Kamis, 05 Juli 2018

METODOLOGI PENYUSUNAN HUKUM ISLAM (Mata Kuliah : Masail Fiqhiyyah)


BAB  I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
 Saat ini umat Islam dihadapkan pada tantangan kehidupan yang sangat komplek serta benturan budaya modern. Pada realitas seperti saat ini pendekatan studi Islam menjadi sangat urgen, pendekatan dan pemahaman islam yang mau membuka diri terhadap masuhnya dan digunakanya pendekatan-pendekatan yang bersifat obyektif dan rasional. Dan secara bertahap mulai meninggalkan tradisi lama yakni kajian yang bersifat subyektif doktriner. Dengan demikian diharapkan islam akhirnya mampu mengikuti perkembangan zaman dan mampu menjawab persoalan-persoalan kekinian dengan lebih obyektif dan proporsional.
Predikat yang disandang Islam adalah rahmatal lil alamiin, yaitu agama yang membawa rahmat, membawa pertolongan bagi segenap manusia dan alam semesta, adalah predikat yang benar-benar melekat dan akan selalu didengungkan ila yaumil qiyamah. Terbukti dengan misi besar Islam yang termaktub dalam dua sumber utama ajaran Islam (Al-Qur’an dan Al-Hadits), yakni misi menjaga keteraturan kehidupan manusia baik secara spiritual, moral, social hingga aspek-aspek yang lain. Tidak hanya interaksi antar manusia saja, bahkan interaksi manusia dengan alam sekitarnya juga diatur dalam Islam. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai metodologi penyusunan hukum Islam beserta pembahasannya.

B.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, penulis dapat merumuskan suatu rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pengertian penyusunan hukum Islam?
2.      Bagaimana metode penyusunan hukum Islam?
 

BAB  II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Penyusunan Hukum Islam
Dalam istilah ilmu Ushul Fiqih metode penyusunan hukum dipakai dengan istilah ”istinbath”, yaitu mengeluarkan hukum dari dalil, jalan istinbath ini memberikan kaidah-kaidah yang bertalian dengan pengeluaran hukum dari dalil.[1]   Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa, memasukan dalam bab III dengan judul Thuruqul Istitsmar. Jika dilihat tujuan mempelajari Ushul Fiqih maka password yang paling penting dalam mempelajari ilmu tersebut adalah agar dapat mengetahui dan mempraktikkan kaidah-kaidah cara mengeluarkan hukum dari dalilnya.
Dengan demikian metode penyusunan hukum merupakan thuruq al-istinbath yaitu cara-cara yang ditempuh seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari dalilnya, baik dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa (linguistik) maupun dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushuliyah lainnya.[2] Ahli Ushul Fiqih menetapkan ketentuan bahwa untuk mengeluarkan hukum dari dalilnya harus terlebih dahulu mengetahui kaidah syar‟iyyah dan kaidah lughawiyah.
1.      Kaidah syar‟iyyah.
Kaidah syar‟iyyah ialah ketentuan umum yang ditempuh syara’  dalam menetapkan hukum dan tujuan penetapan hukum bagi subyek hukum (mukallaf). Selanjutnya perlu juga diketahui tentang penetapan dalil yang dipergunakan dalam penetapan hukum, urut-urutan dalil, tujuan penetapan hukum dan sebaginya.
2.   Kaidah lughawiyah.
Dengan kaidah lughawiyah, makna dari suatu lafaz, baik dari dalalah-nya maupun uslub-nya dapat diketahui, selanjutnya dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum. Kaidah ini berasal dari ketentuan-ketentuan ahli lughat (bahasa) yang dijadikan sandaran oleh ahli ushul dalam memahami arti lafaz menurut petunjuk lafaz dan susunannya.

Dengan demikian istinbath adalah cara bagaimana memperoleh ketentuan Hukum Islam dari dalil-dalilnya sebagaimana dibahas dalam ilmu Ushul Fiqih. Usha memperoleh ketentuan hukum dari dalilnya itulah yang disebut istinbath. Beristinbath hukum dari dalil-dalilnya dapat dilakukan dengan jalan pembahasan bahasa yang dipergunakan dalam dalil Al-Quran atau Sunnah Rasul, dan dapat pula dilakukan dengan jalan memahami jiwa hukum yang terkandung dalam dalilnya, baik yang menyangkut latar belakang yang menjadi landasan ketentuan hukum ataupun yang menjadi tujuan ketentuan hukum.[3]
Syarat untuk dapat beristinbath dengan jalan pembahasan bahasa adalah harus memahami bahasa dalil Al-Quran dan Sunnah Rasul, yaitu bahasa Arab. Tanpa memiliki pengetahuan bahasa Arab, beristinbath melalui pembahasan bahasa tidak dapat dilakukan. Dari sinilah dapat diketahui bahwa pengetahuan tentang bahasa Arab merupakan hal yang mutlak wajib dipelajari oleh setiap orang yang ingin berijtihad.

B. Metode Penyusunan Hukum Islam
1.   Metode bayani (hermaneutika)
Dalam perspektif hukum Islam dikenal juga dengan istilah metode penemuan hukum al-bayan mencakup pengertian al-tabayun dan al-tabyin: yakni proses mencari kejelasan (azh-zhuhr) dan pemberian penjelasan (al-izhar); upaya memahami (alfahm) dan komunikasi pemahaman (al-ifham); perolehan makna (al-talaqqi) dan penyampaian makna (al-tablig).[4] Dalam perkembangan hukum bayani atau setidaknya mendekati sebuah metode yang dikenal juga dengan istilah hermaneutika yang bermakna mengartikan‟, menafsirkan‟ atau menerjemah‟ dan juga bertindak sebagai penafsir. Dalam pengertian ini dapat dipahami sebagai proses mengubah suatu dari situasi ketidaktahuan menjadi mengerti, atau usaha mengalihkan diri dari bahasa asing yang maknanya masih gelap ke dalam bahasa kita sendiri yang maknanya lebih jelas, atau suatu proses transformasi pemikiran dari yang kurang jelas atau ambigu menuju ke yang lebih jelas/konkret; bentuk transformasi makna semacam ini, merupakan hal yang esensial dari pekerjaan seorang penafsir/muffasir.
Dalam tradisi Hukum Islam sesungguhnya terminologi hermeneutika telah lama dikenal dalam keilmuan Islam yang sering disebut dengan istilah ilmu tafsir (ilm ta’wil dan ilm al bayan). Bahkan dalam perkembangan dewasa ini ilmu tafsir mengalami kemajuan pesat dalam wacana keislaman, dalam perspektif yang lebih spesifik, penggunaan istilah ilmu tafisr‟ ditujukan (dikhitobkan) pada terminologi hermeneutika Al Quran sebagaimana padanan kata dari hermeneutika pada umumnya. Trem yang digunakan dalam kegiatan interprestasi dalam wacana ilmu keislaman adalah tafsir. Kata tafsir berasal dari bahasa Arab; fassara atau safara yang artinya digunakan secara teknis dalam pengertian eksegesisi (penafsiran teks) di kalangan orang Islam sejak abad ke-5 hingga sekarang.
Secara epistemologi kata tafsir (al-tafsir) dan ta’wil (al-ta’wil) sering kali disinonimkan pengertiannya ke dalam penafsiran‟ atau penjelasan‟. Al-Tafisr berkaitan dengan interprestasi eksternal (exoteric exegese), sedangkan al-ta’wil lebih merupakan isnterprestasi dalaman (esoteric exegese) yang berkaitan dengan makna batin teks dan penafsiran metaforis terhadap Al Quran. Dengan kata lain al-tafsir suatu upaya untuk menyingkap sesuatu yang samar-samar dan tersembunyi melalui mediator, sedangkan ta’wil kembali ke sumber atau sampai pada tujuan, jika kembali kepada sumber menunjukan tindakan yang mengupayakan gerak reflektif, maka makna sampai ke tujuan adalah gerak dinamis.[5]
Hermeneutika yang dalam bahasa hukum Islam merupakan ilmu atau seni menginprestasikan (the art of interprestation) “teks‟ atau memahami sesuatu dalam pengertian memahami teks hukum atau peraturan perundang-undangan.dan kapasitasnya menjadi objek yang ditafsirkan. Kata sesuatu/teks di sini bisa berupa: teks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, naskah-naskah kuno, ayat-ayat ahkam dan kitab suci atapun berupa pendapat dan hasil ijtihad para ahli hukum (doktrin). Motode dan teknik menafsirkannya dilakukan secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks dan kontekstualisasi.
Secara filosofis metode bayani mempunyai tugas ontologis yaitu menggambarkan hubungan yang tidak dapat dihidari antara teks dan pembaca, masa lalu dan sekarang yang memungkinkan untuk memahami kejadian yang pertama kali (geniun) Urgensi kajian ini dimaksudkan tidak hanya akan membebaskan kajian-kajian hukum dari otoritarianisme para yuris positif yang elitis, tetapi juga dari kajian-kajian hukum kaum strukturalis atau behavioralis yang terlalu emperik sifatnya. Sehingga diharapkan kajian tidak semata-mata berkutat demi kepentingan profesi yang eksklusif semata-mata menggunakan paradigma positivisme dan metode logis formal, namun lebih dari itu agar para pengkaji hukum supaya menggali dan meneliti makna-makna hukum dari perspektif para pengguna dan/atau para pencari keadilan.
Relevansi dari kajian penemuan hukum bayani mempunyai dua makna sekaligus: Pertama, metode bayani dapat diahami sebagai metode interprestasi atas teks-teks hukum atau metode memahami terhadap suatu naskah normatif, di mana berhubungan dengan isi (kaidah hukumnya), baik yang tersurat maupun yang tersirat, atau antara bunyi hukum dan semangat hukum. Kedua, metode bayani juga mempunyai pengaruh besar atau relevansi dengan teori penemuan hukum. Hal mana ditampilkan dalam kerangka pemahaman lingkaran spriral hermenuetika (cyricel hermeneutics) yaitu berupa proses timbal-balik antara kaidah-kaidah dan fakta-fakta.
 
2.   Metode ta’lili
Metode ta’lili yaitu metode yang bercorak pada upaya penggalian hukum yang bertumpu pada penentuan ‘illah-‘illah hukum (suatu yang menetapkan adanya hukum) yang terdapat dalam suatu nash.[6]
Berkembangnya corak penalaran tak’lili ini karena didukung oleh suatu kenyataan bahwa nash Al-Quran atau hadis dalam penuturannya tentang suatu masalah hukum sebagian di iringi dengan penyebutan ‘illah-‘illah hukumnya. Atas dasar ‘illah yang terkandung di dalam suatu nash permasalahan-permasalahan hukum yang muncul diupayakan oleh mujtahid pemecahanyya melalui penalaran terhadap ‘illah yang ada dalam nash tersebut. Dalam perkembangan pemikiran ushul fiqih, yang termasuk dalam corak penalaran ta’lili ini adalah metode qiyas dann istihsan, dimana uraian dari kedua hal tesebut yaitu:
a.   Qiyas
Secara etimologi kata qiyas berarti qadara, artinya mengukur membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya. Sedangkan arti qiyas menurut terminologi  terdapat beberapa definisi yang berbeda-beda, diantaranya:
Pertama: AL-Ghazali dalam al-Mustasfa memberikan definisi qiyas yaitu menanggungkan sesuatu yang di kehendaki kepada sesuatu yang di ketahui dalah hal penetapan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum pada keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum/sifat atau peniadaan hukum/sifat.
Kedua: Muhammad abu zahrah mendfinisikan Menghubungkan sesuatu perkara yang tidak ada nash tentang hukum nya kepada perkara lain yang ada nash hukum nya karena keduannya berserikan dalam ’’illah hukum nya.
Ketiga: Ibn as-Subki dalam kitabnya jam’u al-Jawami memberikan definisi qiyas adalah menghubungkan sesuatu yang di ketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaan dalam ‘‘illah hukum nya menurut pihak yang menghubungkan (mujtahid).[7]
Dari penafsiran di atas dapat di definisikan qiyas adalah pempersamakan peristiwa hukum yang tidak di terntukan hukum nya oleh nash, dengan peristiwa hukum yang telah ditentukan oleh nash bahwa ketentuan hukum nya sama dengan hukum yang ditentukan nash.
Jumhur kaum muslimin sepakat bahwa sema hukum syara’ yang dibawa oleh nash itu, disyariatkan untuk mewujudkan kemaslahatan kepentingan manusia, bukan tanpa tujuan. Apabila hukum-hukum itu termasuk kategori yang takterdapat jalan bagi akal mencari kemaslahatan yang detail yang perlu diwujudkan oleh penetapannya sseperti hukum ibadah, maka hukum ini disebut dengan ta’abbudi yang diharuskan pelaksanaanya pelaksanaannya menurut ketentuan yang dibwa oleh nash. Tetapi apabila hukum-hukum yang dibawa nash termasuk kategori terdapat peluang akal mencari kemaslahatan yang menjadi tujuan dan ‘illah yang melandasinya, maka subjek hukum (mukallaf) melaksanakannya atau memperlakukannya pada semua peristiwa hukum yang dicakup oleh nash itu dan para mujtahid berkewajiban mengetahui maslahat yang menjadi tujuansyara’ menetapkannya serta mengetahui ‘illah hubungan itulah terwujudnya maslahat. Sehingga apabila dihadapkan kepada mereka suatu peristiwa hukum yang lain dari peristiwa yang disebutkan nash dan mereka mendapatkan kejelasan bahwa didalamnya terwujud ‘illah itu. Maka mereka akan menetapkan hukum nya oleh nash karena maslahat yang terjadi tujuan syara’ itu sudah terwujud.[8]
Adapun cara mengetahui ‘illah ada beberapa macam diantaranya dengan nash itu sendiri yaitu apabila nashnash Alquran atau hadis telah menunjukan bahwa ‘illah hukum nya adalah sifat yang disebut nashnash itu sendiri, maka sifat yang disebut itulah yang menjadi ‘illah hukum nya dan disebut manshushah’alaihi. Mengqiyaskan hukum suatu dengan hukum yang ‘illah hukum nya telah disebutkan oleh nash itu sendiri, pada hakikatnya adalah menetapkan hukum sesuatu pada nashDallalah nash (penunjukan nash) bahwa sifat yang disebutkan oleh nash adalah ‘illah hukum nya itu, kadang-kadang sharihah (jelas sekali) atau secara Ima (Isyarat). Syarihah ialah dalalah lafadz nash kepada ‘illah hukum dengan penunjukan secara jelas sekali disebutkan: ‘illah-nya adalah demikian atau sebabnya demikian.
contoh hadis yang mengqiyaskan perbuatan hukum:
لايرث القا تل
“si pembunuh tidak mewarisi orang yang di bunuhnya”
Hadis ini menunjukan (hukum) terhalangnya kewarisan pada peristiwa hukum (waris yang membunuh pewarisnya). Maka apabila dengan Ijtihadnya seorang mujtahid sampai kepada kesimpulan bahwa kemaslahatan yang dimaksudkan oleh syara’ menetapkan hukum “tidak mendapat hak waris seseorang yang mempercepat sesuatu sebelum waktu dan terhalangnya seorang pelaku pidana kejahatan mendapatkan hasil (akibat hukum) dari kejahatannya, serta sampai pula kepada kesimpulan ‘illah yang jelas dijadikan syara’ sebagai hubungan hukum (bet rekking recht) berupa pembunuhan karena didalamnya menghubungkan halangan warisan dengan sebab pembunuhan itulah terwujudnya kemaslahatan tersebut. Sedangkan asas qiyas adalah menta’lilkan hukum nash, Ta’lil hukum nash maksudnya ialah menyatakan asas yang dijadikan landasan oleh syara’ menetapkan hukum nya pada nash. Jumhur kaum muslimin sepakat bahwa Syari’ah tidaklah menetapkan sesuatu hukum secara kebetulan tanpa sebab yang menuntutnya dan tanpa maslahat yang menjadi sasarannya.
Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa qiyas sebagai istimbath ta’lili merupakan upaya nalar yang memiliki kedekatan hubungan dengan nash. Qiyas sebagai penalaran ta’lili harus senantiasa dipertajam dengan pertimbangan maqashid asy-syari’ah baik yang berkaitan dengan kemasyarakatan, ekonomi, politik dan moral. Pertimbangan maqashid asy-syariah menjadikan metode qiyas lebih dinamis sebagai solusi permasalahan-permasalahan hukum.
b.   Istihsan
Istihsan merupakan salah satu metode ijtihad yang di perselisihkan oleh para alim ulama, meskipun dalam kenyataanya, semua ulama menggunakannya, para ulama menggunakannya secara praktis. Pada dasarnya para ulama menggunakan istihsan dalam arti bahasa yaitu berbuat sesuatu yang lebih baik atau mengikuti suatu yang lebih baik.
Sedangkan secara istilah menurut ahli ushul dari kalangan Hanafiah, Malikiah dan Hanabilah dalam mendefinisikan istihsan adalah berpindah dari suatu ketentuan terhadap beberapa peristiwa hukum kepada ketentuan hukum lain, mendahulukan suatu ketentuan hukum dari ketentuan yang lain, menyisihkan hukum dari ketentuan hukum umum yang mencakupnya ataupun mentakhsiskan sebagian satuan hukum dari hukum umum. Sedangkan dari ulama ushul yaitu perpindahan dari suatu ketentuan hukum yang menjadi konsekwensi dari suatu dalil syara; terhadap suatu peristiwa hukum, kepada ketentuan hukum lain terhadapnya, karena disebut sebagai sanad istihsan, maka sebenarnya istihsan itu adalah mentarjihkan /mengumpulkan suatu dalil dari dalil yang menentangnya disebabkan adanya murajjih/faktor yang mengunggulkannya yang diakui (mu’tabar-respectable).[9]
Setelah menganalisis beberapa definisi istihsan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hakikat dari istihsan, yaitu seorang mujtahid dalam melakukan ijtihad untuk menemukan dan menetapkan suatu hukum tidak jadi menggunakan suatu dalil, baik dalil itu menggunakan qiyas, dalam bentuk hukum kulli atau dalam kaidah umum, sebagai gantinya ia menggunakan dalil lain dalam bentuk qiyas lain yang dinilai lebih kuat. Atau nash yang ditemukannya atau urf yang berlaku, atau keadaan darurat atau hukum pengecualian. Alasannya adalah karena dengan cara itulah seorang mujtahid menganggapnya sebagai cara terbaik yang lebih banyak mendatangkan kemaslahatan dan lebih menjauhkan kesulitan bagi umat.
3.   Metode istislahi
Corak penalaran istislahi adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan yang di simpulkan dari Alquran dan hadis. Artinya kemaslahatan yang dimaksudkan disini adalah kemaslahatan yang secara umum ditunjuk oleh kedua sumber hukum terssebut. Maksudnya kemaslahatan itu tidak dapat dikembalikan kepada suatu ayat atau hadis secara langsung baik melalui penalaran bayani atau ta’lili melainkan dikembalikan pada prinsip umum kemaslahatan yang dikandung oleh nash.
Dalam perkembangan pemikiran ushul fiqih, corak penalaran istihlahi ini tampak dalam beberapa metode ijtihad,antara lain dalam metode al-mashlahah  al-mursalah dan saddudz-dzari’ah. Untuk melihat bagaimana corak penalaran istihlahi dengan kedua metode tersebut.
a.   Al-mashlahah al-mursalah
Secara etimologi mashlahah  barasal dari kata shaluha di gunakan untuk menunjukan jika sesuatu atau seorang menjadi baik, tidak korupsi, benar, adil,shalih, jujur atau secara alternatif untuk menunjukan keadaan yang mengandung kebajikan-kebajikan tersebut. ketika dipergunakan dengan bersama preposisi Li, shaluha akan memberikan pengertian kesserasian, dalam pengertian rasionalnya maslhahah berarti sebab, cara atau suatu yang bertujuan baik. Ia juga berarti sesuatu permasalahan atau bagian dari urusan yang menghasilkan kebaikan yang dalam bahasa arab berarti perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia.
Dalam pengertian secara definitif terdapat perbedaan rumusan dikalangan ulama yang ketika di analisis hakikatnya sama yakni:
Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya mashlahah itu berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan madharat, namun hakikat dari mashlahah  adalah memelihara tujuan syara’. Sedangkan tujuan syara’ dalam  penetapan hukum itu ada lima yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Sedang menurut Asy-syatibi mengartikan mashlahah  dari dua pandangan yaitu dari terjadinya mashlahah dalam kenyataan dan dari segi tergantungnya tuntutan syara’ kepada mashlahah. Dari segi terjadinya mashlahah dalam kenyataannya berarti sesuatu yang kembali kepada tegaknya kehidupan manusia, sempurna hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat syahwati dan akliyah seccara mutlak”.  Sedangkan dari tergantungnya tuntutan sayara’ kepada mashlahah, yaitu kemaslahatan yang merupakan tujuan dari penetapan hukum syara’ untuk menghasilkannya Allah menuntut manusi untuk berbuat.[10]
Adapun mashlahah mursalah terdiri dari dua kata yang hubungan keduanya dalam bentuk sifat maushuf, atau dalam bentuk khusus yang menunjukan bahwa ia merupakan bagian dari al-mashlahah. Tentang arti mashlahah telah dijelaskan di atas secara etimologi maupun secara terminologi. Al-mursalah adalah isim maf’ul (objek) dari fi’il madhi (kata dasar) dalam bentuk kata dasar ketiga,yaitu رسل dengan penambahan huruf “alif” di pangkalnya sehingga menjadi ارسل yang secara bahasa berarti terlepas, jika di hubungkan dengan kata mashlahah maksudnya adalah terlepas dari boleh atau tidaknya dilakukan. Sedang menurut istilah yaitu apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, namun tidak ada petunjuk syara’ yang memperhitungkan dan tidak ada pula petunjuk syara’ yang menolaknya.
b.   Saddudz-dzara’i (dzari’ah)
Secara harfiah Saddudz-dzara’i terdiri atas dua kata yakni sad yang berarti penghalang atau sumbat dan dzariah  yang artinya jalan. Oleh karenanya Saddudz-dzara’i dimaksudkan sebagai menghambat atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat. Tujuan penetapan melalui metode ini adalah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan dan jauh kemungkinan memudahkan terjadinya kerusakan. Metode ini disebut sebagai metode preventif mencegah sesuatu sebelum terjadinya suatu yang tidak diinginkan.[11]
Keberadaan dzariah  ini dilandaskan pada Alquran misalnya pada firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa`ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan dengarlah”“ (QS al-baqarah: 104)

Larangan ini di turunkan disebabkan ucapan “Raa`ina”, oleh kaum yahudi digunakan untuk mencaci Nabi. Maka kaum muslimin dilarang mengucapkannya untuk menghindartakan timbulnya dzari’ah. Metode ini tidak hanya bersifat menghindarkan kerusakan namun dzari’ah juga untuk menarik kemanfaatan, kemanfaatan dan kerusakan inilah yang menjadi parameter prinsib digunakannya dzari’ah. jika kerusakan lebih besar dari manfaatnya maka hukum terhadap hal itu melalui dzari’ah akan menjadi dilarang.
4.   Metode Istishab
Menurut ulama fiqih istishab berarti apa yang ada pada masa lalu dipandang masih ada pada masa sekarang dan masa yang akan datang, atau terus menetapkan apa yang telah ada dan meniadakan apa yang sebelumnya tidak ada sehingga terdapat dalil yang mengubahnya.[12]
ما ثبت بزمانويحكم ببقا ئه
Apa yang telah diyakini ada pada suatu masa, dihukumkan tetapnya (selama belum ada dalil yang mengubahnya).

Alasan penggunaan istishab sebagai sumber adalah bahwa secara syar’i hukum-hukum syara’ berlaku sesuai dengan dalil yang ada hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Abu zahrah mencotohkan dengan minuman anggur yang memabukan yang haram berdasarkan syara’, namun jika kemudian minuman anggur itu  berubah wujud sehingga unsur yagn memabukan itu hilang, misalnya menjadi cuka, maka hilang pulalah keharamnnya.
Istishab ini ada untuk mengantisipasi kekosongan hukum atas suatu perkara. Artinya istishab adalah merupakan jalan untuk mencapai suatu ketetapan hukum, misalnya ketika terdapat perkara yang tidak ada nash hukumnya (setelah melalui proses ijtihadiah) maka akan ditetapkan kebolehannya dengan berdasarkan pada kaidah:
ان الاصل فى الاثياءالابا حة
sesungguhnya asal mula dalam segala sesuatu adalah dibolehkan
Kaidah ini diambil dari nash yang menyatakan bahwa Dia (Allah) telah menaklukan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untuk manusia. Dan sesuatu yang ada di bumi tidaklah diciptakan untuk manusia dan ditaklukan bagi manusia kecuali apabila sesuatu diperbolehkan untuk mereka. Karena kalau sekiranya ia dilarang atas mereka maka suatu itu tidaklah diperuntutkan bagi mereka.
Dari pemaparan diatas dapat dikemukakan bahwa konsep penemuan hukum oleh Juris Islam terutama dipelopori aliran system hukum  terbuka, yang pada pokoknya bahwa suatu peraturan hukum dapat saja dirubah maknanya, meskipun tidak diubah kata-katanya guna direlevansikan dengan fakta yang konkrit yang ada. Keterbukaan sistem hukum Islam karena dalam rangka mencapai kemaslahatan. Jika dalam suatu aturan hukum belum ada dan atau hukum masih bersifat normatif yang belum jelas maknanya, maka metode penemuan hukum dilakukan dengan metode bayani (penafsiran), metode ini ternyata menentukan arti kata-kata terhadap sebuah teks dengan tetap berpegang pada bunyi teks.
Kegiatan penemuan hukum menjadi model dalam kontruksi Hukum Islam karena memang hukum Islam lebih bersifat aspiratif dalam menjawab berbagai problema yang timbul dalam masyarakat. Tidak heran teori-teori tentang penemuan hukum lahir dari fuqahak karena ilmu pengetahuan hukum Islam selalu dinamis ketimbang dengan ilmu lainnya. Hal ini berhubungan dengan kenyataan bahwa dalam msyarakat Islam justru persoalan fiqih merupakan persoalan hidup sehari-hari khsususnya dalam aspek fiqih ibadah dan mu‟amalahnya.

BAB  III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Kegiatan penemuan hukum  dengan bayani berarti mengerti sesuatu pada intinya adalah sama dengan kegiatan menginterprestasi sehingga tercapai pemahaman sesuatu. Hal demikian merupakan aspek hakiki dalam keberadaan hukum dalam menjawab permsalahan yang mungkin timbul dengan pemahaman aspek teks hukum itu sendiri baik yang berwujud tulisan, lukisn, perilaku, peristiwa. Pemahaman itu tidak saja terbatas hanya pada tindakan intensitas, melainkan juga mencakup hal-hal yang tidak dimaksud oleh siapapun, jadi mencakup tujuan manifest dan tujuan laten.
Penemuan hukum  dengan metode ta‟lili yang merupakan sifat yang menjadi dasar hukum asal dan menjadi dasar untuk mempersamakan cabang dengan asal pada hukum nya Mendasarkan hukum kepada „‘illah diharapkan melahirkan kemaslahatan, karena memang Al-Quran dan Sunnah memberikan petunjuk bahwa ‘illah hukum adalah sifat tertentu maka sifat itu merupakan ‘illah berdasarkan nash, sehingga pada dasarnya dapat diketahui bahwa ketentuan hukum itu dapat dipecahkan berdasarkan ‘illah hukum.
penemuan hukum istislahi dimaksudkan untuk mengetahui tujuan syariat dan merealisasikannya sehingga mampu menyelesaikan permasalahan hukum yang sedang dihadapi. Dalam keadaan demikian penemuan hukum dengan istislahi merupakan suatu jalan keluar dari kekakuan hukum agar hukum bermuara kepada keadilan dan tercapainya kemaslahataan.
Istishab ini ada untuk mengantisipasi kekosongan hukum atas suatu perkara. Artinya istishab adalah merupakan jalan untuk mencapai suatu ketetapan hukum.
B.  Saran
Dengan berbagai uraian di atas, tentunya tidak lepas dari berbagai kekurangan baik dari segi isi materi, teknik penulisan dan sebagainya, untuk itu sangat diharapkan saran maupun kritikan yang membangun dalam perbaikan makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Rahman, Asjmuni A. Metode Penetapan Hukum Islam, Cet. 2, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2004).
Djazuli, A. Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Cet. 5, Edisi Revisi, (Jakarta: Prebada Media, 2005).
Basyir, Ahmad Azhar. Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Pres, 1984).
Hamidi, Jazim. Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interprestasi Teks,(Yogyakata: UII Pres, 2004).
Aibak, Kutbudin. metodologi pembaruan Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008).
Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam permasalahan dan fleksibilitaasnya,(Jakarta: Sinar Grafika, 1995).
Anshori, Abdul Ghofur dan zulkarnaen harahap. Hukum Islam Dinamika dan perkembangannya di indonesia, (Yogyakarta: Total Media, 2008).


[1] Asjmuni A. Rahman, Metode Penetapan Hukum Islam, Cet. 2, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2004), hlm. 1.
[2] A. Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Cet. 5, Edisi Revisi, (Jakarta: Prebada Media, 2005), hlm.17.
[3] Ahmad Azhar Basyir, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Pres, 1984), hlm.32.
[4] Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interprestasi Teks,(Yogyakata: UII Pres, 2004), hlm. 23.
[5] Ibid.hlm 21.
[6] Kutbudin Aibak, metodologi pembaruan Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm 80.
[7] Ibid. hlm. 81-82.
[8] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam permasalahan dan fleksibilitaasnya,(Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 82-83.
[9] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam permasalahan dan fleksibilitaasnya,(Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 130-131.
[10] Ibid. Hlm 208
[11] Abdul Ghofur Anshori dan zulkarnaen harahap, Hukum Islam Dinamika dan perkembangannya di indonesia, (Yogyakarta: Total Media, 2008), hlm. 191.
[12] Ibid. hlm. 188

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer :