Senin, 02 Juli 2018

FIQH MU’AMALAH DAN PEMBAGIANNYA (Mata Kuliah : Fiqh II (Mu’amalah)


BAB  I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang kompleks dan dinamis, segala hal semuanya sudah diatur sedemikian rupa salah satu aturan dalam Islam tersebut termaktub dalam ilmu fiqh muamalah. Didalamnya mencakup seluruh sisi kehidupan individu dan masyarakat, baik perekonomian, sosial kemasyarakatan, politik bernegara, serta lainnya.
Interaksi manusia dengan segala tujuannya untuk memenuhi kebutuhan keduniaan. Interaksi ini diatur dalam Islam dalam suatu ilmu yang disebut Fiqh Muamalah. Berbeda halnya dengan Fiqh Ibadah, Fiqh Muamalah lebih bersifat fleksibel. Hukum semua aktifitas itu pada awalnya adalah boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya, inilah kaidah ushul fiqhnya. Fiqh muamalah pada awalnya mencakup semua aspek permasalahan yang melibatkan interaksi manusia. Hukum muamalah itu terdiri dari hukum keluarga, hukum kebendaan, hukum acara, perundang-undangan, hukum internasional, hukum ekonomi dan keuangan. Tapi, sekarang Fiqh Muamalah dikenal secara khusus atau lebih sempit mengerucut hanya pada hukum yang terkait dengan harta benda.

B.     Rumusan Masalah
  1. Bagaimana pengertian fiqh mu’amalah?
  2. Apa saja asas-asas fiqh mu’amalah?
  3. Bagaimana pembagian fiqh mu’amalah?


BAB  II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Fiqh Mu’amalah
Fiqih muamalah merupakan salah satu dari bagian persoalan hukum Islam seperti yang lainnya yaitu tentang hukum ibadah, hukum pidana, hukum peradilan, hukum perdata, hukum jihad, hukum perang, hukum damai, hukum politik, hukum penggunaan harta, dan hukum pemerintahan. Semua bentuk persoalan yang dicantumkan dalam kitab fiqih adalah pertanyaan yang dipertanyakan masyarakat atau persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Kemudian para ulama memberikan pendapatnya yang sesuai kaidah-kaidah yang berlaku dan kemudian pendapat tersebut dibukukan berdasarkan hasil fatwa-fatwanya.[1]
Secara bahasa (etimologi) Fiqih berasal dari kata faqiha (فقه) yang berarti paham dan muamalah berasal dari kata ’Amila yang berarti berbuat atau bertindak atau Al ‘amaliyyah maksudnya yang berhubungan dengan amaliyah (aktifitas), baik aktifitas hati seperti niat, atau aktifitas lainnya, seperti membaca al Qur’an, shalat, jual beli dan lainnya. Muamalah adalah hubungan kepentingan antar sesama manusia. Muamalah tersebut meliputi transaksi-transaksi kehartabendaan seperti jual beli, perkawinan, dan hal-hal yang berhubungan dengannya, urusan persengketaan (gugatan, peradilan, dan sebaginya) dan pembagian warisan.[2]
Secara istilah (terminologi) fiqh muamalah dapat diartikan sebagai aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda.
Fiqh muamalah dalam pengertian kontemporer sudah mempunyai arti khusus dan lebih sempit apabila dibandingkan dengan muamalah sebagai bagian dari pengelompokan hukum Islam oleh ulama klasik (Ibadah dan muamalah). Fiqh muamalah merupakan peraturan yang menyangkut hubungan kebendaan atau yang biasa disebut dikalangan ahli hukum positif dengan nama hukum private. Hukum private dalam pengertian tersebut tidak lain hanya berisi pembicaraan tentang hak manusia dalam hubungannya satu sama lain, seperti hak penjual untuk menerima uang dari pembeli dan pembeli menerima barang dari penjual.[3]
Dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa secara garis besar definisi atau pengertian fiqih  muamalah yaitu, hukum-hukum yang berkaitan dengan tata cara berhubungan antar sesama  manusia, baik hubungan tersebut bersifat kebendaan maupun dalam bentuk perjanjian perikatan. Fiqih mu’malah adalah salah satu pembagian lapangan pembahasan fiqih selain yang berkaitan dengan ibadah, artinya lapangan pembahasan hukum fiqih mu’amalah adalah hubungan interpersonal antar sesama manusia, bukan hubungan vertikal manusia dengan tuhannya (ibadah mahdloh).

B.  Asas-asas Fiqh Muamalah
Fiqh muamalah dalam penerapannya memiliki beberapa asas yang mendasarinya, yaitu:
1.   al-‘Adalah
Dalam suatu perjanjian para pihak dituntut untuk menjalankan keadilan dalam mengungkapkan kehendak dan keadaan dan memenuhi semua kewajiban. Perjanjian harus senantiasa mendatangkan keuntungan yang setara atau seimbang, serta tidak boleh mendatangkan kerugian bagi salah satu pihak.
2.   al-Mu’awanah
Mu’awanah memiliki arti Kemitraan. Yang dimaksud dengan kemitraan  adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan.[4]
3.   al-Musyarakah
Musyarakah merupakan akad kerja sama diantara para pemilik modal yang mencampurkan modal mereka dengan tujuan mencari keuntungan. Dalam musyarakah, para mitra sama-sama menyediakan modal untuk membiayai suatu usaaha terentu dan bekerja bersama mengelola usaha tersebut. Modal yang ada harus digunakan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama sehingga tidak boleh digunakan umtuk kepentingnan pribadi atau dipinjamkan pada pihak laain tanpa seizin mitra lainnya.
4.   al-Manfa’ah
Manfa’ah dalam bermuamalah diartikan sebagai suatu kegiatan yang memiliki nilai guna kepada pelaku muamalah itu sendiri.
5.   ‘An Tarodhin
Dalam referensi lain asas ini disebut dengan al-Ridho, artinya setiap bentuk muamalat antar individu atau kelompok harus berdasarkan pada suka sama suka atau suka rela.
6.   ‘Adamul Gharar
Secara bahasa ‘Adamun artinya tidak ada atau ketiadaan, sementara gharar artinya ketidaktentuan atau ketidakjelasan. Berdasarkan kedua kata tersebut maka ‘adamul gharar dapat diartikan menghilangkan sesuatu yang belum tentu dan jelas. Dalam fiqh muamalah gharar dapat dikatakan setiap transaksi yang masih belum jelas barangnya atau tidak berada dalam kuasanya alias di luar jangkauan.[5]
Dalam referensi lain, ‘adamul gharar yaitu bahwa setiap bentuk muamalat tidak boleh ada tipu daya atau yang menyebabkan salah satu  pihak  merasa dirugikan sehingga menimbulkan adanya ketidaksukaan.
7.   Kebebasan Membuat Akad
Hukum Islam mengakui kebebasan berakad, yaitu satu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang syari’ah memberikan usul apa saja kedalam akad, dan yang dibuatnya itu sesuai kepentingannya dan tidak berakibat memakan harta sesama dengan jalan bathil. Kaidah-kaidah hukum islam menunjukkan bahwa hukum Islam menganut asas kebebasan berakad.
8.   al-Musawah
Asas ini memiliki makna kesetaraan atau kesamaan, artinya bahwa setiap pihak-pihak pelaku muamalah berkedudukan sama.
9.   ash-Shiddiq
Dalam Islam manusia diperintahkan untuk menjunjung kejujuran dan kebenaran. Jika dalam bermuamalah kejujuran dan kebenaran tidak dikedepankan, maka akan berpengaruh terhadap keabsahan perjanjian. Perjanjian yang di dalamnya terdapat unsur kebohongan maka bisa menjadi batal atau tidak sah.

C.    Pembagian Fiqh Mu’amalah
Menurut Ibn Abidin, fiqih muamalah dibagi menjadi lima bagian, yaitu:
1.      Muawadhah Maliyah (Hukum Perbendaan)
2.      Munakahat (Hukum Perkawinan)
3.      Muhasanat (Hukum Acara)
4.      Amanat dan ‘Aryah (Hukum Pinjaman)
5.      Tirkah (Hukum Peninggalan)[6]

Sedangkan menurut Al-Fikri dalam kitab Al-Muamalah Al-Madiyah wa Al-Adabiyah membagi fiqh muamalah menjadi dua bagian:
1.      Al-Muamalah Al-Madiyah
Al-Muamalah Al-Madiyah adalah muamalah yang mengkaji segi objeknya, yakni benda. Sebagian ulama berpendapat bahwa Al-Muamalah Al-Madiyah bersifat kebendaan, yakni benda yang halal, haram, dan syubhat untuk dimiliki, diperjualbelikan, atau diusahakan, benda yang menimbulkan kemadharatan dan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, dan lain-lain. Semua aktivitas yang berkaitan dengan benda, seperti al-bai’ (jual beli) tidak hanya ditujukan untuk memperoleh keuntungan semata, tetapi jauh lebih dari itu, yakni untuk memperoleh ridha Allah SWT. Jadi kita harus menuruti tata cara jual beli yang telah ditentukan oleh syara’.
Yang termasuk Mu’amalah Al-Madiyah diantaranya:
a.       Jual beli (Al-bai’ at-Tijarah)
b.      Gadai (rahn)
c.       Jaminan/tanggungan (kafalah)
d.      Pemindahan utang (hiwalah)
e.       Perseroan atau perkongsian (asy-syirkah)
f.       Perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah)
g.      Upah (ujral al-amah)
h.      Gugatan (asy-syuf’ah)
i.        Sayembara (al-ji’alah)
j.        Pembagian kekayaan bersama (al-qisamah)
k.      Pemberian (al-hibbah)
l.        Pembebasan (al-ibra’), damai (ash-shulhu)
m.    beberapa masalah mu’ashirah (mukhadisah), seperti masalah bunga bank, asuransi, kredit, dan masalah lainnnya.
n.      Pembagian hasil pertanian (musaqah)
o.      Kerjasama dalam perdagangan (muzara’ah)
p.      pembelian barang lewat pemesanan (salam/salaf)
q.      Pihak penyandang dana meminjamkan uang kepada nasabah/Pembari modal (qiradh)
r.        Pinjaman barang (‘ariyah)
s.       Sewa menyewa (al-ijarah)
t.        Penitipan barang (wadi’ah)

2.      Al-Muamalah Al-Adabiyah
Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah muamalah ditinjau dari segi cara tukar-menukar benda, yang sumbernya dari pancaindra manusia.
Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah aturan-aturan Allah yang ditinjau dari segi subjeknya (pelakunya) yang berkisar pada keridhaan kedua pihak yang melangsungkan akad, ijab kabul, dan lain-lain.
Hal-hal yang termasuk Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah ijab kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta.
Pada prakteknya, Al-Muamalah Al-Madiyah  dan Al-Muamalah Al-Adabiyah tidak dapat dipisahkan.[7]


BAB  IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
  1. Fiqih  muamalah secara terminologi yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan tata cara berhubungan antar sesama  manusia, baik hubungan tersebut bersifat kebendaan maupun dalam bentuk perjanjian perikatan.
  2. Asas-asas fiqh muamalah, diantaranya:
-          al-Adalah
-          al-Mu’awanah
-          al-Musyarakah
-          al-Manfa’ah
-          ‘An Taradhin
-          ‘Adamul gharar
-          Kebebasan membuat aqad
-          Al-Musawwah
-          Ash-Shidqu
  1. Pembagian fiqh mua’malah menurut Ibn Abidin :
§         Muawadhah Maliyah (Hukum Perbendaan)
§         Munakahat (Hukum Perkawinan)
§         Muhasanat (Hukum Acara)
§         Amanat dan ‘Aryah (Hukum Pinjaman)
§         Tirkah (Hukum Peninggalan)
  1. Pembagian fiqh muamalah menurut Al-Fikri :
-          Muamalah al-Madiyah
-          Muamalah al-Adabiyah

B.     Saran
Dengan segala keterbatasan dan kekurangan penulis, demikianlah makalah ini kami buat. Oleh karena itu, sudah pasti makalah ini memerlukan kritik dan saran yang membangun dari pembaca yang budiman demi lebih baiknya makalah kami selanjutnya. Selamat membaca dan semoga bermanfaat. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 1992. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Perdata Islam. Surabaya: Central Media
az-Zuhaili, Wahbah. 1999. Fiqih Muamalah Perbankan Syariah. Jakarta: Team Counterpart Bank Muamalat Indonesia
az-Zuhaili, Wahbah. 2010. Fiqih Islam Wa Adillatuhu 1: Pengantar Ilmu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Jakarta: Gema Insani
Syafei, Rachmad. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia
Pakpahan, Efendi. http://belajarilmukomputerdaninternet.blogspot.co.id/2013/03/ pengertian-kemitraan.html, diakses tanggal 27 September 2016
Supian, Langkah. http://langkahsupian.blogspot.co.id/2012/05/prinsip-asas-dan-kaidah-fiqih-muamalah.html?m=1,  diakses tanggal 27 September 2016


[1] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Muamalah Perbankan Syariah (Jakarta: Team Counterpart Bank Muamalat Indonesia, 1999), hal. 5.
[2] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu 1: Pengantar Ilmu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk  (Jakarta: Gema Insani, 2010), hal. 27.
[3] Ibid, hal. 35.
[4] Efendi Pakpahan, http://belajarilmukomputerdaninternet.blogspot.co.id/2013/03/ pengertian-kemitraan.html, diakses tanggal 27 September 2016 10.41 wib
[5] Langkah Supian, http://langkahsupian.blogspot.co.id/2012/05/prinsip-asas-dan-kaidah-fiqih-muamalah.html?m=1,  diakses tanggal 27 September 2016 10.49 wib
[6] Abdurrahman, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Perdata Islam. (Surabaya: Central Media, 1992), hal. 31.
[7] Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer :