BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kedudukan hadits (al-Sunnah) sebagai sumber
ajaran Islam setelah al-Qur’an sudah tidak diperselisihkan lagi oleh para
ulama. Berhujjah dengan hadits sahih jelas tidak diperdebatkan lagi, bahkan
demikianlah yang semestinya. Namun bagaimana menentukan kesahihan suatu hadits
merupakan kajian yang sederhana. Suatu hal yang pasti ada jarak waktu yang
panjang antara masa kehidupan Rasulullah dengan masa penulisan dan pembukuan
suatu hadits.
Untuk meneliti kesahihan suatu hadis dalam ilmu
hadis dikembangkan dua cabang ilmu yakni ilmu hadits riwayat, yang objek
kajiannya ialah bagaimana menerima, menyampaikan kepada orang lain,
memindahkan dan mendewankan dalam diwan hadis. Dalam menyampaikan dan
mendewankan hadis dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan
maupun sanadnya. Ilmu ini tidak membicarakan hal ikhwal sifat perawi yang berkenaan
dengan ‘âdil, dhâbith atau fasik yang dapat berpengaruh terhadap sahih tidaknya
suatu hadis. Perihal perawi merupakan objek kajian ilmu hadits dirayah. Karena
kedudukan perawi sangat penting dalam menentukan kesahihan suatu hadis, maka
ilmu hadis dirayah membahas secara khusus keadaan perawi. Jalan untuk
mengetahui keadaan perawi itu adalah melalui ilmu Jarh wa Ta’dil.
B. Rumusan
Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat
dirumuskan suatu rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian Jarh wa Ta’dil?
2. Apa dasar kebolehan melakukan
Jarh dan Ta’dil?
3. Apa sebab-sebab perawi dikenakan
Jarh dan Ta’dil dan apa syarat seorang kritikus?
4. Bagaimana cara melakukan Jarh dan
Ta’dil?
5. Apa saja lafadz-lafazd dan
Maratib al-Jarh wa al-Ta’dil?
6. Bagaimana jika terjadi pertentangan
Jarh dan Ta’dil?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian al-Jarh wa al-Ta’dil
Secara bahasa lafadz al-Jarh
adalah masdar dari kata kerja جَرَحَ يَجْرَحُ جَرْحًا
yang berarti melukai sebagian badan yang memungkinkan darah dapat mengalir[1],
selanjutnya dikatakan bahwa al-Jarh mempunyai arti mengaibkan seseorang yang oleh
karenanya ia menjadi kurang.
Sedangkan menurut Istilah:
الجرح
: هو ظهور وصف فى الراوي يثلم عدالته، أو يخل بحفظه وضبطه، مما يترتب عليه سقوط
روايته أو ضعفها وردها
“Menampakan suatu sifat
kepada rawi yang dapat merusak keadilannya atau merusak kekuatan hafalan dan
ketelitiannya serta apa-apa yang dapat meng-gugurkan riwayatnya dan menyebabkan
riwayatnya ditolak”.[2]
Di dalam buku Pengantar Studi Ilmu Hadits oleh
Syaikh Manna Al-Qaththan, Jarh menurut istilah adalah terlihatnya sifat pada
seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak
hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau
melemahkannya hingga kemudian ditolak.[3]
Sedangkan Ta’dil menurut bahasa berarti at-taswiyah
(menyamakan).[4] Menurut Prof. Dr. Teungku M. Hasbi as Shidieqy
definisi ta’dil adalah:
وصف
الراوى بصفات توجب عدالته التى هي مدار القبول لروايته
“’Mensifatkan si perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang
tersebut adil, yang menjadi sumbu (puncak) penerimaan riwayatnya”.[5]
Dengan demikian menurut Ajaz al-Khatib, Ilmu
Jarh wa Ta’dil adalah suatu ilmu yang membahas tentang keadaan para perawi dari
segi diterima atau ditolaknya riwayat mereka.[6]
Ulama lain mendefinisikan al-Jarh dan al-ta’dil
dalam satu definisi, yaitu:
علم يبحث عن الرواة من حيث ما ورد فى شأنهم
مما يشنيهم أو يزكيهم بألفاظ مخصوصة
“Ilmu yang membahas tentang para perawi Hadis dari segi yang dapat
menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan
mereka, dengan ungkapan atau lafaz tertentu”.[7]
Secara lebih tegas lagi Abd al-Rahman ibn Abi
Hatim al-Razi seperti dikutip Faturahman mendefinisikan Ilmu Jarh wa Ta’dil,
yaitu suatu ilmu yang membahas tentang Jarh dan Ta’dil para perawi dengan
menggunakan lafadz-lafadz tertentu dan membahas pula tentang
tingkatan-tingkatan lafadz tersebut dan Ilmu Jarh wa Ta’dil ini merupakan salah
satu cabang dari ilmu Rijal al-Hadits.
