BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Berbicara tentang pendidikan itu hampir dipastikan berbicara
tentang manusia. Oleh karenanya pertanyaan tentang apa dan siapakah manusia itu
hampir selalu mengedepankan ketika kita mengkaji persoalan pendidikan dan
anehnya hingga sekarang ini jawaban terhadap pertanyaan tersebut belum mendapat
jawaban yang final. Dengan demikian sebenarnya eksistensi manusia di jagad raya
atau di bumi ini adalah merupakan eksistensi rahasia unik dan penuh misteri.
Ada salah satu ilustrasi yang cukup mengakar dan terkenal yang menyatakan bahwa
“Keledai tidak mau tersandung dua kali kepada batu yang sama, tetapi sebaliknya
manusia tidak demikian halnya”.
Namun demikian tidak berarti bahwa manusia itu lebih bodoh
dibanding dengan keledai, karena hewan itu hidup hanya tergantung pada naluri
menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik yang mengitarinya. Hewan itu tidak
mampu mengatur lingkungannya, tidak punya kemampuan untuk memahami wawasan
kesejarahan, karena hewan tidak mampu belajar dari pengalaman hewan-hewan
sebelumnya.
Sebaliknya, manusia itu hidup tidak hanya mengandalkan
nalurinya saja, manusia itu hidup dengan menggunakan akal, perasaan dan
kemauan. Dengan tiga model ini, maka manusia bisa mengatur di dalam
kehidupannya, artinya manusia itu mampu untuk mengatur dan mengadakan perubahan
terhadap dan bahkan mampu menciptakan kehidupan untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai
obsesi serta harapannya.
Maka di dalam makalah ini akan dibahas eksistensi manusia di
muka bumi dan potensi pendidikan yang
dimiliki serta hal-hal yang berkaitan dengannya.
B.
Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang di atas maka pemakalah mengambil
beberapa rumusan masalah diantaranya adalah:
1.
Bagaimana hadits yang membahas mengenai manusia
dan potensi pendidikan?
2.
Apa pengertian dari manusia dan potensi
pendidikannya?
3.
Bagaimana manusia dalam mengembangkan
potensi pendidikannya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadits tentang Manusia
dan Potensi Pendidikannya
a.
Hadits
حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ، أَخْبَرَنَا
عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنْ هَمَّامٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم " مَا مِنْ مَوْلُودٍ
إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ،
كَمَا تُنْتِجُونَ الْبَهِيمَةَ، هَلْ تَجِدُونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ حَتَّى
تَكُونُوا أَنْتُمْ تَجْدَعُونَهَا ". قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَفَرَأَيْتَ مَنْ يَمُوتُ وَهْوَ صَغِيرٌ قَالَ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوا
عَامِلِينَ. (رواه
البخاري)
Artinya:
Telah menceritakan kepadaku Ishaq, telah memberitakan kepada kami
Abdurrazzaq, telah mengabarkan kepada kami ma’mar dari Hammam dari Abu Hurairah
mengatakan, Rasulullah SAW bersabda: “Tak ada bayi yang dilahirkan selain
dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya
Yahudi atau Nasrani, sebagaimana kalian memperanakkan hewan, adakah kalian
dapatkan diantaranya ada yang terpotong hidungnya hingga kalian yang
memotongnya sendiri?” Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu
perihal mereka yang mati saat masih kecil?” Nabi menjawab, “Allah lebih tahu
yang mereka kerjakan.” (HR. Bukhari)
b.
Asbabul Wurud
Adapun yang melatarbelakangi
munculnya hadits tersebut di atas adalah sebagaimana riwayat yang bersumber
dari Aswad, katanya: “Aku datang kepada Rasulullah SAW dan ikut berperang
bersama beliau. Kami meraih kemenangan dalam perang itu, namun pada hari itu
pembunuhan berlangsung terus termasuk menimpah anak-anak. Kejadian ini
dilaporkan kepada Nabi Muhammad SAW. Lalu beliau bersabda: “Keterlaluan sampai
hari ini mereka saling membunuh sehingga anak-anak banyak yang terbunuh”. Berkatalah
seorang laki-laki, “Ya Rasulullah, mereka adalah anak-anak dari orang musyrik”.
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya penopang kami adalah anak-anak orang
musyrik.”[1]
c.
Penjelasan Hadits
Hadits tersebut menjelaskan tentang
kodrat manusia yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kata fitrah berasal dari
bahasa arab fathara yang berarti sifat bawaan setiap sesuatu dari awal
penciptanya.[2]
Dijelaskan juga pada hadits di atas bahwa ayah dan ibunyalah yang menjadikannya
Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Tergambarlah bahwa peran orang tua terhadap
anaknya amatlah besar, sehingga mampu menahkodai fitrahnya anak tersebut.
Pada dasarnya semenjak lahir manusia
sudah dianugerahi fitrah atau potensi untuk menjadi baik dan jahat. Anak yang
baru lahir berada dalam keadaan suci tanpa noda dan dosa. Akan tetapi, apabila
dikemudian hari anak tersebut tumbuh dewasa dengan sifat yang buruk, maka hal
itu merupakan akibat dari pendidikan keluarga, lingkungan, dan kawan-kawan
sepermainannya yang mendukung akan pembentukan terhadap sifat-sifat buruk
tersebut.
Oleh karena itu, sudah menjadi
tanggung jawab orang tua sebagai lingkungan sosial terdekat untuk mendidik dan
membimbing putra-putrinya agar selalu tumbuh dengan potensi positif dan
berkecenderungan melakukan hal-hal baik, bukan sebaliknya. Karena jika
bimbingannya salah, maka kecenderungan dalam bersifat buruk bisa saja tumbuh
seiring bertanbahnya dewasa dan pembentukan karakternya. Karena pada dasarnya
setiap anak dibekali akan fitrah yang sama yaitu dua kecenderungan tersebut.[3]
Hadits di atas pada hakikatnya menjelaskan kepada kita bahwa
sesungguhnya setiap manusia dilahirkan dalam keadaan membawa potensi masing-masing,
dimana potensi tersebut bisa berupa potensi positif maupun potensi negatif,
bergantung bagaimana manusia itu memanfaatkan potensinya itu, mau disalurkan
kemana.
Potensi
yang dimaksud di sini bisa berupa keberanian maksudnya bila anak itu keberaniannya
lebih subur ketimbang rasa takutnya maka dia akan menjadi pemberani, demikian
halnya sebaliknya bila yang lebih menonjol adalah rasa takutnya maka dia akan
jadi penakut. Jadi, di sini anak bisa saja menjadi anak yang baik, jahat,
pintar dan lain sebagainya bergantung bagaimana kita mengelolah potensi
tersebut.
Terkait
dengan pernyataan bahwa orang tuanyalah yang dapat menjadikan anaknya menjadi Yahudi,
Nasrani maupun Majusi, itu karena memang orang tualah yang memiliki peranan
yang sangat besar dalam proses perkembangan anak.
Namun
demikian, terkadang pula kita temukan ada anak yang orang tuanya ustaz tapi justru
anaknya malah jadi preman, sebaliknya tidak sedikit pula kita temukan dalam
kehidupan masyarakat ayahnya seorang preman pemabuk tapi justru anaknya malah
jadi ustaz. Apa arti semua itu? Inilah yang dimaksudkan bahwa anak bisa saja
jadi orang yang baik ataupun jadi sebaliknya. Mungkin inilah yang disebutkan
pepatah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya tetapi kadang buah itu dibawa kelelawar
sehingga ia jatuh jauh dari pohonnya.
B.
Pengertian Manusia dan
Potensi Pendidikannya
Dalam
dimensi pendidikan, keutamaan dan keunggulan manusia dibanding dengan makhluk
Allah lainnya terangkum dalam kata “fitrah”. Secara bahasa fitrah
berasal dari kata fathara yang berarti menjadikan. Kata tersebut
berasal dari akar kata al-fathr yang berarti belahan atau pecahan.
Abdurrahman
Shaleh Abdullah mengartikan kata fitrah sebagai bentuk potensi yang diberikan
Allah padanya disaat peciptaan manusia dialam rahim. Potensi tersebut belum
bersifat final, akan tetapi merupakan proses. Ia juga mengatakan bahwa anak
yang lahir belum tentu muslim, meskipun ia berasal dari keluarga muslim. Akan
tetapi Allah SWT telah membekalinya dengan potensi-potensi yang memungkinkannya
menjadi seorang Muslim.[4]
Muhammad
Bin Asyur sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab mendefinisikan fitrah
manusia kepada pengertian “fitrah (makhluk) adalah bentuk dan sistem yang
diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Sedangkan fitrah yang berkaitan dengan
manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan
kemampuan jasmani dan akalnya”. Dari pengertian tersebut dapat diartiakan bahwa
fitrah merupakan potensi yang diberikan Allah kepada manusia sehingga manusia
mampu melaksanakan amanat yang diberiakan Allah kepadanya yang meliputi potensi
seluruh dimensi manusia.[5]
Dari sekian
banyak pengertian tentang fitrah, maka dapat diambil kata kunci bahwa fitrah
adalah potensi manusia.
Muhammad
Bin Asyur sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab dalam mendefinisikan
fitrah manusia ada beberapa potensi yang dimiliki oleh manusia diantaranya
yaitu:
- Potensi jasadiah, yaitu contohnya potensi berjalan tegak dengan menggunakan kedua kaki.
- Potensi aqliyah, yaitu contohnya kemampuan manusia untuk menarik sesuatu kesimpulan dari sejumlah premis.
- Potensi rohaniyah, yaitu contohnya kemampuan manusia untuk dapat merasakan senang, nikmat, sedih, bahagia, tenteram, dan sebagainya.[6]
Disini
dapat ditarik kesimpulan bahwa potensi manusia yang dibawa sejak lahir terdiri
dari:
- Potensi agama
- Potensi akal yang mencangkup spiritual
- Potensi fisik atau jasadiah
- Potensi rohaniah mencangkup hati nurani dan nafsu.
C.
Manusia dalam Mengembangkan
Potensi Pendidikannya
Salah satu sifat kodrati fitrah manusia adalah selalu ingin
menciptakan dunia dan tata kehidupan serta ingin mengatasi segala rintangan dan
hambatan yang ada di hadapannya. Oleh karena itu, ia tidak hanya berada dalam
dunianya sendiri akan tetapi selalu berkomunikasi dan berdialog dengan seluruh
kehidupan. Selain fitrah di atas manusia juga memiliki fitrah keTuhanan yang
dibuat antara manusia dengan penciptanya Yang Maha Agung dalam bentuk dialog, yang
akan ditanyakan kembali setelah manusia melewati hidup dunia yaitu fitrah
komitmen tauhid.
Menurut Imam Al Ghazali salah satu sifat kodrati dari
manusia bahwa ia tidak pernah berhenti bertanya dalam hal mencari kebenaran.
Manusia itu ingin selalu bertanya-tanya tentang rahasia alam semesta.[7]
Untuk
mengembangkan potensi/kemampuan dasar, maka manusia membutuhkan adanya bantuan
dari orang lain untuk membimbing, mendorong, dan mengarahkan agar berbagai
potensi tersebut dapat bertumbuh dan berkembang secara wajar dan secara
optimal, sehingga kehidupannya kelak dapat berdaya guna dan berhasil guna.
Dengan begitu mereka akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan
sosial.
Dari
beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa fitrah yang dibawa
oleh setiap manusia semenjak ia lahir harus dikembangkan dengan pendidikan. Karena
sifat manusia yang yang selalu membutuhkan orang lain untuk perubahan dan
perbaikan dirinya. Dan juga perkembangan fitrah manusia itu akan dipengaruhi
oleh lingkungan. Di dalam fitrah manusia terdapatnya suatu kebutuhan-kebutuhan.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka perlu adanya bantuan dari orang lain
tersebut. Sehingga kebutuhan-kebutuhan tersebut terpenuhi.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa manusia
adalah salah satu makhluk hidup yang diciptakan oleh Allah SWT yang diberikan
akal, dimana akal dapat menjadi salah satu modal yang terkandung di tubuh kita
yang dapat mengembangkan potensi kita, salah satunya dengan mengetahui potensi
pendidikannya. Adapun potensi pendidikannya adalah dimana bakat manusia untuk
mengembangkan atau bakat dalam mendalami pendidikan.
Macam-macam potensi manusia antara lain:
·
Potensi agama
·
Potensi akal yang mencangkup spiritual
·
Potensi fisik atau jasadiah
·
Potensi rohaniah mencangkup hati nurani
dan nafsu.
Untuk mengembangkan potensinya, maka manusia membutuhkan
adanya bantuan dari orang lain untuk membimbing, mendorong, dan mengarahkan
agar berbagai potensi tersebut dapat bertumbuh dan berkembang secara wajar dan
secara optimal.
B. Saran
Dengan segala keterbatasan dan kekurangan penulis,
demikianlah makalah ini kami buat. Oleh karena itu, sudah pasti makalah ini
memerlukan kritik dan saran yang membangun dari pembaca yang budiman demi lebih
baiknya makalah kami selanjutnya. Selamat membaca dan semoga bermanfaat. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdurrahman Shaleh. 1991.
Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Quran. Jakarta: Rineka Cipta.
Juwariyah.
2010. Hadits Tarbawi, Yogyakarta: Teras.
Rusn,
Abidin Ibnu. 2008. Pemikiran Al Ghazali
Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://alkadri-pengajian.blogspot.co.id/2011/03/hadis-tentang-fitrah-manusia.html, diakses
tanggal 15-03-2016.
http://nalar-langit.blogspot.co.id/2015/12/fitrah-manusia-dan-potensi-pendidikan.html, diakses tanggal
15-03-2016
https://sapanmaluluang.wordpress.com/2011/07/14/fitrah-dan-potensi-manusia-dalam-pendidikan-islam,
diakses tanggal 12 April 2016
[1]http://alkadri-pengajian.blogspot.co.id/2011/03/hadis-tentang-fitrah-manusia.html,
diakses tanggal 15-03-2016.
[2]Juwariyah, Hadits Tarbawi,
Teras, Yogyakarta, 2010, hlm. 2
[3]http://nalar-langit.blogspot.co.id/2015/12/fitrah-manusia-dan-potensi-pendidikan.html diakses tanggal 15-03-2016
[4]Abdurrahman
Shaleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Quran. Jakarta: Rineka
Cipta,1991. hlm. 51
[5]https://sapanmaluluang.wordpress.com/2011/07/14/fitrah-dan-potensi-manusia-dalam-pendidikan-islam.
diakses tanggal 12 April 2016
[6]https://sapanmaluluang.wordpress.com/2011/07/14/fitrah-dan-potensi-manusia-dalam-pendidikan-islam.
diakses tanggal 12 April 2016
[7]Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2008, hlm. 92
Tidak ada komentar:
Posting Komentar