana Sutta, yang berarti Khotbah Pemutaran Roda Dhamma.
Dalam Khotbah tersebut, Buddha mengajarkan mengenai Empat Kebenaran Mulia (Cattari
Ariya Saccani) yang menjadi landasan pokok Buddha Dhamma.
d. Magha Puja
Hari Besar Magha Puja memperingati disabdakannya Ovadha Patimokha, Inti
Agama Buddha dan Etika Pokok para Bhikkhu. Sabda Sang Buddha di hadapan 1.250
Arahat yang kesemuanya arahat tersebut ditahbiskan sendiri oleh Sang Buddha
(Ehi Bhikkhu), yang kehadirannya itu tanpa diundang dan tanpa ada perjanjian
satu dengan yang lain terlebih dahulu, Sabda Sang Buddha bertempat di Vihara
Veluvana, Rajagaha. Tempat ibadah agama Buddha disebut Vihara.
C.
Perspektif Islam Mengenai Agama
Buddha
a. Ajaran tentang Tuhan
Konsep
ketuhanan dalam agama Buddha berbeda dengan konsep dalam agama Samawi. Dalam
Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, dalam bahasa Pali disebutkan “Atthi Ajatam
Abhutam Akatam Asamkhatam” yang artinya “Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak
Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak”. Dalam hal ini, Ketuhanan Yang
Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat
dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun.
Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asankhata) maka
manusia yang berkondisi (sankhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran
kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.
Islam
merupakan agama yang mengkonsepkan Tuhan secara jelas, dari nama, dzat sampai sifatnya.
Namun kedua agama ini mengajarkan bahwa Tuhan itu tunggal.
b. Ajaran tentang KitabSuci
Menurut
Buddhisme, kitab suci merupakan “wahyu” yang ditulis oleh pengikut Buddha.
Kitab suci merupakan dasar utama ajaran-ajaran Buddhism.
Menurut Islam,
kitab suci adalah wahyu dari Allah yang diturunkan kepada nabi dan ditulis oleh
para pengikutnya. Kitab suci merupakan dasar utama ajaran Islam.
D.
Analisis
Tuhan dalam agama Buddha yang bersifat non-teis (yakni, pada umumnya
tidak mengajarkan keberadaan Tuhan sang pencipta atau bergantung kepada Tuhan
sang pencipta dalam usaha mencapai pencerahan. Buddha Gautama tidak pernah
mengajarkan cara-cara menyembah kepada Tuhan maupun konsepsi ketuhanan meskipun
dalam wejangannya kadang-kadang menyebut Tuhan, ia lebih banyak menekankan pada
ajaran hidup suci, sehingga banyak para ahli sejarah agama dan sarjana teologi
Islam mengatakan agama Buddha sebagai ajaran moral belaka. Jika diperhatikan
dalam perkataan atau khotbah-khotbah Buddha Gautama dan soal jawabnya dengan kelima
temannya di Benares, ia tidak percaya kepada Tuhan-Tuhan yang banyak,
dewa-dewa, dan berhala-berhala yang dipuja dan disembah seperti halnya dalam
agama Hindu, bahkan penyembahan demikian dicela dalam ajaran Buddha dan
oleh sang Buddha Gautama itu sendiri.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
- Agama Buddha lahir pada abad ke-6 S.M. di India Utara diajarkan oleh Sidharta Gautama. Ayahnya adalah seorang raja Maghada bernama Suddodhana, ibunya bernama Mahāmāyā Dewi. Sidharta menikah dengan seorang putri bernama Tasodhara dan dikaruniai seorang putra bernama Rahula.
- Buddha mengajarkan empat kebenaran utama yaitu: Dukha, Samudaya, Nirodha, Magga. Serta adanya delapan jalan kebaikan dan sepuluh larangan.
Kitab suci
agama budha adalah Tripittaka yang terdiri dari tiga komponen yaitu : Sutta
Pittaka, Vinaya Pittaka, dan Abidharma Pittaka.
- Sang Buddha tidak pernah mengajar cara upacara, namun Sang Buddha hanya mengajarkan Dhamma agar semua makhluk terbebas dari penderitaan.
B.
Saran
Dengan segala keterbatasan dan kekurangan penulis, demikianlah makalah
ini kami buat. Oleh karena itu, sudah pasti makalah ini memerlukan kritik dan
saran yang membangun dari pembaca yang budiman demi lebih baiknya makalah kami
selanjutnya. Selamat membaca dan semoga bermanfaat. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M. 1997. Menguak
Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, Jakarta: Golden Terayon Press.
Manaf, Mujahid Abdul. 1996. Sejarah Agama-Agama, Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
JR, A. G.Honig. 1997. Ilmu
Agama, Jakarta: Gunung Mulia.
Hadiwijono, Harun. 2010. Agama
Hindu dan Buddha, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
[1]HM. Arifin, 1997, Menguak
Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, Jakarta: Golden Terayon Press, hal. 94
[2]
Mujahid Abdul Manaf, 1996, Sejarah Agama-Agama, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, hal.25-26.
[3] A. G.Honig JR, 1997, Ilmu Agama,
Jakarta: Gunung Mulia, hal.178.
[4]Harun Hadiwijono, 2010, Agama Hindu dan
Buddha, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, hal. 63
Tidak ada komentar:
Posting Komentar