Dari berbagai macam pengertian di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa pengertian Jarh wa Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan
tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya
(memandang lurus perangai para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan
untuk menerima atau menolak riwayat mereka.
B. Dasar Kebolehan Melakukan Jarh dan
Ta’dil
Pada dasarnya menilai pribadi seseorang dan
selanjutnya menyatakan kepada orang lain adalah sesuatu perbuatan yang tidak
dianjurkan oleh syara’, bahkan dapat diancam dengan dosa apabila penilaian
tersebut bersifat negatif, seperti mem-beritakan tentang cacat dan kelemahannya
kepada orang lain.[8] Dalam melakukan Jarh dan Ta’dil akan terungkap aib
kepribadian perawi. Oleh karena itu, dipermasalahkan apakah hal ini tidak
sejalan dengan maksud firman Allah yang termaktub dalam QS. Al-Hujurat ayat 6
dan apakah ini berarti kita tidak menentang anjuran hadits Nabi yang
menyatakan:
مَنْ سَتَرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ (رواه
أحمد)
“Barangsiapa yang
menutupi aib saudaranya yang muslim (di dunia), maka Allah akan menutupi aib baginya
pada hari qiyamat” (H.R. Ahmad).
Menanggapi permasalahan ini Ajaz al-Khatib
justru berpandangan sebaliknya dan mengatakan bahwa kaidah-kaidah syari’ah yang
umum telah menunjukkan kewajiban melestarikan ilmu ini karena dengan
menggunakan ikhwal para perawi akan nampak jalan yang lurus untuk memelihara
al-Sunnah (al-Hadits).
Firman Allah dalam surat
al-Hujurat ayat 6:[9]
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang
fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al Hujurat: 6).
Disamping dalil di atas, beberapa keterangan
menyatakan bahwa seiring dengan munculnya periwayatan yang salah satu segi
pentingnya dalam menentukan khabar yang sahih adalah keadilan sisi periwayatannya,
maka Jarh wa Ta’dil ini telah dipraktikkan pada masa sahabat, tabi’in, dan
generasi selanajutnya. Kepentingan dasar untuk melakukan Jarh wa Ta’dil ini
adalah semata-mata berkhidmat pada syari’at Islamiyah, memelihara sumber
syari’ah yang didasari kejujuran dan niat yang ikhlas.[10]
C. Sebab-sebab Perawi Dikenakan Jarh dan Ta’dil
dan Syarat Seorang Kritikus
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, sebagaimana
dikutip Hasbi, bahwa sebab-sebab yang menjadikan aibnya seoarang perawi itu
banyak, tetapi semuanya berkisar di sekitar lima macam saja: bid’ah, mukhalafah,
ghalath, jahalah al-hal, da’wa al-inqitha’.[11]
1.
Bid’ah, yaitu
melakukan tindakan tercela di luar ketentuan syara’. Orang yang disifati dengan
bid’ah adakalanya tergolong orang yang dikafirkan dan adakalanya orang yang
difasikkan. Mereka yang dianggap kafir adalah golongan Rafidhah dan mereka yang
dianggap fasik adalah golongan yang mempunyai keyakinan (‘itikad) yang
berlawanan dengan dasar syari’at.
2. Mukhalafah, yaitu
menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqah. Mukhalafah ini dapat menimbulkan
haditsnya syadz atau munkar.
3.
Ghalath, yaitu
orang yang banyak kekeliruan dalam meriwayatkan.
4. Jahalah al-hal,
yaitu tidak dikenal identitasnya, maksudnya perawi yang belum dikenal
identitasnya ialah haditsnya tidak dapat diterima.
