Kamis, 05 Juli 2018

OBYEK PENDIDIKAN ISLAM (SURAT AL-MA’UN AYAT 1-7) (Mata Kuliah : Tarsif Tarbawi)


OBYEK PENDIDIKAN ISLAM
QS. AL-MA’UN AYAT 1 – 7


Artinya :
1.   Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
2.   Itulah orang yang menghardik anak yatim,
3.   dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
4.   Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,
5.   (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
6.   orang-orang yang berbuat riya,
7.   dan enggan (menolong dengan) barang berguna.

A.    Mufradat

Tahukah kamu

Mendustakan agama

Menghardik anak yatim

Menganjurkan

Memberi makan orang miskin

Maka celakalah

Bagi orang-orang yang shalat

Lalai

Berbuat riya

Dan enggan

Barang berguna

B.     Asbabun Nuzul
Menurut mayoritas ulama’, surat ini termasuk ke dalam surah Makkiyah. Sebagian menyatakan Madaniyah’ dan ada juga yang berpendapat bahwa ayat pertama sampai ayat ketiga turun di Mekah dan sisanya turun di Madinah. Pendapat lain juga mengatakan bahwa awal surat ini turun di Mekah, sebelum nabi berhijrah. Sedangkan akhirnya yang berbicara tentang riya’ dalam shalatnya turun di Mekah. Yang berpendapat surat ini Makkiyah, menyatakan ia adalah wahyu yang ke-17 yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. Ia turun sesudah ayat At-Takatsur dan sebelum surah Al-Kafirun.
Ayat ini diturunkan berkaitan dengan Abu Sufyan, menurut Allamah Kamal Faqih Imani "Abu Sufyan yang biasa menyembelih dua unta besar setiap pekan untuk disantap bersama kaumnya. Namun, pada suatu hari, ada seorang anak yatim mendatangi pintunya dan meminta pertolongan. Alih-alih mendapat pertolongan, Abu Sufyan malah memukul anak yatim itu dengan tongkat dan mengusirnya".[1]
Menurut Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti mereka mengutip dari Imam Ibnul Mundzir yang mengetengahkan sebuah hadis melalui Tharif Abu Thalhah yang bersumber dari Ibnu Abbas r.a. yaitu "Bahwasannya ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang munafik, karena mereka selalu memamerkan shalal mereka di hadapan orang-orang mu'min secara riya, sewaktu orang-orang mukmin diantara mereka, tetapi jika orang-orang mukmin tidak ada, maka mereka meninggalkan shalat".[2]
Dalam surah al-Ma'un ditegaskan pula perihal orang-orang yang mengerjakan shalal, tetapi mereka tidak mengahayati dan merenungkan bacaan-bacaannya, tidak memperhatikan tujuan shalat itu sendiri dan tidak sadar bahwa shalal dilakukan dalam upaya mencegah kejahatan dan kemungkaran. Bahkan mereka melakukan shalat hanya untuk sekedar pamer di hadapan manusia.
C.    Munasabah Ayat
Di dalam susunan Al-Qur‘an surah al-Ma’un didahului oleh surah Al-Quraisy, dalam surah ini menerangkan tentang penghidupan orang-orang Quraisy serta kewajiban yang seharusnya mereka penuhi.
Allah berfirman dalam surah Quraisy, bahwa Dia membebaskan manusia dari kelaparan, sedangkan dalam surah al-Ma'un Allah mencela orang-orang yang tidak menganjurkan dan tidak memberi makan kepada orang miskin. Surah Quraisy juga membahas tentang perintah Allah untuk menyembah-Nya, maka dalam surah al-Ma'un Allah mencela orang yang shalat dengan lalai dan riya.[3]
Dalam surah Quraisy Allah menerangkan tentang nikmat-nikmat yang telah diberikan kepada orang-orang Quraisy, walaupun demikian tetap juga mengingkari hari kebangkitan, dalam surah al-Ma'un Allah mengancam ummat yang yang bersikap demikian.[4]
Al-Kautsar merupakan surah setelah al-Ma'un dalam susunan al-Qur'an. Dalam surah al-Ma'un dikemukakan sifat-sifat manusia yang lebih buruk, sedangkan dalam surah al-Kaustar ditunjukkan sifat-sifat yang mulia dan diperintahkan untuk mengerjakannya.[5]

D.    Penafsiran Ayat
1.      Tafsir Surah Al-Ma’un ayat 1
 “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?”
Kata pertama adalah  أَرَءَيْتَ huruf  أ  ada kata tersebut merupakan kata tanya yang memiliki arti apa/apakah. Dalam istilah ilmu nahwu, huruf أ  disebut sebagai hamzah istifham, yaitu minta kepahaman hakikat suatu nama, bilangan atau sifat. Adapun fungsi hamzah istifham adalah untuk tashawwur (meminta keterangan).[6]
Sedangkan kata رَأَيْتَ berasal dari kata kerja رَأَى yang dalam kamus Al-Munawwir banyak memiliki arti seperti melihat, mengerti, menyangka, dan mengira.[7] Sedangkan huruf   ت pada kalimat tersebut merupakan salah satu dhâmir (kata ganti orang) yang menunjukkan arti “Anda”.
Ayat ini dimulai dengan pertanyaan “Tahukah Engkau?”, maka al-Qur'an menyuruh agar masalah yang ditanyakan itu diperhatikan sunguh-sungguh. Pertanyaan pada ayat ini mengenai penerapan agama, yakni “Bagaimanakah ciri orang yang mendustakan agama?”, banyak yang mengira bahwa pendusta agama adalah mereka yang tidak melaksanakan rukun Islam saja, namun pemahaan ini sangatlah keliru.
Pertanyaan pada ayat ini menyuruh kepada Rasul-Nya agar memperhatikan pertanyaan ini dengan sungguh-sungguh, karena apabila pertanyaaan seperti ini tidak dijelaskan akan disangka bahwa yang mendustakan agama ialah semata-mata karena menyatakan tidak mau percaya kepada agama Islam, dan kalau ada orang yang sudah shalat, puasa, dia tidak lagi mendustakan agama.
Lebih lanjut Prof. M. Yunan Yusuf menjelaskan ayat ini memperingatkan Nabi dan kaum beriman agar benar-benar memahami agama sebagai ajaran yang menerapkan nilai-nilai secara konkret dalam kehidupan sehari-hari. Maksud dari mendustakan hari kiamat dalam ayat ini adalah mengingkari nilai-nilai Islam dalam hal berkaitan dengan harkat dan martabat manusia sebagai khalifah di muka bumi yang dimuliakan Allah.[8]
Pertanyaan yang diajukan pada ayat pertama ini bukanlah bertujuan untuk memperoleh jawaban, melainkan untuk menggugah hati dan pikiran lawan bicara agar memperhatikan kandungan pembicaraan tersebut, yakni mengajak manusia untuk menyadari salah satu bukti utama kesadaran beragama, yang tanpa itu keberagamaannya dinilai sangat lemah.[9]
2.      Tafsir Surah Al-Ma’un ayat 2
“Itulah orang yang menghardik anak yatim”
Menurut Quraish Shihab, kata  يدع  tidak harus diartikan terbatas pada dorongan fisik, tetapi mencakup segala macam penganiayaan, gangguan dan sikap tidak bersahabat terhadap anak yatim.[10] Dalam contoh ayat pada surah Al-Ma’un ayat dua yang berarti “Itulah orang yang menghardik anak yatim”, yakni memperlakukan anak yatim dengan kejam, mendorong dan mengusirnya.
Ayat kedua surah ini menjelaskan sebagian ciri-ciri pendusta agama, yaitu mereka yang sungguh jauh dari kebajikan dan memperlakukan anak yatim dengan sewenang-wenang. Penolakan seperti itu merupakan penghinaan dan takabur terhadap anak-anak yatim.
Sikap buruk terhadap anak yatim ini muncul dari orang-orang yang pembenci, sombong, kikir dan pelit. Orang yang tidak mau mengasuh dan memberi bantuan sedikitpun kepada anak yatim, tidak hanya mengacuhkan mereka tetapi juga mengusir mentah-mentah. Kalaupun ada orang yang tidak menghardik anak yatim dan mengurusnya dengan maksud tertentu sebagai jembatan untuk mendapat keuntungan bagi diri pribadi, seperti untuk keperluan komersial, maka ini juga termasuk dalam makna mendustakan agama.[11]
Dari uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa apabila ada seseorang memperlakukan anak yatim dengan sewenang-wenang, mendorong dengan keras, menghardiknya, mengabaikan haknya. menzhaliminya, serta sombong dan takabbur terhadap mereka, maka orang itu dianggap telah mendustakan hari pembalasan kelak, karena perilakunya jauh dari nilai kebajikan yang telah diajarkan agama.
3.      Tafsir Surah Al-Ma’un ayat 3
“Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.”
Dalam ayal ini Allah menegaskan lebih lanjut bagaimana sifat pendusta itu, yaitu dia tidak mengajak orang lain untuk membantu dan memberi makan orang miskin. Berdasarkan keterangan ini, bila seseorang tidak sanggup membantu orang-orang miskin, maka hendaklah ia menganjurkan orang lain untuk usaha yang mulia itu.
Quraish Shihab menekankan bahwa ayat di atas bukannya menyatakan tidak memberi makan, tetapi tidak menganjurkan memberi makan (harta). Dengan demikian tidak ada alasan bagi siapa pun, kendati miskin, untuk tidak mengamalkan kebaikan.[12] Seseorang disebut sebagai pendusta agama karena dalam sikap dan perangainya tidak mau menolong sesamanya yang lemah padahal Allah telah menjanjikan pahala dan balasan, tentu dia akan takut dengan azab Allah. Kalau sudah ditolaknya anak yatim dan didiamkannya orang miskin meminta makanan, jelaslah bahwa agama itu didustakannya.
Menurut Imam Jalaluddin AI-Mahally dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, ayat ini diturunkan berkenaan orang yang bersikap demikian tersebut adalah Al-Ash Ibn Wa'il atau Al-Walid Ibnu Mughirah.[13]
Dapat dipahami bahwa lanjutan ciri-ciri orang yang mendustakan agama, yakni mereka yang tetap melakukan shalat terlebih bagi yang tidak melakukannya sedangkan mereka tidak mau memberi makan (harta) pada orang miskin, padahal itu adalah salah satu amal shaleh yang paling penting dia tahu akan adanya pahala atau balasan dari Allah untuk setiap perbuatan kita, sehingga kalaupun kita tidak bisa memberi makan (harta) seorang miskin, kita harus menganjurkan orang lain untuk berbuat demikian.
4.      Tafsir Surah Al-Ma’un ayat 4-5
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat (4), (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya (5)”

Kata  ويل  memiliki arti celaka atau binasa, maksudnya orang yang terkena azab atau kebinasaan/kehancuran.
kata ساهون berasal dari kata سها yang bentuk masdarnya adalah السّهو dan السّهوة artinya adalah melupakan sesuatu dan lalai terhadap sesuatu tersebut, dan berlalunya hati tentangnya kepada hal yang lain (hatinya menuju sesuatu yang lain sehingga pada akhirnya ia melalaikan tujuan pokoknya).
Quraish Shihab menafsirkan bahwa ayat ini merupakan kecaman terhadap orang-orang yang lalai serta lupa dalam shalatnya. Celakalah orang-orang yang pada saat shalat, hatinya lalai, sehingga menuju kepada sesuatu selain shalatnya.[14]
Shalat adalah sarana untuk menyembah Allah yang merupakan simbol ketundukan dan penyerahan diri kepada-Nya. Pendusta agama juga melakukan shalat, namun bukan menegakkan shalat. Orang yang menegakkan shalat maka ia akan mencegah dirinya dari perbuatan keji dan munkar.
5.      Tafsir Surah Al-Ma’un ayat 6
“Orang-orang yang berbuat riya”
Kata يراءون adalah isim fail, asal katanya adalah رأى yang memiliki arti melihat.[15]
Umar Sulaiman menjelaskan, riya menurut bahasa adalah, seseorang yang senang dilihat dalam melakukan suatu amal, padahal sebenarnya kalau tidak dilihat, maka amalnya tidaklah demikian.[16]
Pada ayat sebelumnya telah dijelaskan bagaimana ciri-ciri orang yang shalatnya hanya akan membawa celaka bagi pelakunya sendiri karena shalatnya tidak disertai kesadaraan hatinya, maka di ayat enam ini Allah melanjutnya firmannya bahwa disamping orang-orang yang lalai dalam shalatnya dia juga riya, mereka ingin dilihat orang bahwa shalatnya khusyu. Orang-orang yang bila menyantuni anak yatim dia bermuka manis, bila memberi makan fakir miskin ia sangat antusias. tetapi mereka hanya ingin dilihat dan dipuji. Karena riyanya itu, kalau orang tidak memujinya atau berkurang sedikit dari yang biasa ia temui, maka ia berhenti itu melakukan perbuatan tersebut.
Dari keterangan di atas maka dapat dipahami bahwa penyebab rusaknya ibadah kita adalah perbuatan riya, yakni hilangnya makna dan nilai dari ibadah yang dilakukan. Banyak dari kita yang tidak menyadari bahwa kila sering kali berbuat ria dengan cara bercerita dengan teman-teman kita atas kebaikan yang telah kita lakukan, menganggap diri paling baik, menulis status di media sosial tentang ibadah yang kita lakukan, dan lain sebagainya. Hal ini hanya akan menghapus esensi dari tujuan ibadah yang kita lakukan walau secara teknis shalat kita sudah sah.
6.      Tafsir Surah Al-Ma’un ayat 7
“Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”
Ayat ini merupakan ayat terakhir pada surah al-Ma'un yang artinya “Enggan (menolong dengan) barang berguna” ini adalah ciri berikutnya dari pendusta agama. Ia selalu mengelak dari perbuatan menolong sesama, selalu menahan, bahkan menghalang-halangi orang lain yang ingin menolong. Hatinya selalu terpaut pada benda yang fana, ia menyangka begitulah hidup yang baik, padahal itulah yang akan membawanya celaka.
Surah ini memang sangat tepat jika ditujukan kepada orang-orang munafik. Seperti yang telah disebutkan pada ayat sebelumnya, pada diri mereka terkumpul tiga sifat buruk, yakni meninggalkan shalat, bersifat riya dan kikir terhadap harta. Sifat-sifat tersebut sangat jauh dcngan karakter seorang muslim sejati yang seharusnya.
Allah telah menggambarkan tentang orang-orang yang mendusta-kan agama, yaitu mereka yang enggan memberikan hartanya kepada orang lain, dan Allah mcnggambarkan ini sccara umum, tanpa mengkhususkan sesuatu. Allah mcnyatakan bahwa mereka enggan memberikan kepada orang lain apa-apa yang biasa saling dipinjamkan di antara mereka, dan enggan memberikan kepada orang butuh dan orang miskin hal-hal yang telah diwajibkan Allah atas mereka pada harta mereka, yaitu hak-haknya, karena semua ini merupakan manfaat-manfaat yang bisa diambil manfaatnya oleh sesama manusia.

E.     Aspek Kandungan Pendidikan dalam QS. Al-Ma’un
Aspek kandungan pendidikan yang termuat dalam QS. Al-Ma’un kaitannya dengan obyek pendidikan adalah kepedulian sosial. kepedulian sosial berarti sikap memperhatikan atau menghiraukan urusan orang lain (sesama anggota masyarakat). Kepedulian sosial yang dimaksud bukanlah untuk mencampuri urusan orang lain, tetapi lebih pada membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi orang lain dengan tujuan kebaikan dan perdamaian.
Surat Al-Ma’un memberikan isyarat bahwa Islam bukanlah semata-mata agama yang menekankan hanya kepada aspek ritual dan melupakan aspek social. Melainkan kesalehan seorang muslim dalam menjalankan ibadah ritual haruslah melahirkan akhlakul karimah dan kepekaan terhadap lingkungan sekitarnya. Bahkan dalam surat Al-Maun ini, orang yang tidak peduli terhadap nasib anak yatim dan orang miskin dikategorikan sebagai pendusta agama.

F.     Kesimpulan
1.   Pada ayat 1-3 disebutkan beberapa ciri-ciri pendusta agama, yaitu mereka yang tidak memperhatikan hak anak yatim dan tidak peduli dengan nasib fakir miskin serta tidak menganjurkan untuk saling tolong menolong dalam berbuat kebaikan.
2.   Ayat berikutnya menegaskan tentang bagaimanakah sholat bisa membuat pelakunya celaka, yaitu orang yang suka melalaikan sholat. Sebagaimana kita ketahui, bahwa sholat itu dapat mencegah kita dari perbuatan munkar atau tercela. Baik atau buruknya kualitas sholat kita dapat dilihat dari perilaku kita sehari-hari.
3.   Di ayat ke-6 dijelaskan bagaimana sifat orang ria yang akan menjerumuskan pelakunya kekebinasaan, yaitu orang melakukan kebaikan hanya untuk mengharap pujian dan perhatian manusia.
4.   Obyek pendidikan yang termuat dalam surah al-Ma’un yaitu kepedulian sosial. Kepedulian sosial antara lain menyantuni anak yatim, menganjurkan/membantu fakir miskin, membantu dengan barang yang berguna.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Mahalliy, Jalaluddin dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Terjemah Tafsir Jalalain berikut Asbaabun Nuzul, (Bandung: Sinar Baru Bandung, 1990).
Ash-Shiddieqy, Teuku Muhammad Hasbi, Al-Bayan Tafsir Penjelas Qur’anul Karim, (Semarang: PT Pustaka Rizky Putra, 1990).
Al-Asyqar, Umar Sulaiman Abdullah, Ikhlas Agar Amal Tak Sia-sia, (Jakarta:Gadika Pustaka, 2007).
Dasuki, Hafiz, Al-Qur‘ân dan Tafsirnya, (Jogjakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995).
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982).
Imam Saiful Mu’minin, Kamus Ilmu Nahmu & Sharaf, (Jakarta: AMZAH, 2009).
Imani, Allamah Kamal Faqih, Tafsir Nurul Qur’an “Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya Al-Qur‘ân”, Ter. Rahardian M.S, (Iran: al Huda, 2006).
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997).
Shihab, Quraih, Membumikan Al-Qur‘ân 2, (Jakarta: Lentera hati 2010).
Shihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‘ân, (Jakarta: Lentera Hati, 2002).
Yusuf, M. Yunan, Tafsir Juz ‘Amma As-Sirajul Wahhaj, (Jakarta: Penamadani dan Az-Zahra Pustaka Prima, 2010).


[1] Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Qur’an “Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya Al-Qur‘ân”, Ter. Rahardian M.S, (Iran: al Huda, 2006), jilid xx. hal. 349
[2] Imam Jalaluddin Al-Mahalliy dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Terjemah Tafsir Jalalain berikut Asbaabun Nuzul, (Bandung: Sinar Baru Bandung, 1990), hal. 2791
[3] Hafiz Dasuki, Al-Qur‘ân dan Tafsirnya, (Jogjakarta: PT Dana Bhakti Wakaf), hal. 815
[4] Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Al-Bayan Tafsir Penjelas Qur’anul Karim, (Semarang: PT Pustaka Rizky Putra) hal. 1618
[5] Ibid, hal. 819
[6] Imam Saiful Mu’minin, Kamus Ilmu Nahmu & Sharaf, (Jakarta: AMZAH, 2009), hal. 43-44
[7] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal. 495
[8] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), hal. 779
[9] Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‘ân, (Jakarta: Lentera Hati, 2002) vol. 15, hal. 546
[10] Ibid, hal. 547
[11] M. Yunan Yusuf, Tafsir juz ‘Amma As-Sirajul Wahhaj, (Jakarta: Penamadani dan Az-Zahra Pustaka Prima, 2010). hal. 780
[12] Quraih Shihab, Membumikan Al-Qur‘ân 2, (Jakarta: Lentera hati 2010) hal. 186
[13] Imam Jalaluddin Al-Mahally dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru, 1990), hal. 2788
[14] Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Op. Cit, hal. 550
[15] Ahmad warson munawwir, Al-Munawwir: Kamus Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal. 460
[16] Umar Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, Ikhlas Agar Amal Tak Sia-sia, (Jakarta:Gadika Pustaka, 2007), hal. 137

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer :