BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Saat ini umat Islam dihadapkan pada tantangan
kehidupan yang sangat komplek serta benturan budaya modern. Pada realitas
seperti saat ini pendekatan studi Islam menjadi sangat urgen, pendekatan dan
pemahaman islam yang mau membuka diri terhadap masuhnya dan digunakanya
pendekatan-pendekatan yang bersifat obyektif dan rasional. Dan secara bertahap
mulai meninggalkan tradisi lama yakni kajian yang bersifat subyektif doktriner.
Dengan demikian diharapkan islam akhirnya mampu mengikuti perkembangan zaman
dan mampu menjawab persoalan-persoalan kekinian dengan lebih obyektif dan
proporsional.
Predikat
yang disandang Islam adalah rahmatal lil alamiin, yaitu agama yang
membawa rahmat, membawa pertolongan bagi segenap manusia dan alam semesta,
adalah predikat yang benar-benar melekat dan akan selalu didengungkan ila
yaumil qiyamah. Terbukti dengan misi besar Islam yang termaktub dalam dua
sumber utama ajaran Islam (Al-Qur’an dan Al-Hadits), yakni misi menjaga
keteraturan kehidupan manusia baik secara spiritual, moral, social hingga
aspek-aspek yang lain. Tidak hanya interaksi antar manusia saja, bahkan
interaksi manusia dengan alam sekitarnya juga diatur dalam Islam. Oleh karena
itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai metodologi penyusunan hukum Islam
beserta pembahasannya.
B. Rumusan Masalah
Dari
latar belakang masalah di atas, penulis dapat merumuskan suatu rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian penyusunan hukum Islam?
2. Bagaimana metode penyusunan hukum Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Penyusunan
Hukum Islam
Dalam
istilah ilmu Ushul Fiqih metode penyusunan hukum dipakai dengan istilah ”istinbath”,
yaitu mengeluarkan hukum dari dalil, jalan istinbath ini memberikan
kaidah-kaidah yang bertalian dengan pengeluaran hukum dari dalil.[1] Imam
Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa, memasukan dalam bab III dengan
judul Thuruqul Istitsmar. Jika dilihat tujuan mempelajari Ushul
Fiqih maka password yang paling penting dalam
mempelajari ilmu tersebut adalah agar dapat mengetahui dan mempraktikkan
kaidah-kaidah cara mengeluarkan hukum dari dalilnya.
Dengan
demikian metode penyusunan hukum merupakan thuruq al-istinbath yaitu
cara-cara yang ditempuh seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari
dalilnya, baik dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa (linguistik) maupun
dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushuliyah lainnya.[2]
Ahli Ushul Fiqih menetapkan ketentuan bahwa untuk mengeluarkan hukum dari
dalilnya harus terlebih dahulu mengetahui kaidah syar‟iyyah dan kaidah
lughawiyah.
1.
Kaidah syar‟iyyah.
Kaidah syar‟iyyah
ialah ketentuan umum yang ditempuh syara’ dalam menetapkan hukum dan tujuan penetapan
hukum bagi subyek hukum (mukallaf). Selanjutnya perlu juga diketahui
tentang penetapan dalil yang dipergunakan dalam penetapan hukum, urut-urutan
dalil, tujuan penetapan hukum dan sebaginya.
2. Kaidah lughawiyah.
Dengan kaidah lughawiyah,
makna dari suatu lafaz, baik dari dalalah-nya maupun uslub-nya
dapat diketahui, selanjutnya dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum.
Kaidah ini berasal dari ketentuan-ketentuan ahli lughat (bahasa) yang dijadikan
sandaran oleh ahli ushul dalam memahami arti lafaz menurut petunjuk lafaz dan
susunannya.