5. Da’wa al-inqitha’,
yaitu diduga keras sanadnya terputus, misalnya menda’wa perawi, mentadliskan
atau mengirsalkan suatu hadits.
Mengingat perjalanan (pekerjaan) melakukan Jarh
wa Ta’dil ini merupakan pekerjaan yang rawan, dikarenakan menyangkut nama baik
dan kehormatan para perawi yang akan menentukan diterima atau ditolaknya suatu
hadits, maka ulama menetapkan kriteria tertentu bagi seorang yang melakukan
jarh wa ta’dil. Adapun syarat-syarat yang diperlukan, yakni:[12]
1.
Haruslah orang tersebut ‘âlim (berilmu pengetahuan),
2.
Bertaqwa,
3.
Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat,
dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat),
4.
Jujur,
5.
Belum pernah dijarh,
6.
Menjauhi fanatik golongan,
7.
Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dilkan dan untuk men-tajrihkan.
D. Cara Melakukan Jarh wa Ta’dil
Disadari sepenuhnya oleh para ulama bahwa jalan
utama untuk mengetahui hukum syari’at adalah melalui penukilan dan periwayatan.
Oleh karena itu, ditetapkanlah beberapa ketentuan dalam Jarh wa Ta’dil para
perawi yang pada pokoknya meliputi:
1.
Bersikap jujur dan proporsional, yaitu mengemukakan keadaan perawi
secara apa adanya.
2.
Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama misalnya secara cermat dapat
membedakan antara dha’ifnya suatu hadits karena lemahnya agama perawi dan
dha’ifnya suatu hadits karena perawinya tidak kuat hafalannya.
3.
Tetap menjaga batas-batas kesopanan dalam melakukan Jarh dan Ta’dil.
Ulama senantiasa dalam etik ilmiah dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan
hasil Jarh dan ta’dilnya.
4.
Bersifat Global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentajrih. Lazimnya
para ulama tidak menyebutkan sebab-sebab dalam menta’dil, misalnya tidak pernah
disebutkan bahwa si fulan tsiqah atau ‘adil karena shalat, puasa, dan tidak
menyakiti orang. Cukup mereka mengatakan “si fulan tsiqah” atau “si
fulan ‘adil”. Alasannya tidak disebutkan karena terlalu banyak. Lain
halnya dengan al-Jarh, umumnya sebab-sebab Jarhnya disebutkan misalnya si
fulan itu tidak bisa diterima haditsnya karena dia sering teledor, ceroboh,
leboh banyak ragu, atau tidak dhabit atau pendusta atau fasik dan lain sebagainya.
Untuk mengetahui ‘adilnya seorang perawi
menurut Ajaz al-Khatib ada dua jalan:[13]
1.
Melalui popularitas keadilan perawi di kalangan para ulama. Jadi bila
seorang perawi sudah dikenal sebagai orang yang ‘adil seperti Malik bin Annas,
Sufyan Tsauri, maka tidak perlu lagi diadakan penelitian lebih jauh lagi.
2.
Melalui tazkiyah, yaitu adanya seorang yang adil menyatakan keadilan
seorang perawi yang semula belum dikenal keadilannya.
Adapun untuk mengetahui kecacatan juga dapat
ditempuh seperi pada cara mengetahui keadilan seorang perawi yang disebutkan di
atas.
E. Lafadz-lafazd
dan Maratib al-Jarh wa al-Ta’dil
Melalui cara Jarh wa Ta’dil seperti yang
dikemukakan di atas, akan terungkap kualitas perawi yang sepintas menggambarkan
tingkatan atau klasifikasi mereka. Oleh para ulama ahli hadits, Jarh wa
Ta’dil diungkapkan dengan lafadz-lafadz tertentu. Dalam melakukan jarh
dan ta’dil para ulama Hadits merumuskan beberapa lafal yang dipergunakan
sesuai dengan tingkat ke jarh-an dan keadilan yang dimiliki oleh seorang
perawi. Masing-masing jarh dan ta’dil, sebagaimana yang dikutip
oleh Ajaz al-Khatib, mempunyai 6 (enam) tingkatan, yaitu:
a. Tingkatan Lafadz Jarh
Berikut ini disebutkan secara
berurutan tingkatan tajrih mulai dari tingkatan yang paling berat jarh-nya,
sampai kepada yang paling ringan jarh-nya.
Pertama, menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi yang sangat parah,
misalnya dengan kata-kata:
أَكْذَبُ النَّاسِ، رُكْنُ الْكَذِبِ
(Manusia paling pendusta, tiangnya dusta).
Lafal yang dipergunakan pada peringkat ini
menunjukkan jarh yang bersangatan.
Kedua, menggunakan lafadz
yang menunjukan bahwa perawi memang sering berdusta namun tidak separah
tingkatan pertama. Lafadz yang digunakan misalnya:
كَذَّابٌ، وَضَّاعٌ
(pendusta, pengada-ada)
Meskipun lafal yang dipergunakan menunjukkan
bersangatan (mubalaghah), tetapi lebih lunak dari peringkat yang
pertama.
Ketiga, menggunakan lafadz
yang menunjukan bahwa perawi dituduh berdusta lafadz yang digunakan misalnya:
مُتَّهَمٌ بِالْكَذِبِ،
مُتَّهَمٌ بِالْوَضْعِ، يَسْرِقُ الْحَدِيْثَ، هَالِكٌ، مُتْرُوْقٌ، لَيْسَ
بِثِقَةٍ
(tertuduh dusta, tertuduh mengada-ada, mencuri
hadits, celaka, ditinggalkan, tidak tsiqat)
Keempat, menggunakan lafadz yang menunjukkan bahwa hadits diriwayatkan sangat
lemah. Lafadz yang digunakan:
رُدَّ حَدِيْثُهُ،
طُرِحَ حَدِيْثُهُ، ضَعِيْفٌ جِدًّا، لَيْسَ بِشَيْءٍ، لاَ يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ
(ditolak haditsnya, dibuang haditsnya, lemah
sekali, tidak ada apa-apanya, tidak dituliskan haditsnya).
Kelima, menggunakan lafadz
yang menunjukan bahwa perawi itu lemah atau tidak kokoh hafalannya atau banyak
yang mengingkarinya. Lafadz yang digunakan misalnya:
مُضْطَرِبُ الْحَدِيْثِ،
لاَيُحْتَجُ بِهِ، ضَعَّفُوْهُ، ضَعِيْفٌ
(goncang hadisnya, tidak dijadikan hujjah, para
ulama hadis melemahkannya, dia lemah)
Keenam, mengemukakan sifat
perawi untuk membuktikan kedhaifan perawi, namun sudah mendekati tingkat
al-ta’dil. Lafadz yang digunakan misalnya:
غير أوثق منه،
ليس بذلك القوي، فيه مقال، ليس بحجة، فيه ضعيف
(perawinya lebih tsiqat dari padanya, tidak
kuat, padanya ada yang dipertanyakan, tidak termasuk hujjah, padanya terdapat
kelemahan)
Para ulama hadis tidak berhujjah
dengan hadis-hadis yang perawinya memiliki sifat-sifat empat peringkat pertama.
Terhadap perawi yang memiliki sifat yang terdapat pada peringkat kelima dan
keenam, pada hadisnya hanya dapat dipergunakan sebagai I’tibar. Hal
tersebut adalah karena tingkat kedaifannya adalah ringan.[14]
b. Tingkatan Lafadz Ta’dil
Secara berurutan dari yang
tertinggi tingkat keadilannya sampai kepada yang terendah, adalah dengan
menggunakan lafal-lafal sebagai berikut.[15]
Pertama, أوثق النَّاس، أضبط
النَّاسِ، ليس لَهُ نَظِيْرٌ
(orang yang paling tsiqat/terpercaya, paling dabit,
tiada bandingan baginya)
Kedua, فُلاَنٌ لاَ يَسْألُ عَنْهُ أَوْ عَنْ مِثْلِهِ
(si fulan tidak perlu dipertanyakan tentang
dirinya, atau diragukan lagi keadilannya),
Ketiga, ثِقَةٌ ثِقَةٌ، ثِقَةٌ مَأْمُوْنٌ،
ثِقَةٌ حَفِظٌ
(terpercaya lagi terpercaya, terpercaya lagi
jujur, terpercaya lagi mempunyai kekuatan hafalan yang baik),
Keempat, حجة، إمام، عدل حافظ، عدل ضابط
(hujjah, imam, adil lagi hafiz, adil lagi
dabit)
Kelima, مَأْمُوْنٌ، لَا بَأْسَ بِهِ صَدُوْقٌ،
(benar, jujur, tidak ada masalah)
Lafal-lafal tersebut hanya menunjukkan keadilan
seseorang, tetapi tidak menunjukkan ke dabitannya.
Keenam, شيخ، ليس ببعيد من الصواب، صُوَيْلِحٌ، صدوق إن شاء الله
(syeikh, tidak jauh dari benar, orang yang sedikit keshalehannya, semoga benar).
Lafal-lafal yang keenam ini menunjukkan seseorang
perawi itu sudah mendekati jarh.
Para ulama Hadits menyatakan
keshahihan sanad dengan empat pertama dari tingkatan lafal ta’dil di
atas. Sementara untuk tingkatan kelima dan keenam yang tidak menunjukkan
kedabitan seorang perawi, baru dapat diterima haditsnya apabila ada sanad lain
sebagai penguatnya.[16]
F. Pertentangan Jarh dan Ta’dil
Diantara para ulama terkadang terjadi
pertentangan pendapat terhadap seorang perawi. Bisa jadi ulama yang satu
menta’dilkannya sedangkan yang lainnya mentajrihnya. Untuk menentukan mana yang
akan diunggulkan apakah pendapat ulama yang mentajrih atau yang menta’dil
terdapat berbagai pendapat di kalangan ulama hadits, sebagai berikut:
1.
Jarh didahulukan dari ta’dil meskipun ulama yang menta’dilnya
lebih banyak dari ulama yang mentajrih. Menurut al-Syaukani pendapat ini adalah
pendapat jumhur, alasannya orang yang mentajrih mempunyai kelebihan mengetahui
(cermat) melihat kekurangan perawi yang hal ini umumnya tidak dilihat secara
jeli oleh orang yang menta’dil.[17]
2.
Ta’dil didahulukan dari jarh apabila orang yang menta’dil lebih banyak
dari ulama yang mentajrih, karena banyaknya yang menta’dil memperkuat keadaan
mereka. Pendapat ini kemudian ditolak dengan alasan bahwa meskipun ulama yang
menta’dil itu banyak, namun mereka tidak mungkin akan mau menta’dil sesuatu
yang telah ditajrih oleh ulama lain.
3.
Apabila jarh dan ta’dil saling bertentangan maka tidak dapat ditajrihkan
salah satunya, kecuali ada salah satu yang menguatkannya, dengan demikian
terpaksa kita tawaquf dari mengamalkan salah satunya sampai diketemukan hal
yang menguatkan salah satunya.
4.
Ta’dil harus didahulukan dari jarh, karena pentarjih dalam mentajrih
perawi menggunakan ukuran yang bukan substansi jarh, sedangkan menta’dil,
kecuali setelah meneliti secara cermat persyaratan diterimanya ke’adalahannya
seorang perawi.
Menurut Ajaz al-Khatib pendapat pertamalah yang
dipegangi oleh ulama hadits, baik mutaqaddimin maupun mutaakhirin.
Demikianlah sekilas pembahasan tentang jarh dan
ta’dil yang merupakan ilmu tentang hal ikhwal para perawi dari segi diterima
atau ditolaknya periwayatan mereka. Ilmu ini sangat urgen bagi terlaksananya
pembendungan terhadap mereka yang membuat hadits palsu.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
a.
Men-jarh atau
men-tajrih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang
dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya.
b.
Ta’dil ialah
menunjukkan atau membayangkan kebaikan atau kelurusan seorang rawi. Rawi yang
dikatakan adil yaitu orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat
menodai agamanya.
c.
Ilmu Jarh Wa
Ta’dil ialah ilmu yang membahas tentang para perawi hadits dari segi yang dapat
mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafal tertentu.
d.
Penetapan tentang
kecacatan seorang rawi dapat ditempuh melalui dua jalan, yaitu berdasarkan
berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya, dan berdasarkan
pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia
cacat.
e.
Penetapan
keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah dapat dilakukan oleh seorang rawi
yang adil atau setiap orang yang dapat diterima periwayatannya.
Syarat ulama al-jarh wa al-ta’dil di antaranya:
Syarat ulama al-jarh wa al-ta’dil di antaranya:
ü Berilmu, bertakwa, wara’, dan jujur
ü Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan
men-jarh-kan
ü Mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab
f.
Sebab-sebab
timbulnya jarh dapat disebabkan oleh:
ü hawa nafsu atau suatu maksud tertentu
ü kepercayaan yang berlainan
ü perselisihan antara ahli tashawuf dan ahli zhahir
ü pembicaraan yang muncul tanpa didasari ilmu, dan
ü kesamar-samaran serta tidak adanya wara’.
g.
Lafadz-lafadz
yang digunakan untuk men-jarh-kan dan men-ta’dil-kan rawi memiliki
tingkatan-tingkatan. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu’s Shalah dan Imam Nawawy,
lafadz-lafadz itu disusun menjadi 4 tingkatan, menurut Al Hafidh Ad- Dzahaby
dan Al ‘Iraqy menjadi 5 tingkatan, sedangkan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6
tingkatan.
B. SARAN
Apabila kita temui sebagian ahli jarh wa ta’dil menjarhkan seorang
rawi, maka kita tidak boleh segera menerima pentajrihan tersebut, tetapi
hendaklah diselediki lebih dulu jika pentajrihan itu membawa kegoncangan yang
hebat, kendatipun mentajrihkan hadits yang masyhur sekalipun tidak boleh kita
terus menerima pentajrihannya sebelum kita adakan penelitian yang dapat dipakai
untuk menolaknya.
Tidaklah boleh kita terlalu cepat menghukum kemajruhan seorang
perawi lantaran ada yang menjarhkannya. Tetapi kita harus meneliti lebih jauh,
karena mencela seseorang bukanlah soal yang mudah. Kerap kali pencelaan yang
dihadapkan oleh seseorang, kita ketemukan sebab-sebab yang menolak celaannya itu.
Terkadang para pencela adalah orang yang dirinya cacat. Maka karenanya kita tidak boleh menerima perkataannya selama belum ada yang menyetujuinya.
Terkadang para pencela adalah orang yang dirinya cacat. Maka karenanya kita tidak boleh menerima perkataannya selama belum ada yang menyetujuinya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan terjemahnya, Depag
R.I. 1992
Ma’luf, Louis. Kamus
al-Munjid, al-Mathba’ah al-Bijatsu Kuliah, Beirut, 1935.
al-Khatib, Ajaz. Ushul al-hadits
Ulumuhu Wa Musthalahuhu, Dar al-Fikr, Damaskus, 1989.
Hasbi as-shidieqy, Teungku
Muhammad. Prof. Dr. Pengantar Ilmu hadits, PT. Pustaka Rizki Putra
Semarang, 2010.
Rahman, Fatchur., Ikhtisar Musthalah
al-Hadits, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1974.
Yuslem, Nawir, Dr. M.A. Sembilan
Kitab Induk Hadis, Hijri Pustaka Utama, Jakarta, 2006.
Suparta , Munzier. Ilmu Hadis,
Cet. Ke-6, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.
Al-Qaththan, Syaikh Manna’.
Pengantar Studi Ilmu Hadits (Penj. Mifdhol Abdurrahman, Lc.), Pustaka
Al-Kautsar, Jakarta, 2009.
[2] Ajaz al-Khatib, Ulum
al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1975), hal. 260.
[3] Syaikh Manna
Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits (Penj. Mifdhol Abdurrahman, Lc.),
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), hal. 82.
[4] Drs. H. Munzier
Suparta, M.A., Ilmu Hadis, Cet. Ke-6 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2010), hal. 31.
[5] Prof. Dr. Teungku M.
Hasbi as Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 2010), hal. 279.
[8] Dr. Nawir Yuslem,
M.A., Sembilan Kitab Induk Hadis, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2006),
hal. 171-172.
[12] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar
Mushthalahu’l-Hadits, Cet. Ke-1, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974), hal.
310-311.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar