OBYEK PENDIDIKAN
ISLAM
QS. AL-MA’UN AYAT
1 – 7
Artinya :
1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
2. Itulah orang yang menghardik anak yatim,
3. dan tidak menganjurkan memberi makan orang
miskin.
4. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang
shalat,
5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
6. orang-orang yang berbuat riya,
7. dan enggan (menolong dengan) barang berguna.
A.
Mufradat
Tahukah kamu
|
|
Mendustakan agama
|
|
Menghardik anak yatim
|
|
Menganjurkan
|
|
Memberi makan orang miskin
|
|
Maka celakalah
|
|
Bagi orang-orang yang shalat
|
|
Lalai
|
|
Berbuat riya
|
|
Dan enggan
|
|
Barang berguna
|
B.
Asbabun Nuzul
Menurut mayoritas ulama’, surat ini termasuk ke dalam surah Makkiyah.
Sebagian menyatakan Madaniyah’ dan ada juga yang berpendapat bahwa ayat pertama
sampai ayat ketiga turun di Mekah dan sisanya turun di Madinah. Pendapat lain
juga mengatakan bahwa awal surat ini turun di Mekah, sebelum nabi berhijrah.
Sedangkan akhirnya yang berbicara tentang riya’ dalam shalatnya turun di Mekah.
Yang berpendapat surat ini Makkiyah, menyatakan ia adalah wahyu yang ke-17 yang
diterima oleh Nabi Muhammad saw. Ia turun sesudah ayat At-Takatsur dan sebelum
surah Al-Kafirun.
Ayat ini diturunkan berkaitan dengan Abu Sufyan, menurut Allamah Kamal
Faqih Imani "Abu Sufyan yang biasa menyembelih dua unta besar setiap pekan
untuk disantap bersama kaumnya. Namun, pada suatu hari, ada seorang anak yatim
mendatangi pintunya dan meminta pertolongan. Alih-alih mendapat pertolongan,
Abu Sufyan malah memukul anak yatim itu dengan tongkat dan mengusirnya".[1]
Menurut Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti mereka
mengutip dari Imam Ibnul Mundzir yang mengetengahkan sebuah hadis melalui
Tharif Abu Thalhah yang bersumber dari Ibnu Abbas r.a. yaitu "Bahwasannya
ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang munafik, karena mereka selalu
memamerkan shalal mereka di hadapan orang-orang mu'min secara riya, sewaktu
orang-orang mukmin diantara mereka, tetapi jika orang-orang mukmin tidak ada,
maka mereka meninggalkan shalat".[2]
Dalam surah al-Ma'un ditegaskan pula perihal orang-orang yang
mengerjakan shalal, tetapi mereka tidak mengahayati dan merenungkan
bacaan-bacaannya, tidak memperhatikan tujuan shalat itu sendiri dan tidak sadar
bahwa shalal dilakukan dalam upaya mencegah kejahatan dan kemungkaran. Bahkan
mereka melakukan shalat hanya untuk sekedar pamer di hadapan manusia.
C.
Munasabah Ayat
Di dalam susunan Al-Qur‘an surah al-Ma’un didahului oleh surah
Al-Quraisy, dalam surah ini menerangkan tentang penghidupan orang-orang Quraisy
serta kewajiban yang seharusnya mereka penuhi.
Allah berfirman dalam surah Quraisy, bahwa Dia membebaskan manusia dari
kelaparan, sedangkan dalam surah al-Ma'un Allah mencela orang-orang yang tidak
menganjurkan dan tidak memberi makan kepada orang miskin. Surah Quraisy juga
membahas tentang perintah Allah untuk menyembah-Nya, maka dalam surah al-Ma'un
Allah mencela orang yang shalat dengan lalai dan riya.[3]
Dalam surah Quraisy Allah menerangkan tentang nikmat-nikmat yang telah
diberikan kepada orang-orang Quraisy, walaupun demikian tetap juga mengingkari
hari kebangkitan, dalam surah al-Ma'un Allah mengancam ummat yang yang bersikap
demikian.[4]
Al-Kautsar merupakan surah setelah al-Ma'un dalam susunan al-Qur'an.
Dalam surah al-Ma'un dikemukakan sifat-sifat manusia yang lebih buruk,
sedangkan dalam surah al-Kaustar ditunjukkan sifat-sifat yang mulia dan
diperintahkan untuk mengerjakannya.[5]
D.
Penafsiran Ayat
1.
Tafsir Surah Al-Ma’un ayat 1
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?”
Kata pertama adalah أَرَءَيْتَ huruf أ ada kata tersebut merupakan kata tanya yang memiliki arti
apa/apakah. Dalam istilah ilmu nahwu, huruf أ disebut sebagai hamzah istifham, yaitu
minta kepahaman hakikat suatu nama, bilangan atau sifat. Adapun fungsi hamzah
istifham adalah untuk tashawwur (meminta keterangan).[6]
Sedangkan kata رَأَيْتَ berasal dari kata kerja رَأَى yang dalam kamus Al-Munawwir banyak
memiliki arti seperti melihat, mengerti, menyangka, dan mengira.[7]
Sedangkan huruf ت pada kalimat tersebut merupakan salah
satu dhâmir (kata ganti orang) yang menunjukkan arti “Anda”.
Ayat ini dimulai dengan pertanyaan “Tahukah Engkau?”, maka
al-Qur'an menyuruh agar masalah yang ditanyakan itu diperhatikan
sunguh-sungguh. Pertanyaan pada ayat ini mengenai penerapan agama, yakni “Bagaimanakah
ciri orang yang mendustakan agama?”, banyak yang mengira bahwa pendusta
agama adalah mereka yang tidak melaksanakan rukun Islam saja, namun pemahaan
ini sangatlah keliru.
Pertanyaan pada ayat ini menyuruh kepada Rasul-Nya agar memperhatikan
pertanyaan ini dengan sungguh-sungguh, karena apabila pertanyaaan seperti ini tidak
dijelaskan akan disangka bahwa yang mendustakan agama ialah semata-mata karena
menyatakan tidak mau percaya kepada agama Islam, dan kalau ada orang yang sudah
shalat, puasa, dia tidak lagi mendustakan agama.
Lebih lanjut Prof. M. Yunan Yusuf menjelaskan ayat ini memperingatkan
Nabi dan kaum beriman agar benar-benar memahami agama sebagai ajaran yang
menerapkan nilai-nilai secara konkret dalam kehidupan sehari-hari. Maksud dari
mendustakan hari kiamat dalam ayat ini adalah mengingkari nilai-nilai Islam
dalam hal berkaitan dengan harkat dan martabat manusia sebagai khalifah di muka
bumi yang dimuliakan Allah.[8]
Pertanyaan yang diajukan pada ayat pertama ini bukanlah bertujuan untuk
memperoleh jawaban, melainkan untuk menggugah hati dan pikiran lawan bicara
agar memperhatikan kandungan pembicaraan tersebut, yakni mengajak manusia untuk
menyadari salah satu bukti utama kesadaran beragama, yang tanpa itu
keberagamaannya dinilai sangat lemah.[9]
2.
Tafsir Surah Al-Ma’un ayat 2
“Itulah
orang yang menghardik anak yatim”
Menurut Quraish Shihab, kata يدع
tidak harus diartikan terbatas pada dorongan fisik, tetapi mencakup
segala macam penganiayaan, gangguan dan sikap tidak bersahabat terhadap anak
yatim.[10]
Dalam contoh ayat pada surah Al-Ma’un ayat dua yang berarti “Itulah orang
yang menghardik anak yatim”, yakni memperlakukan anak yatim dengan kejam,
mendorong dan mengusirnya.
Ayat kedua surah ini menjelaskan sebagian ciri-ciri pendusta agama,
yaitu mereka yang sungguh jauh dari kebajikan dan memperlakukan anak yatim
dengan sewenang-wenang. Penolakan seperti itu merupakan penghinaan dan takabur terhadap
anak-anak yatim.
Sikap buruk terhadap anak yatim ini muncul dari orang-orang yang
pembenci, sombong, kikir dan pelit. Orang yang tidak mau mengasuh dan memberi
bantuan sedikitpun kepada anak yatim, tidak hanya mengacuhkan mereka tetapi
juga mengusir mentah-mentah. Kalaupun ada orang yang tidak menghardik anak
yatim dan mengurusnya dengan maksud tertentu sebagai jembatan untuk mendapat
keuntungan bagi diri pribadi, seperti untuk keperluan komersial, maka ini juga
termasuk dalam makna mendustakan agama.[11]
Dari uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa apabila ada seseorang memperlakukan anak yatim dengan
sewenang-wenang, mendorong dengan keras, menghardiknya, mengabaikan
haknya. menzhaliminya, serta sombong dan takabbur terhadap mereka, maka orang itu
dianggap telah mendustakan hari pembalasan kelak, karena perilakunya jauh dari
nilai kebajikan yang telah diajarkan agama.
3.
Tafsir Surah Al-Ma’un ayat 3
“Dan tidak
menganjurkan memberi makan orang miskin.”
Dalam ayal ini Allah menegaskan lebih lanjut bagaimana sifat pendusta
itu, yaitu dia tidak mengajak orang lain untuk membantu dan memberi makan orang
miskin. Berdasarkan keterangan ini, bila seseorang tidak sanggup membantu
orang-orang miskin, maka hendaklah ia menganjurkan orang lain untuk usaha yang
mulia itu.
Quraish Shihab menekankan bahwa ayat di atas bukannya menyatakan tidak
memberi makan, tetapi tidak menganjurkan memberi makan (harta). Dengan demikian
tidak ada alasan bagi siapa pun, kendati miskin, untuk tidak mengamalkan
kebaikan.[12]
Seseorang disebut sebagai pendusta agama karena dalam sikap dan perangainya tidak
mau menolong sesamanya yang lemah padahal Allah telah menjanjikan pahala dan
balasan, tentu dia akan takut dengan azab Allah. Kalau sudah ditolaknya anak
yatim dan didiamkannya orang miskin meminta makanan, jelaslah bahwa agama itu
didustakannya.
Menurut Imam Jalaluddin AI-Mahally dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, ayat
ini diturunkan berkenaan orang yang bersikap demikian tersebut adalah Al-Ash
Ibn Wa'il atau Al-Walid Ibnu Mughirah.[13]
Dapat dipahami bahwa lanjutan ciri-ciri orang yang mendustakan agama,
yakni mereka yang tetap melakukan shalat terlebih bagi yang tidak melakukannya
sedangkan mereka tidak mau memberi makan (harta) pada orang miskin, padahal itu
adalah salah satu amal shaleh yang paling penting dia tahu akan adanya pahala atau
balasan dari Allah untuk setiap perbuatan kita, sehingga kalaupun kita tidak
bisa memberi makan (harta) seorang miskin, kita harus menganjurkan orang lain
untuk berbuat demikian.
4.
Tafsir Surah Al-Ma’un ayat 4-5
“Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat (4), (yaitu) orang-orang yang lalai
dari shalatnya (5)”
Kata ويل memiliki arti celaka atau binasa, maksudnya
orang yang terkena azab atau kebinasaan/kehancuran.
kata ساهون berasal dari kata سها
yang bentuk masdarnya adalah السّهو dan السّهوة artinya adalah melupakan sesuatu dan lalai terhadap
sesuatu tersebut, dan berlalunya hati tentangnya kepada hal yang lain (hatinya
menuju sesuatu yang lain sehingga pada akhirnya ia melalaikan tujuan pokoknya).
Quraish Shihab menafsirkan bahwa ayat ini merupakan kecaman terhadap
orang-orang yang lalai serta lupa dalam shalatnya. Celakalah orang-orang yang
pada saat shalat, hatinya lalai, sehingga menuju kepada sesuatu selain
shalatnya.[14]
Shalat adalah sarana untuk menyembah Allah yang merupakan simbol
ketundukan dan penyerahan diri kepada-Nya. Pendusta agama juga melakukan
shalat, namun bukan menegakkan shalat. Orang yang menegakkan shalat maka ia
akan mencegah dirinya dari perbuatan keji dan munkar.
5.
Tafsir Surah Al-Ma’un ayat 6
“Orang-orang
yang berbuat riya”
Umar Sulaiman menjelaskan, riya menurut bahasa adalah, seseorang yang
senang dilihat dalam melakukan suatu amal, padahal sebenarnya kalau tidak
dilihat, maka amalnya tidaklah demikian.[16]
Pada ayat sebelumnya telah dijelaskan bagaimana ciri-ciri orang yang
shalatnya hanya akan membawa celaka bagi pelakunya sendiri karena shalatnya
tidak disertai kesadaraan hatinya, maka di ayat enam ini Allah melanjutnya
firmannya bahwa disamping orang-orang yang lalai dalam shalatnya dia juga riya,
mereka ingin dilihat orang bahwa shalatnya khusyu. Orang-orang yang bila
menyantuni anak yatim dia bermuka manis, bila memberi makan fakir miskin ia
sangat antusias. tetapi mereka hanya ingin dilihat dan dipuji. Karena riyanya
itu, kalau orang tidak memujinya atau berkurang sedikit dari yang biasa ia temui,
maka ia berhenti itu melakukan perbuatan tersebut.
Dari keterangan di atas maka dapat dipahami bahwa penyebab rusaknya
ibadah kita adalah perbuatan riya, yakni hilangnya makna dan nilai dari ibadah
yang dilakukan. Banyak dari kita yang tidak menyadari bahwa kila sering kali berbuat
ria dengan cara bercerita dengan teman-teman kita atas kebaikan yang telah kita
lakukan, menganggap diri paling baik, menulis status di media sosial tentang
ibadah yang kita lakukan, dan lain sebagainya. Hal ini hanya akan menghapus esensi
dari tujuan ibadah yang kita lakukan walau secara teknis shalat kita sudah sah.
6.
Tafsir Surah Al-Ma’un ayat 7
“Dan enggan
(menolong dengan) barang berguna.”
Ayat ini merupakan ayat terakhir pada surah al-Ma'un yang artinya “Enggan
(menolong dengan) barang berguna” ini adalah ciri berikutnya dari pendusta
agama. Ia selalu mengelak dari perbuatan menolong sesama, selalu menahan,
bahkan menghalang-halangi orang lain yang ingin menolong. Hatinya selalu terpaut
pada benda yang fana, ia menyangka begitulah hidup yang baik, padahal itulah
yang akan membawanya celaka.
Surah ini memang sangat tepat jika ditujukan kepada orang-orang
munafik. Seperti yang telah disebutkan pada ayat sebelumnya, pada diri mereka terkumpul
tiga sifat buruk, yakni meninggalkan shalat, bersifat riya dan kikir terhadap
harta. Sifat-sifat tersebut sangat jauh dcngan karakter seorang muslim sejati
yang seharusnya.
Allah telah menggambarkan tentang orang-orang yang mendusta-kan agama,
yaitu mereka yang enggan memberikan hartanya kepada orang lain, dan Allah
mcnggambarkan ini sccara umum, tanpa mengkhususkan sesuatu. Allah mcnyatakan
bahwa mereka enggan memberikan kepada orang lain apa-apa yang biasa saling
dipinjamkan di antara mereka, dan enggan memberikan kepada orang butuh dan
orang miskin hal-hal yang telah diwajibkan Allah atas mereka pada harta mereka,
yaitu hak-haknya, karena semua ini merupakan manfaat-manfaat yang bisa diambil
manfaatnya oleh sesama manusia.
E.
Aspek Kandungan Pendidikan dalam
QS. Al-Ma’un
Aspek kandungan pendidikan yang termuat dalam QS. Al-Ma’un kaitannya
dengan obyek pendidikan adalah kepedulian sosial. kepedulian sosial berarti
sikap memperhatikan atau menghiraukan urusan orang lain (sesama anggota
masyarakat). Kepedulian sosial yang dimaksud bukanlah untuk mencampuri urusan
orang lain, tetapi lebih pada membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi
orang lain dengan tujuan kebaikan dan perdamaian.
Surat Al-Ma’un memberikan isyarat bahwa Islam bukanlah semata-mata
agama yang menekankan hanya kepada aspek ritual dan melupakan aspek social.
Melainkan kesalehan seorang muslim dalam menjalankan ibadah ritual haruslah
melahirkan akhlakul karimah dan kepekaan terhadap lingkungan sekitarnya. Bahkan
dalam surat Al-Maun ini, orang yang tidak peduli terhadap nasib anak yatim dan
orang miskin dikategorikan sebagai pendusta agama.
F.
Kesimpulan
1. Pada ayat 1-3 disebutkan
beberapa ciri-ciri pendusta agama, yaitu mereka yang tidak memperhatikan hak
anak yatim dan tidak peduli dengan nasib fakir miskin serta tidak menganjurkan
untuk saling tolong menolong dalam berbuat kebaikan.
2. Ayat berikutnya menegaskan
tentang bagaimanakah sholat bisa membuat pelakunya celaka, yaitu orang yang
suka melalaikan sholat. Sebagaimana kita ketahui, bahwa sholat itu dapat mencegah
kita dari perbuatan munkar atau tercela. Baik atau buruknya kualitas sholat
kita dapat dilihat dari perilaku kita sehari-hari.
3. Di ayat ke-6 dijelaskan
bagaimana sifat orang ria yang akan menjerumuskan pelakunya kekebinasaan, yaitu
orang melakukan kebaikan hanya untuk mengharap pujian dan perhatian manusia.
4. Obyek pendidikan yang termuat
dalam surah al-Ma’un yaitu kepedulian sosial. Kepedulian sosial antara lain
menyantuni anak yatim, menganjurkan/membantu fakir miskin, membantu dengan
barang yang berguna.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mahalliy, Jalaluddin dan
Imam Jalaluddin As-Suyuti, Terjemah Tafsir Jalalain berikut Asbaabun Nuzul,
(Bandung: Sinar Baru Bandung, 1990).
Ash-Shiddieqy, Teuku
Muhammad Hasbi, Al-Bayan Tafsir Penjelas Qur’anul Karim, (Semarang: PT
Pustaka Rizky Putra, 1990).
Al-Asyqar, Umar Sulaiman
Abdullah, Ikhlas Agar Amal Tak Sia-sia, (Jakarta:Gadika Pustaka, 2007).
Dasuki, Hafiz, Al-Qur‘ân
dan Tafsirnya, (Jogjakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995).
Hamka, Tafsir Al-Azhar,
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982).
Imam Saiful Mu’minin, Kamus
Ilmu Nahmu & Sharaf, (Jakarta: AMZAH, 2009).
Imani, Allamah Kamal Faqih, Tafsir
Nurul Qur’an “Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya Al-Qur‘ân”, Ter.
Rahardian M.S, (Iran: al Huda, 2006).
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir:
Kamus Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997).
Shihab, Quraih, Membumikan
Al-Qur‘ân 2, (Jakarta: Lentera hati 2010).
Shihab, Quraish, Tafsir
Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‘ân, (Jakarta: Lentera Hati,
2002).
Yusuf, M. Yunan, Tafsir
Juz ‘Amma As-Sirajul Wahhaj, (Jakarta: Penamadani dan Az-Zahra Pustaka
Prima, 2010).
[1] Allamah Kamal Faqih Imani,
Tafsir Nurul Qur’an “Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya Al-Qur‘ân”, Ter. Rahardian M.S, (Iran: al Huda, 2006), jilid xx.
hal. 349
[2]
Imam Jalaluddin Al-Mahalliy dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Terjemah Tafsir
Jalalain berikut Asbaabun Nuzul, (Bandung: Sinar Baru Bandung, 1990), hal.
2791
[3] Hafiz
Dasuki, Al-Qur‘ân dan Tafsirnya, (Jogjakarta:
PT Dana Bhakti Wakaf), hal. 815
[4]
Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Al-Bayan Tafsir Penjelas Qur’anul Karim,
(Semarang: PT
Pustaka Rizky Putra) hal. 1618
[5] Ibid,
hal. 819
[6] Imam
Saiful Mu’minin, Kamus Ilmu Nahmu & Sharaf, (Jakarta: AMZAH, 2009), hal. 43-44
[7]
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap,
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal. 495
[8] Hamka,
Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), hal. 779
[9]
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‘ân,
(Jakarta:
Lentera Hati, 2002) vol. 15, hal. 546
[10]
Ibid, hal. 547
[11]
M. Yunan Yusuf, Tafsir juz ‘Amma As-Sirajul Wahhaj, (Jakarta: Penamadani dan Az-Zahra Pustaka
Prima, 2010). hal. 780
[12] Quraih
Shihab, Membumikan Al-Qur‘ân 2, (Jakarta:
Lentera hati 2010) hal. 186
[13]
Imam Jalaluddin Al-Mahally dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain,
(Bandung: Sinar Baru, 1990), hal. 2788
[14] Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, Op. Cit, hal. 550
[15]
Ahmad warson munawwir, Al-Munawwir: Kamus Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap,
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal. 460
[16]
Umar Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, Ikhlas Agar Amal Tak Sia-sia, (Jakarta:Gadika Pustaka,
2007), hal. 137
Tidak ada komentar:
Posting Komentar