Senin, 02 Juli 2018

ILMU JARH WA TA’DIL (Mata Kuliah : Ulumul Hadits)


BAB  I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Kedudukan hadits (al-Sunnah) sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an sudah tidak diperselisihkan lagi oleh para ulama. Berhujjah dengan hadits sahih jelas tidak diperdebatkan lagi, bahkan demikianlah yang semestinya. Namun bagaimana menentukan kesahihan suatu hadits merupakan kajian yang sederhana. Suatu hal yang pasti ada jarak waktu yang panjang antara masa kehidupan Rasulullah dengan masa penulisan dan pembukuan suatu hadits.
Untuk meneliti kesahihan suatu hadis dalam ilmu  hadis dikembangkan dua cabang ilmu yakni ilmu hadits riwayat, yang objek kajiannya ialah bagaimana menerima,  menyampaikan kepada orang lain, memindahkan dan mendewankan dalam diwan hadis. Dalam menyampaikan dan mendewankan hadis dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak membicarakan hal ikhwal sifat perawi yang berkenaan dengan ‘âdil, dhâbith atau fasik yang dapat berpengaruh terhadap sahih tidaknya suatu hadis. Perihal perawi merupakan objek kajian ilmu hadits dirayah. Karena kedudukan perawi sangat penting dalam menentukan kesahihan suatu hadis, maka ilmu hadis dirayah membahas secara khusus keadaan perawi. Jalan untuk mengetahui keadaan perawi itu adalah melalui ilmu Jarh wa Ta’dil.

B.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan suatu rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian Jarh wa Ta’dil?
2.      Apa dasar kebolehan melakukan Jarh dan Ta’dil?
3.      Apa sebab-sebab perawi dikenakan Jarh dan Ta’dil dan apa syarat seorang kritikus?
4.      Bagaimana cara melakukan Jarh dan Ta’dil?
5.      Apa saja lafadz-lafazd dan Maratib al-Jarh wa al-Ta’dil?
6.      Bagaimana jika terjadi pertentangan Jarh dan Ta’dil?


BAB  II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian al-Jarh wa al-Ta’dil
Secara bahasa lafadz al-Jarh adalah masdar dari kata  kerja  جَرَحَ يَجْرَحُ جَرْحًا
yang berarti melukai sebagian badan yang memungkinkan darah dapat mengalir[1], selanjutnya dikatakan bahwa al-Jarh mempunyai arti mengaibkan seseorang yang oleh karenanya ia menjadi kurang.
Sedangkan menurut Istilah:
الجرح : هو ظهور وصف فى الراوي يثلم عدالته، أو يخل بحفظه وضبطه، مما يترتب عليه سقوط روايته أو ضعفها وردها
Menampakan suatu sifat kepada rawi yang dapat merusak keadilannya atau merusak kekuatan hafalan dan ketelitiannya serta apa-apa yang dapat meng-gugurkan riwayatnya dan menyebabkan riwayatnya ditolak”.[2]

Di dalam buku Pengantar Studi Ilmu Hadits oleh Syaikh Manna Al-Qaththan, Jarh menurut istilah adalah terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.[3]
Sedangkan Ta’dil menurut bahasa berarti at-taswiyah (menyamakan).[4] Menurut Prof. Dr. Teungku M. Hasbi as Shidieqy definisi ta’dil adalah:
وصف الراوى بصفات توجب عدالته التى هي مدار القبول لروايته
’Mensifatkan si perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut adil, yang menjadi sumbu (puncak) penerimaan riwayatnya”.[5]

Dengan demikian menurut Ajaz al-Khatib, Ilmu Jarh wa Ta’dil adalah suatu ilmu yang membahas tentang keadaan para perawi dari segi diterima atau ditolaknya riwayat mereka.[6]
Ulama lain mendefinisikan al-Jarh dan al-ta’dil dalam satu definisi, yaitu:
علم يبحث عن الرواة من حيث ما ورد فى شأنهم مما يشنيهم أو يزكيهم بألفاظ مخصوصة
Ilmu yang membahas tentang para perawi Hadis dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafaz tertentu”.[7]

Secara lebih tegas lagi Abd al-Rahman ibn Abi Hatim al-Razi seperti dikutip Faturahman mendefinisikan Ilmu Jarh wa Ta’dil, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang Jarh dan Ta’dil para perawi dengan menggunakan lafadz-lafadz tertentu dan membahas pula tentang tingkatan-tingkatan lafadz tersebut dan Ilmu Jarh wa Ta’dil ini merupakan salah satu cabang dari ilmu Rijal al-Hadits.
Dari berbagai macam pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian Jarh wa Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.