Dengan
demikian istinbath adalah cara bagaimana memperoleh ketentuan Hukum Islam dari
dalil-dalilnya sebagaimana dibahas dalam ilmu Ushul Fiqih. Usha memperoleh
ketentuan hukum dari dalilnya itulah yang disebut istinbath. Beristinbath hukum
dari dalil-dalilnya dapat dilakukan dengan jalan pembahasan bahasa yang dipergunakan
dalam dalil Al-Quran atau Sunnah Rasul, dan dapat pula dilakukan dengan jalan
memahami jiwa hukum yang terkandung dalam dalilnya, baik yang menyangkut latar
belakang yang menjadi landasan ketentuan hukum ataupun yang menjadi tujuan
ketentuan hukum.[3]
Syarat
untuk dapat beristinbath dengan jalan pembahasan bahasa adalah harus memahami
bahasa dalil Al-Quran dan Sunnah Rasul, yaitu bahasa Arab. Tanpa memiliki
pengetahuan bahasa Arab, beristinbath melalui pembahasan bahasa tidak dapat
dilakukan. Dari sinilah dapat diketahui bahwa pengetahuan tentang bahasa Arab
merupakan hal yang mutlak wajib dipelajari oleh setiap orang yang ingin
berijtihad.
B. Metode Penyusunan Hukum
Islam
1. Metode bayani (hermaneutika)
Dalam perspektif
hukum Islam dikenal juga dengan istilah metode penemuan hukum al-bayan mencakup
pengertian al-tabayun dan al-tabyin: yakni proses mencari
kejelasan (azh-zhuhr) dan pemberian penjelasan (al-izhar);
upaya memahami (alfahm) dan komunikasi pemahaman (al-ifham);
perolehan makna (al-talaqqi) dan penyampaian makna (al-tablig).[4]
Dalam perkembangan hukum bayani atau setidaknya mendekati sebuah metode yang
dikenal juga dengan istilah hermaneutika yang bermakna “mengartikan‟,
“menafsirkan‟ atau “menerjemah‟ dan juga bertindak sebagai
penafsir. Dalam pengertian ini dapat dipahami sebagai proses mengubah suatu
dari situasi ketidaktahuan menjadi mengerti, atau usaha mengalihkan diri dari
bahasa asing yang maknanya masih gelap ke dalam bahasa kita sendiri yang
maknanya lebih jelas, atau suatu proses transformasi pemikiran dari yang kurang
jelas atau ambigu menuju ke yang lebih jelas/konkret; bentuk
transformasi makna semacam ini, merupakan hal yang esensial dari pekerjaan
seorang penafsir/muffasir.
Dalam tradisi
Hukum Islam sesungguhnya terminologi hermeneutika telah lama dikenal dalam
keilmuan Islam yang sering disebut dengan istilah “ilmu tafsir”
(ilm ta’wil dan ilm al bayan). Bahkan dalam perkembangan
dewasa ini ilmu tafsir mengalami kemajuan pesat dalam wacana keislaman, dalam
perspektif yang lebih spesifik, penggunaan istilah “ilmu tafisr‟
ditujukan (dikhitobkan) pada terminologi “hermeneutika Al
Quran” sebagaimana padanan kata dari hermeneutika pada umumnya. Trem yang
digunakan dalam kegiatan interprestasi dalam wacana ilmu keislaman adalah “tafsir”.
Kata tafsir berasal dari bahasa Arab; fassara atau safara yang
artinya digunakan secara teknis dalam pengertian eksegesisi (penafsiran teks)
di kalangan orang Islam sejak abad ke-5 hingga sekarang.
Secara
epistemologi kata tafsir (al-tafsir) dan ta’wil (al-ta’wil) sering
kali disinonimkan pengertiannya ke dalam “penafsiran‟ atau “penjelasan‟.
Al-Tafisr berkaitan dengan interprestasi eksternal (exoteric
exegese), sedangkan al-ta’wil lebih merupakan isnterprestasi
dalaman (esoteric exegese) yang berkaitan dengan makna batin teks dan
penafsiran metaforis terhadap Al Quran. Dengan kata lain al-tafsir suatu
upaya untuk menyingkap sesuatu yang samar-samar dan tersembunyi melalui
mediator, sedangkan ta’wil kembali ke sumber atau sampai pada tujuan,
jika kembali kepada sumber menunjukan tindakan yang mengupayakan gerak reflektif,
maka makna sampai ke tujuan adalah gerak dinamis.[5]
Hermeneutika yang
dalam bahasa hukum Islam merupakan ilmu atau seni menginprestasikan (the
art of interprestation) “teks‟ atau memahami sesuatu dalam pengertian
memahami teks hukum atau peraturan perundang-undangan.dan
kapasitasnya menjadi objek yang ditafsirkan. Kata sesuatu/teks di sini bisa
berupa: teks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, naskah-naskah
kuno, ayat-ayat ahkam dan kitab suci atapun berupa pendapat dan hasil
ijtihad para ahli hukum (doktrin). Motode dan teknik menafsirkannya dilakukan
secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks dan
kontekstualisasi.
Secara filosofis
metode bayani mempunyai tugas ontologis yaitu menggambarkan hubungan yang tidak
dapat dihidari antara teks dan pembaca, masa lalu dan sekarang yang
memungkinkan untuk memahami kejadian yang pertama kali (geniun) Urgensi
kajian ini dimaksudkan tidak hanya akan membebaskan kajian-kajian hukum dari
otoritarianisme para yuris positif yang elitis, tetapi juga dari kajian-kajian
hukum kaum strukturalis atau behavioralis yang terlalu emperik
sifatnya. Sehingga diharapkan kajian tidak semata-mata berkutat demi kepentingan
profesi yang eksklusif semata-mata menggunakan paradigma positivisme dan
metode logis formal, namun lebih dari itu agar para pengkaji hukum supaya
menggali dan meneliti makna-makna hukum dari perspektif para pengguna dan/atau
para pencari keadilan.
Relevansi dari
kajian penemuan hukum bayani mempunyai dua makna sekaligus: Pertama,
metode bayani dapat diahami sebagai metode interprestasi atas teks-teks hukum
atau metode memahami terhadap suatu naskah normatif, di mana berhubungan dengan
isi (kaidah hukumnya), baik yang tersurat maupun yang tersirat, atau antara
bunyi hukum dan semangat hukum. Kedua, metode bayani juga mempunyai
pengaruh besar atau relevansi dengan teori penemuan hukum. Hal mana ditampilkan
dalam kerangka pemahaman lingkaran spriral hermenuetika (cyricel
hermeneutics) yaitu berupa proses timbal-balik antara kaidah-kaidah dan
fakta-fakta.
2. Metode ta’lili
Metode ta’lili
yaitu metode yang bercorak pada upaya penggalian hukum yang bertumpu pada
penentuan ‘illah-‘illah hukum (suatu yang menetapkan adanya hukum) yang
terdapat dalam suatu nash.[6]
Berkembangnya
corak penalaran tak’lili ini karena didukung oleh suatu kenyataan bahwa nash
Al-Quran atau hadis dalam penuturannya tentang suatu masalah hukum sebagian di
iringi dengan penyebutan ‘illah-‘illah hukumnya. Atas dasar ‘illah yang
terkandung di dalam suatu nash permasalahan-permasalahan hukum yang
muncul diupayakan oleh mujtahid pemecahanyya melalui penalaran terhadap ‘illah
yang ada dalam nash tersebut. Dalam perkembangan pemikiran ushul fiqih,
yang termasuk dalam corak penalaran ta’lili ini adalah metode qiyas dann
istihsan, dimana uraian dari kedua hal tesebut yaitu:
a. Qiyas
Secara etimologi kata qiyas berarti
qadara, artinya mengukur membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya.
Sedangkan arti qiyas menurut terminologi terdapat beberapa definisi yang
berbeda-beda, diantaranya:
Pertama: AL-Ghazali dalam
al-Mustasfa memberikan definisi qiyas yaitu menanggungkan sesuatu yang di
kehendaki kepada sesuatu yang di ketahui dalah hal penetapan hukum pada
keduanya atau meniadakan hukum pada keduanya disebabkan ada hal yang sama
antara keduanya, dalam penetapan hukum/sifat atau peniadaan hukum/sifat.
Kedua: Muhammad abu zahrah
mendfinisikan Menghubungkan sesuatu perkara yang tidak ada nash
tentang hukum nya kepada perkara lain yang ada nash hukum nya karena
keduannya berserikan dalam ’’illah hukum nya.
Ketiga: Ibn as-Subki dalam
kitabnya jam’u al-Jawami memberikan definisi qiyas adalah menghubungkan sesuatu
yang di ketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaan dalam ‘‘illah
hukum nya menurut pihak yang menghubungkan (mujtahid).[7]
Dari penafsiran di atas dapat di
definisikan qiyas adalah pempersamakan peristiwa hukum yang tidak di terntukan
hukum nya oleh nash, dengan peristiwa hukum yang telah ditentukan oleh
nash bahwa ketentuan hukum nya sama dengan hukum yang ditentukan nash.
Jumhur kaum muslimin sepakat bahwa
sema hukum syara’ yang dibawa oleh nash itu, disyariatkan untuk
mewujudkan kemaslahatan kepentingan manusia, bukan tanpa tujuan. Apabila
hukum-hukum itu termasuk kategori yang takterdapat jalan bagi akal mencari
kemaslahatan yang detail yang perlu diwujudkan oleh penetapannya sseperti hukum
ibadah, maka hukum ini disebut dengan ta’abbudi yang diharuskan
pelaksanaanya pelaksanaannya menurut ketentuan yang dibwa oleh nash.
Tetapi apabila hukum-hukum yang dibawa nash termasuk kategori terdapat
peluang akal mencari kemaslahatan yang menjadi tujuan dan ‘illah yang
melandasinya, maka subjek hukum (mukallaf) melaksanakannya atau memperlakukannya
pada semua peristiwa hukum yang dicakup oleh nash itu dan para
mujtahid berkewajiban mengetahui maslahat yang menjadi tujuansyara’
menetapkannya serta mengetahui ‘illah hubungan itulah terwujudnya maslahat.
Sehingga apabila dihadapkan kepada mereka suatu peristiwa hukum yang lain dari
peristiwa yang disebutkan nash dan mereka mendapatkan kejelasan bahwa
didalamnya terwujud ‘illah itu. Maka mereka akan menetapkan hukum nya oleh nash
karena maslahat yang terjadi tujuan syara’ itu sudah terwujud.[8]
Adapun cara mengetahui ‘illah ada
beberapa macam diantaranya dengan nash itu sendiri yaitu apabila nash–nash
Alquran atau hadis telah menunjukan bahwa ‘illah hukum nya adalah sifat yang
disebut nash–nash itu sendiri, maka sifat yang disebut itulah
yang menjadi ‘illah hukum nya dan disebut manshushah’alaihi. Mengqiyaskan
hukum suatu dengan hukum yang ‘illah hukum nya telah disebutkan oleh nash
itu sendiri, pada hakikatnya adalah menetapkan hukum sesuatu pada nash.
Dallalah nash (penunjukan nash) bahwa sifat yang disebutkan
oleh nash adalah ‘illah hukum nya itu, kadang-kadang sharihah (jelas
sekali) atau secara Ima (Isyarat). Syarihah ialah dalalah lafadz nash
kepada ‘illah hukum dengan penunjukan secara jelas sekali disebutkan: ‘illah-nya
adalah demikian atau sebabnya demikian.
contoh hadis yang mengqiyaskan
perbuatan hukum:
لايرث القا تل
“si pembunuh tidak mewarisi orang
yang di bunuhnya”
Hadis ini menunjukan (hukum)
terhalangnya kewarisan pada peristiwa hukum (waris yang membunuh pewarisnya).
Maka apabila dengan Ijtihadnya seorang mujtahid sampai kepada kesimpulan bahwa
kemaslahatan yang dimaksudkan oleh syara’ menetapkan hukum “tidak mendapat
hak waris seseorang yang mempercepat sesuatu sebelum waktu dan terhalangnya
seorang pelaku pidana kejahatan mendapatkan hasil (akibat hukum) dari
kejahatannya, serta sampai pula kepada kesimpulan ‘illah yang jelas
dijadikan syara’ sebagai hubungan hukum (bet rekking recht) berupa
pembunuhan karena didalamnya menghubungkan halangan warisan dengan sebab
pembunuhan itulah terwujudnya kemaslahatan tersebut. Sedangkan asas
qiyas adalah menta’lilkan hukum nash, Ta’lil hukum nash
maksudnya ialah menyatakan asas yang dijadikan landasan oleh syara’ menetapkan
hukum nya pada nash. Jumhur kaum muslimin sepakat bahwa Syari’ah tidaklah
menetapkan sesuatu hukum secara kebetulan tanpa sebab yang menuntutnya dan
tanpa maslahat yang menjadi sasarannya.
Dari uraian diatas, dapat dikatakan
bahwa qiyas sebagai istimbath ta’lili merupakan upaya nalar yang memiliki
kedekatan hubungan dengan nash. Qiyas sebagai penalaran ta’lili harus
senantiasa dipertajam dengan pertimbangan maqashid asy-syari’ah baik yang
berkaitan dengan kemasyarakatan, ekonomi, politik dan moral. Pertimbangan
maqashid asy-syariah menjadikan metode qiyas lebih dinamis sebagai solusi
permasalahan-permasalahan hukum.
b.
Istihsan
Istihsan merupakan salah satu metode
ijtihad yang di perselisihkan oleh para alim ulama, meskipun dalam kenyataanya,
semua ulama menggunakannya, para ulama menggunakannya secara praktis. Pada
dasarnya para ulama menggunakan istihsan dalam arti bahasa yaitu berbuat
sesuatu yang lebih baik atau mengikuti suatu yang lebih baik.
Sedangkan secara istilah menurut ahli
ushul dari kalangan Hanafiah, Malikiah dan Hanabilah dalam mendefinisikan
istihsan adalah berpindah dari suatu ketentuan terhadap beberapa peristiwa
hukum kepada ketentuan hukum lain, mendahulukan suatu ketentuan hukum dari
ketentuan yang lain, menyisihkan hukum dari ketentuan hukum umum yang
mencakupnya ataupun mentakhsiskan sebagian satuan hukum dari hukum umum.
Sedangkan dari ulama ushul yaitu perpindahan dari suatu ketentuan hukum yang
menjadi konsekwensi dari suatu dalil syara; terhadap suatu peristiwa hukum,
kepada ketentuan hukum lain terhadapnya, karena disebut sebagai sanad istihsan,
maka sebenarnya istihsan itu adalah mentarjihkan /mengumpulkan suatu dalil dari
dalil yang menentangnya disebabkan adanya murajjih/faktor yang mengunggulkannya
yang diakui (mu’tabar-respectable).[9]
Setelah menganalisis beberapa
definisi istihsan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hakikat dari
istihsan, yaitu seorang mujtahid dalam melakukan ijtihad untuk menemukan dan
menetapkan suatu hukum tidak jadi menggunakan suatu dalil, baik dalil itu
menggunakan qiyas, dalam bentuk hukum kulli atau dalam kaidah umum, sebagai
gantinya ia menggunakan dalil lain dalam bentuk qiyas lain yang dinilai lebih
kuat. Atau nash yang ditemukannya atau urf yang berlaku, atau keadaan
darurat atau hukum pengecualian. Alasannya adalah karena dengan cara itulah
seorang mujtahid menganggapnya sebagai cara terbaik yang lebih banyak
mendatangkan kemaslahatan dan lebih menjauhkan kesulitan bagi umat.
3. Metode istislahi
Corak penalaran
istislahi adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada prinsip-prinsip
kemaslahatan yang di simpulkan dari Alquran dan hadis. Artinya kemaslahatan
yang dimaksudkan disini adalah kemaslahatan yang secara umum ditunjuk oleh
kedua sumber hukum terssebut. Maksudnya kemaslahatan itu tidak dapat
dikembalikan kepada suatu ayat atau hadis secara langsung baik melalui
penalaran bayani atau ta’lili melainkan dikembalikan pada prinsip umum
kemaslahatan yang dikandung oleh nash.
Dalam perkembangan
pemikiran ushul fiqih, corak penalaran istihlahi ini tampak dalam beberapa
metode ijtihad,antara lain dalam metode al-mashlahah al-mursalah
dan saddudz-dzari’ah. Untuk melihat bagaimana corak penalaran istihlahi dengan
kedua metode tersebut.
a.
Al-mashlahah al-mursalah
Secara etimologi mashlahah
barasal dari kata shaluha di gunakan untuk menunjukan jika
sesuatu atau seorang menjadi baik, tidak korupsi, benar, adil,shalih, jujur
atau secara alternatif untuk menunjukan keadaan yang mengandung
kebajikan-kebajikan tersebut. ketika dipergunakan dengan bersama preposisi Li,
shaluha akan memberikan pengertian kesserasian, dalam pengertian
rasionalnya maslhahah berarti sebab, cara atau suatu yang bertujuan
baik. Ia juga berarti sesuatu permasalahan atau bagian dari urusan yang
menghasilkan kebaikan yang dalam bahasa arab berarti “perbuatan-perbuatan
yang mendorong kepada kebaikan manusia.
Dalam pengertian secara definitif
terdapat perbedaan rumusan dikalangan ulama yang ketika di analisis hakikatnya
sama yakni:
Al-Ghazali menjelaskan bahwa
menurut asalnya mashlahah itu berarti sesuatu yang mendatangkan
manfaat dan menjauhkan madharat, namun hakikat dari mashlahah adalah
memelihara tujuan syara’. Sedangkan tujuan syara’ dalam penetapan hukum
itu ada lima yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Sedang menurut Asy-syatibi
mengartikan mashlahah dari dua pandangan yaitu dari terjadinya mashlahah
dalam kenyataan dan dari segi tergantungnya tuntutan syara’ kepada mashlahah.
Dari segi terjadinya mashlahah dalam kenyataannya berarti “sesuatu
yang kembali kepada tegaknya kehidupan manusia, sempurna hidupnya, tercapai apa
yang dikehendaki oleh sifat syahwati dan akliyah seccara mutlak”. Sedangkan
dari tergantungnya tuntutan sayara’ kepada mashlahah, yaitu
kemaslahatan yang merupakan tujuan dari penetapan hukum syara’ untuk
menghasilkannya Allah menuntut manusi untuk berbuat.[10]
Adapun mashlahah mursalah
terdiri dari dua kata yang hubungan keduanya dalam bentuk sifat maushuf, atau
dalam bentuk khusus yang menunjukan bahwa ia merupakan bagian dari al-mashlahah.
Tentang arti mashlahah telah dijelaskan di atas secara etimologi maupun
secara terminologi. Al-mursalah adalah isim maf’ul (objek) dari fi’il
madhi (kata dasar) dalam bentuk kata dasar ketiga,yaitu رسل dengan penambahan
huruf “alif” di pangkalnya sehingga menjadi ارسل yang secara bahasa berarti terlepas, jika
di hubungkan dengan kata mashlahah maksudnya adalah terlepas dari
boleh atau tidaknya dilakukan. Sedang menurut istilah yaitu apa yang dipandang
baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, namun
tidak ada petunjuk syara’ yang memperhitungkan dan tidak ada pula petunjuk
syara’ yang menolaknya.
b. Saddudz-dzara’i (dzari’ah)
Secara harfiah Saddudz-dzara’i
terdiri atas dua kata yakni sad yang berarti penghalang atau sumbat
dan dzariah yang artinya jalan. Oleh karenanya Saddudz-dzara’i
dimaksudkan sebagai menghambat atau menyumbat semua jalan yang menuju
kepada kerusakan atau maksiat. Tujuan penetapan melalui metode ini adalah untuk
memudahkan tercapainya kemaslahatan dan jauh kemungkinan memudahkan terjadinya
kerusakan. Metode ini disebut sebagai metode preventif mencegah sesuatu sebelum
terjadinya suatu yang tidak diinginkan.[11]
Keberadaan dzariah ini
dilandaskan pada Alquran misalnya pada firman Allah:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا
وَاسْمَعُوا
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa`ina”, tetapi
katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”“ (QS
al-baqarah: 104)
Larangan ini di turunkan disebabkan
ucapan “Raa`ina”, oleh kaum yahudi digunakan untuk mencaci Nabi. Maka
kaum muslimin dilarang mengucapkannya untuk menghindartakan timbulnya dzari’ah.
Metode ini tidak hanya bersifat menghindarkan kerusakan namun dzari’ah juga
untuk menarik kemanfaatan, kemanfaatan dan kerusakan inilah yang menjadi
parameter prinsib digunakannya dzari’ah. jika kerusakan lebih besar
dari manfaatnya maka hukum terhadap hal itu melalui dzari’ah akan
menjadi dilarang.
4. Metode Istishab
Menurut ulama fiqih
istishab berarti apa yang ada pada masa lalu dipandang masih ada pada
masa sekarang dan masa yang akan datang, atau terus menetapkan apa yang telah
ada dan meniadakan apa yang sebelumnya tidak ada sehingga terdapat dalil yang
mengubahnya.[12]
ما ثبت بزمانويحكم ببقا ئه
Apa yang telah
diyakini ada pada suatu masa, dihukumkan tetapnya (selama belum ada dalil yang
mengubahnya).
Alasan penggunaan istishab
sebagai sumber adalah bahwa secara syar’i hukum-hukum syara’ berlaku
sesuai dengan dalil yang ada hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Abu zahrah
mencotohkan dengan minuman anggur yang memabukan yang haram berdasarkan syara’,
namun jika kemudian minuman anggur itu berubah wujud sehingga unsur yagn
memabukan itu hilang, misalnya menjadi cuka, maka hilang pulalah keharamnnya.
Istishab ini
ada untuk mengantisipasi kekosongan hukum atas suatu perkara. Artinya istishab
adalah merupakan jalan untuk mencapai suatu ketetapan hukum, misalnya
ketika terdapat perkara yang tidak ada nash hukumnya (setelah melalui
proses ijtihadiah) maka akan ditetapkan kebolehannya dengan berdasarkan pada
kaidah:
ان الاصل فى الاثياءالابا حة
“sesungguhnya asal mula dalam segala
sesuatu adalah dibolehkan”
Kaidah ini diambil
dari nash yang menyatakan bahwa Dia (Allah) telah menaklukan apa yang
ada di langit dan apa yang ada di bumi untuk manusia. Dan sesuatu yang ada di
bumi tidaklah diciptakan untuk manusia dan ditaklukan bagi manusia kecuali
apabila sesuatu diperbolehkan untuk mereka. Karena kalau sekiranya ia dilarang
atas mereka maka suatu itu tidaklah diperuntutkan bagi mereka.
Dari pemaparan
diatas dapat dikemukakan bahwa konsep penemuan hukum oleh Juris Islam terutama
dipelopori aliran system hukum terbuka, yang pada pokoknya bahwa suatu
peraturan hukum dapat saja dirubah maknanya, meskipun tidak diubah kata-katanya
guna direlevansikan dengan fakta yang konkrit yang ada. Keterbukaan sistem
hukum Islam karena dalam rangka mencapai kemaslahatan. Jika dalam suatu aturan
hukum belum ada dan atau hukum masih bersifat normatif yang belum jelas maknanya,
maka metode penemuan hukum dilakukan dengan metode bayani (penafsiran), metode
ini ternyata menentukan arti kata-kata terhadap sebuah teks dengan tetap
berpegang pada bunyi teks.
Kegiatan penemuan
hukum menjadi model dalam kontruksi Hukum Islam karena memang hukum Islam lebih
bersifat aspiratif dalam menjawab berbagai problema yang timbul dalam
masyarakat. Tidak heran teori-teori tentang penemuan hukum lahir dari fuqahak
karena ilmu pengetahuan hukum Islam selalu dinamis ketimbang dengan ilmu lainnya.
Hal ini berhubungan dengan kenyataan bahwa dalam msyarakat Islam justru
persoalan fiqih merupakan persoalan hidup sehari-hari khsususnya dalam aspek fiqih
ibadah dan mu‟amalahnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kegiatan
penemuan hukum dengan bayani berarti mengerti sesuatu pada intinya adalah
sama dengan kegiatan menginterprestasi sehingga tercapai pemahaman sesuatu. Hal
demikian merupakan aspek hakiki dalam keberadaan hukum dalam menjawab
permsalahan yang mungkin timbul dengan pemahaman aspek teks hukum itu sendiri
baik yang berwujud tulisan, lukisn, perilaku, peristiwa. Pemahaman itu tidak
saja terbatas hanya pada tindakan intensitas, melainkan juga mencakup hal-hal
yang tidak dimaksud oleh siapapun, jadi mencakup tujuan manifest dan tujuan
laten.
Penemuan
hukum dengan metode ta‟lili yang merupakan sifat yang menjadi dasar hukum
asal dan menjadi dasar untuk mempersamakan cabang dengan asal pada hukum nya
Mendasarkan hukum kepada „‘illah diharapkan melahirkan kemaslahatan, karena
memang Al-Quran dan Sunnah memberikan petunjuk bahwa ‘illah hukum adalah sifat
tertentu maka sifat itu merupakan ‘illah berdasarkan nash, sehingga pada
dasarnya dapat diketahui bahwa ketentuan hukum itu dapat dipecahkan berdasarkan
‘illah hukum.
penemuan
hukum istislahi dimaksudkan untuk mengetahui tujuan syariat dan
merealisasikannya sehingga mampu menyelesaikan permasalahan hukum yang sedang
dihadapi. Dalam keadaan demikian penemuan hukum dengan istislahi merupakan
suatu jalan keluar dari kekakuan hukum agar hukum bermuara kepada keadilan dan
tercapainya kemaslahataan.
Istishab
ini ada untuk mengantisipasi kekosongan hukum atas suatu perkara. Artinya istishab
adalah merupakan jalan untuk mencapai suatu ketetapan hukum.
B. Saran
Dengan berbagai uraian di atas, tentunya tidak
lepas dari berbagai kekurangan baik dari segi isi materi, teknik penulisan dan
sebagainya, untuk itu sangat diharapkan saran maupun kritikan yang membangun dalam
perbaikan makalah selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Rahman, Asjmuni A. Metode
Penetapan Hukum Islam, Cet. 2, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2004).
Djazuli, A. Ilmu Fiqh
Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Cet. 5, Edisi Revisi,
(Jakarta: Prebada Media, 2005).
Basyir, Ahmad Azhar. Pokok-Pokok
Persoalan Filsafat Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Pres, 1984).
Hamidi, Jazim. Hermeneutika
Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interprestasi Teks,(Yogyakata: UII
Pres, 2004).
Aibak, Kutbudin. metodologi
pembaruan Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008).
Abdullah, Sulaiman. Sumber
Hukum Islam permasalahan dan fleksibilitaasnya,(Jakarta: Sinar Grafika,
1995).
Anshori, Abdul Ghofur dan
zulkarnaen harahap. Hukum Islam Dinamika dan perkembangannya di indonesia,
(Yogyakarta: Total Media, 2008).
[1] Asjmuni
A. Rahman, Metode Penetapan Hukum Islam, Cet. 2, (Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 2004), hlm. 1.
[2] A.
Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam,
Cet. 5, Edisi Revisi, (Jakarta: Prebada Media, 2005), hlm.17.
[3] Ahmad
Azhar Basyir, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, (Yogyakarta:
UII Pres, 1984), hlm.32.
[4] Jazim
Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interprestasi
Teks,(Yogyakata: UII Pres, 2004), hlm. 23.
[5] Ibid.hlm
21.
[6] Kutbudin
Aibak, metodologi pembaruan Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), hlm 80.
[7] Ibid.
hlm. 81-82.
[8] Sulaiman
Abdullah, Sumber Hukum Islam permasalahan dan fleksibilitaasnya,(Jakarta:
Sinar Grafika, 1995), hlm. 82-83.
[9] Sulaiman
Abdullah, Sumber Hukum Islam permasalahan dan fleksibilitaasnya,(Jakarta:
Sinar Grafika, 1995), hlm. 130-131.
[10] Ibid.
Hlm 208
[11] Abdul
Ghofur Anshori dan zulkarnaen harahap, Hukum Islam Dinamika dan
perkembangannya di indonesia, (Yogyakarta: Total Media, 2008), hlm. 191.
[12] Ibid.
hlm. 188
Tidak ada komentar:
Posting Komentar