B.  Dasar Kebolehan Melakukan Jarh dan Ta’dil
Pada dasarnya menilai pribadi seseorang dan selanjutnya menyatakan kepada orang lain adalah sesuatu perbuatan yang tidak dianjurkan oleh syara’, bahkan dapat diancam dengan dosa apabila penilaian tersebut bersifat negatif, seperti mem-beritakan tentang cacat dan kelemahannya kepada orang lain.[8] Dalam melakukan Jarh dan Ta’dil akan terungkap aib kepribadian perawi. Oleh karena itu, dipermasalahkan apakah hal ini tidak sejalan dengan maksud firman Allah yang termaktub dalam QS. Al-Hujurat ayat 6 dan apakah ini berarti kita tidak menentang anjuran hadits Nabi yang menyatakan:
مَنْ سَتَرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه أحمد)
Barangsiapa yang menutupi aib saudaranya yang muslim (di dunia), maka Allah akan menutupi aib baginya pada hari qiyamat” (H.R. Ahmad).

Menanggapi permasalahan ini Ajaz al-Khatib justru berpandangan sebaliknya dan mengatakan bahwa kaidah-kaidah syari’ah yang umum telah menunjukkan kewajiban melestarikan ilmu ini karena dengan menggunakan ikhwal para perawi akan nampak jalan yang lurus untuk memelihara al-Sunnah (al-Hadits).
Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 6:[9]
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al Hujurat: 6).

Disamping dalil di atas, beberapa keterangan menyatakan bahwa seiring dengan munculnya periwayatan yang salah satu segi pentingnya dalam menentukan khabar yang sahih adalah keadilan sisi periwayatannya, maka Jarh wa Ta’dil ini telah dipraktikkan pada masa sahabat, tabi’in, dan generasi selanajutnya. Kepentingan dasar untuk melakukan Jarh wa Ta’dil ini adalah semata-mata berkhidmat pada syari’at Islamiyah, memelihara sumber syari’ah yang didasari kejujuran dan niat yang ikhlas.[10]

C.  Sebab-sebab Perawi Dikenakan Jarh dan Ta’dil dan Syarat Seorang Kritikus
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, sebagaimana dikutip Hasbi, bahwa sebab-sebab yang menjadikan aibnya seoarang perawi itu banyak, tetapi semuanya berkisar di sekitar lima macam saja: bid’ah, mukhalafah, ghalath, jahalah al-hal, da’wa al-inqitha’.[11]
1.     Bid’ah, yaitu melakukan tindakan tercela di luar ketentuan syara’. Orang yang disifati dengan bid’ah adakalanya tergolong orang yang dikafirkan dan adakalanya orang yang difasikkan. Mereka yang dianggap kafir adalah golongan Rafidhah dan mereka yang dianggap fasik adalah golongan yang mempunyai keyakinan (‘itikad) yang berlawanan dengan dasar syari’at.
2.  Mukhalafah, yaitu menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqah. Mukhalafah ini dapat menimbulkan haditsnya syadz atau munkar.
3.      Ghalath, yaitu orang yang banyak kekeliruan dalam meriwayatkan.
4.  Jahalah al-hal, yaitu tidak dikenal identitasnya, maksudnya perawi yang belum dikenal identitasnya ialah haditsnya tidak dapat diterima.
5. Da’wa al-inqitha’, yaitu diduga keras sanadnya terputus, misalnya menda’wa perawi, mentadliskan atau mengirsalkan suatu hadits.
Mengingat perjalanan (pekerjaan) melakukan Jarh wa Ta’dil ini merupakan pekerjaan yang rawan, dikarenakan menyangkut nama baik dan kehormatan para perawi yang akan menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadits, maka ulama menetapkan kriteria tertentu bagi seorang yang melakukan jarh wa ta’dil. Adapun syarat-syarat yang diperlukan, yakni:[12]
1.       Haruslah orang tersebut ‘âlim (berilmu pengetahuan),
2.      Bertaqwa,
3.      Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat),
4.      Jujur,
5.       Belum pernah dijarh,
6.      Menjauhi fanatik golongan,
7.      Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dilkan dan untuk men-tajrihkan.

D.  Cara Melakukan Jarh wa Ta’dil
Disadari sepenuhnya oleh para ulama bahwa jalan utama untuk mengetahui hukum syari’at adalah melalui penukilan dan periwayatan. Oleh karena itu, ditetapkanlah beberapa ketentuan dalam Jarh wa Ta’dil para perawi yang pada pokoknya meliputi:
1.      Bersikap jujur dan proporsional, yaitu mengemukakan keadaan perawi secara apa adanya.
2.      Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama misalnya secara cermat dapat membedakan antara dha’ifnya suatu hadits karena lemahnya agama perawi dan dha’ifnya suatu hadits karena perawinya tidak kuat hafalannya.
3.      Tetap menjaga batas-batas kesopanan dalam melakukan Jarh dan Ta’dil. Ulama senantiasa dalam etik ilmiah dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan hasil Jarh dan ta’dilnya.
4.      Bersifat Global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentajrih. Lazimnya para ulama tidak menyebutkan sebab-sebab dalam menta’dil, misalnya tidak pernah disebutkan bahwa si fulan tsiqah atau ‘adil karena shalat, puasa, dan tidak menyakiti orang. Cukup mereka mengatakan “si fulan tsiqah” atau “si fulan ‘adil”. Alasannya tidak disebutkan karena terlalu banyak. Lain halnya dengan al-Jarh, umumnya sebab-sebab Jarhnya disebutkan misalnya si fulan itu tidak bisa diterima haditsnya karena dia sering teledor, ceroboh, leboh banyak ragu, atau tidak dhabit atau pendusta atau fasik dan lain sebagainya.
Untuk mengetahui ‘adilnya seorang perawi menurut Ajaz al-Khatib ada dua jalan:[13]
1.      Melalui popularitas keadilan perawi di kalangan para ulama. Jadi bila seorang perawi sudah dikenal sebagai orang yang ‘adil seperti Malik bin Annas, Sufyan Tsauri, maka tidak perlu lagi diadakan penelitian lebih jauh lagi.
2.      Melalui tazkiyah, yaitu adanya seorang yang adil menyatakan keadilan seorang perawi yang semula belum dikenal keadilannya.

Adapun untuk mengetahui kecacatan juga dapat ditempuh seperi pada cara mengetahui keadilan seorang perawi yang disebutkan di atas.

E.  Lafadz-lafazd dan Maratib al-Jarh wa al-Ta’dil
Melalui cara Jarh wa Ta’dil seperti yang dikemukakan di atas, akan terungkap kualitas perawi yang sepintas menggambarkan tingkatan atau klasifikasi mereka. Oleh para ulama ahli hadits, Jarh wa Ta’dil diungkapkan dengan lafadz-lafadz tertentu. Dalam melakukan jarh dan ta’dil para ulama Hadits merumuskan beberapa lafal yang dipergunakan sesuai dengan tingkat ke jarh-an dan keadilan yang dimiliki oleh seorang perawi. Masing-masing jarh dan ta’dil, sebagaimana yang dikutip oleh Ajaz al-Khatib, mempunyai 6 (enam) tingkatan, yaitu:

a.   Tingkatan Lafadz Jarh
Berikut ini disebutkan secara berurutan tingkatan tajrih mulai dari tingkatan yang paling berat jarh-nya, sampai kepada yang paling ringan jarh-nya.
Pertama, menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi yang sangat parah, misalnya dengan kata-kata:
  أَكْذَبُ النَّاسِ،  رُكْنُ الْكَذِبِ
(Manusia paling pendusta, tiangnya dusta).
Lafal yang dipergunakan pada peringkat ini menunjukkan jarh yang bersangatan.
Kedua, menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang sering berdusta namun tidak separah tingkatan pertama. Lafadz yang digunakan misalnya:
 كَذَّابٌ، وَضَّاعٌ
(pendusta, pengada-ada)
Meskipun lafal yang dipergunakan menunjukkan bersangatan (mubalaghah), tetapi lebih lunak dari peringkat yang pertama.
Ketiga, menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi dituduh berdusta lafadz yang digunakan misalnya:
مُتَّهَمٌ بِالْكَذِبِ، مُتَّهَمٌ بِالْوَضْعِ، يَسْرِقُ الْحَدِيْثَ، هَالِكٌ، مُتْرُوْقٌ، لَيْسَ بِثِقَةٍ
(tertuduh dusta, tertuduh mengada-ada, mencuri hadits, celaka, ditinggalkan, tidak tsiqat)

Keempat, menggunakan lafadz yang menunjukkan bahwa hadits diriwayatkan sangat lemah. Lafadz yang digunakan:
رُدَّ حَدِيْثُهُ، طُرِحَ حَدِيْثُهُ، ضَعِيْفٌ جِدًّا، لَيْسَ بِشَيْءٍ، لاَ يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ
(ditolak haditsnya, dibuang haditsnya, lemah sekali, tidak ada apa-apanya, tidak dituliskan haditsnya).

Kelima, menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi itu lemah atau tidak kokoh hafalannya atau banyak yang mengingkarinya. Lafadz yang digunakan misalnya:
مُضْطَرِبُ الْحَدِيْثِ، لاَيُحْتَجُ بِهِ، ضَعَّفُوْهُ، ضَعِيْفٌ
(goncang hadisnya, tidak dijadikan hujjah, para ulama hadis melemahkannya, dia lemah)

Keenam, mengemukakan sifat perawi untuk membuktikan kedhaifan perawi, namun sudah mendekati tingkat al-ta’dil. Lafadz yang digunakan misalnya:
غير أوثق منه،  ليس بذلك القوي، فيه مقال، ليس بحجة، فيه ضعيف
(perawinya lebih tsiqat dari padanya, tidak kuat, padanya ada yang dipertanyakan, tidak termasuk hujjah, padanya terdapat kelemahan)

Para ulama hadis tidak berhujjah dengan hadis-hadis yang perawinya memiliki sifat-sifat empat peringkat pertama. Terhadap perawi yang memiliki sifat yang terdapat pada peringkat kelima dan keenam, pada hadisnya hanya dapat dipergunakan sebagai I’tibar. Hal tersebut adalah karena tingkat kedaifannya adalah ringan.[14]

b.   Tingkatan Lafadz Ta’dil
Secara berurutan dari yang tertinggi tingkat keadilannya sampai kepada yang terendah, adalah dengan menggunakan lafal-lafal sebagai berikut.[15]
Pertama,  أوثق النَّاس، أضبط النَّاسِ، ليس لَهُ نَظِيْرٌ
(orang yang paling tsiqat/terpercaya, paling dabit, tiada bandingan baginya)
Kedua,  فُلاَنٌ لاَ يَسْألُ عَنْهُ أَوْ عَنْ مِثْلِهِ
(si fulan tidak perlu dipertanyakan tentang dirinya, atau diragukan lagi keadilannya),

Ketiga, ثِقَةٌ ثِقَةٌ، ثِقَةٌ مَأْمُوْنٌ، ثِقَةٌ حَفِظٌ
(terpercaya lagi terpercaya, terpercaya lagi jujur, terpercaya lagi mempunyai kekuatan hafalan yang baik),

Keempat,  حجة، إمام، عدل حافظ، عدل ضابط
(hujjah, imam, adil lagi hafiz, adil lagi dabit)


Kelima,  مَأْمُوْنٌ، لَا بَأْسَ بِهِ  صَدُوْقٌ،
(benar, jujur, tidak ada masalah)
Lafal-lafal tersebut hanya menunjukkan keadilan seseorang, tetapi tidak menunjukkan ke dabitannya.

Keenam,  شيخ، ليس ببعيد من الصواب، صُوَيْلِحٌ، صدوق إن شاء الله
(syeikh, tidak jauh dari benar, orang yang sedikit keshalehannya, semoga benar).
Lafal-lafal yang keenam ini menunjukkan seseorang perawi itu sudah mendekati jarh.

Para ulama Hadits menyatakan keshahihan sanad dengan empat pertama dari tingkatan lafal ta’dil di atas. Sementara untuk tingkatan kelima dan keenam yang tidak menunjukkan kedabitan seorang perawi, baru dapat diterima haditsnya apabila ada sanad lain sebagai penguatnya.[16]

F.   Pertentangan Jarh dan Ta’dil
Diantara para ulama terkadang terjadi pertentangan pendapat terhadap seorang perawi. Bisa jadi ulama yang satu menta’dilkannya sedangkan yang lainnya mentajrihnya. Untuk menentukan mana yang akan diunggulkan apakah pendapat ulama yang mentajrih atau yang menta’dil terdapat berbagai pendapat di kalangan ulama hadits, sebagai berikut:
1.      Jarh didahulukan dari ta’dil meskipun ulama  yang menta’dilnya lebih banyak dari ulama yang mentajrih. Menurut al-Syaukani pendapat ini adalah pendapat jumhur, alasannya orang yang mentajrih mempunyai kelebihan mengetahui (cermat) melihat kekurangan perawi yang hal ini umumnya tidak dilihat secara jeli oleh orang yang menta’dil.[17]
2.      Ta’dil didahulukan dari jarh apabila orang yang menta’dil lebih banyak dari ulama yang mentajrih, karena banyaknya yang menta’dil memperkuat keadaan mereka. Pendapat ini kemudian ditolak dengan alasan bahwa meskipun ulama yang menta’dil itu banyak, namun mereka tidak mungkin akan mau menta’dil sesuatu yang telah ditajrih oleh ulama lain.
3.      Apabila jarh dan ta’dil saling bertentangan maka tidak dapat ditajrihkan salah satunya, kecuali ada salah satu yang menguatkannya, dengan demikian terpaksa kita tawaquf dari mengamalkan salah satunya sampai diketemukan hal yang menguatkan salah satunya.
4.      Ta’dil harus didahulukan dari jarh, karena pentarjih dalam mentajrih perawi menggunakan ukuran yang bukan substansi jarh, sedangkan menta’dil, kecuali setelah meneliti secara cermat persyaratan diterimanya ke’adalahannya seorang perawi.

Menurut Ajaz al-Khatib pendapat pertamalah yang dipegangi oleh ulama hadits, baik mutaqaddimin maupun mutaakhirin.
Demikianlah sekilas pembahasan tentang jarh dan ta’dil yang merupakan ilmu tentang hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan mereka. Ilmu ini sangat urgen bagi terlaksananya pembendungan terhadap mereka yang membuat hadits palsu.


BAB III
PENUTUP

A.  KESIMPULAN
a.    Men-jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya.
b.   Ta’dil ialah menunjukkan atau membayangkan kebaikan atau kelurusan seorang rawi. Rawi yang dikatakan adil yaitu orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agamanya.
c.      Ilmu Jarh Wa Ta’dil ialah ilmu yang membahas tentang para perawi hadits dari segi yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafal tertentu.
d.     Penetapan tentang kecacatan seorang rawi dapat ditempuh melalui dua jalan, yaitu berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya, dan berdasarkan pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat.
e.      Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah dapat dilakukan oleh seorang rawi yang adil atau setiap orang yang dapat diterima periwayatannya.
Syarat ulama al-jarh wa al-ta’dil di antaranya:
ü      Berilmu, bertakwa, wara’, dan jujur
ü      Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-jarh-kan
ü      Mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab
f.       Sebab-sebab timbulnya jarh dapat disebabkan oleh:
ü      hawa nafsu atau suatu maksud tertentu
ü      kepercayaan yang berlainan
ü      perselisihan antara ahli tashawuf dan ahli zhahir
ü      pembicaraan yang muncul tanpa didasari ilmu, dan
ü      kesamar-samaran serta tidak adanya wara’.
g.     Lafadz-lafadz yang digunakan untuk men-jarh-kan dan men-ta’dil-kan rawi memiliki tingkatan-tingkatan. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu’s Shalah dan Imam Nawawy, lafadz-lafadz itu disusun menjadi 4 tingkatan, menurut Al Hafidh Ad- Dzahaby dan Al ‘Iraqy menjadi 5 tingkatan, sedangkan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan.


B.  SARAN
Apabila kita temui sebagian ahli jarh wa ta’dil menjarhkan seorang rawi, maka kita tidak boleh segera menerima pentajrihan tersebut, tetapi hendaklah diselediki lebih dulu jika pentajrihan itu membawa kegoncangan yang hebat, kendatipun mentajrihkan hadits yang masyhur sekalipun tidak boleh kita terus menerima pentajrihannya sebelum kita adakan penelitian yang dapat dipakai untuk menolaknya.
Tidaklah boleh kita terlalu cepat menghukum kemajruhan seorang perawi lantaran ada yang menjarhkannya. Tetapi kita harus meneliti lebih jauh, karena mencela seseorang bukanlah soal yang mudah. Kerap kali pencelaan yang dihadapkan oleh seseorang, kita ketemukan sebab-sebab yang menolak celaannya itu.
Terkadang para pencela adalah orang yang dirinya cacat. Maka karenanya kita tidak boleh menerima perkataannya selama belum ada yang menyetujuinya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan terjemahnya, Depag R.I. 1992
Ma’luf, Louis. Kamus al-Munjid, al-Mathba’ah al-Bijatsu Kuliah, Beirut, 1935.
al-Khatib, Ajaz. Ushul al-hadits Ulumuhu Wa Musthalahuhu, Dar al-Fikr, Damaskus, 1989.
Hasbi as-shidieqy, Teungku Muhammad. Prof. Dr. Pengantar Ilmu hadits, PT. Pustaka Rizki Putra Semarang, 2010.
Rahman, Fatchur., Ikhtisar Musthalah al-Hadits, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1974.
Yuslem, Nawir, Dr. M.A. Sembilan Kitab Induk Hadis, Hijri Pustaka Utama, Jakarta, 2006.
Suparta , Munzier. Ilmu Hadis, Cet. Ke-6, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.
Al-Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilmu Hadits (Penj. Mifdhol Abdurrahman, Lc.), Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2009.


[1] Louis Ma’luf, Kamus al-Munjid Fî al-Lughah wa al-’Alam, (Bairut: Dar al-Syarqy, 1976), hal. 83.
[2] Ajaz al-Khatib, Ulum al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1975), hal. 260.
[3] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits (Penj. Mifdhol Abdurrahman, Lc.), (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), hal. 82.
[4] Drs. H. Munzier Suparta, M.A., Ilmu Hadis, Cet. Ke-6 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 31.
[5] Prof. Dr. Teungku M. Hasbi as Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010), hal. 279.
[6] Ajaz al-Khatib,op.cit., hal. 261.
[7] Drs. H. Munzier Suparta, M.A, Op.cit., hal. 31-32.
[8] Dr. Nawir Yuslem, M.A., Sembilan Kitab Induk Hadis, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2006), hal. 171-172.
[9] Al-Qur’an dan terjemahnya, Depag R.I. 1992
[10] Ajaz Al-Khatib, op.cit., hal. 267
[11] Prof. Dr. Teungku M. Hasbi as Shidieqy, op.cit., hal. 280-281.
[12] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l-Hadits, Cet. Ke-1, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974), hal. 310-311.
[13] Ajaz Al-Khatib, op.cit., h. 267
[14] Ibid., hal. 174-175.
[15] Dr. Nawir Yuslem, M.A., op.cit., hal. 173.
[16] Ibid., hal. 174.
[17] Ibid, hal. 267.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer :