BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Nasionalisme
(cinta tanah air) adalah konsep modern yang muncul pada abad ke-17 bersamaan
dengan lahirnya konsep negara bangsa. Di Eropa, nasionalisme muncul sebagai
salah satu perwujudan perlawanan terhadap feodalisme (kekuasaan absolut yang
dimiliki oleh pemuka agama dan bangsawan). Seiring munculnya negara bangsa,
timbullah berbagai pemikiran tentang nasionalisme sebagai basis filosofis
terbentuknya negara bangsa tersebut. Suatu bangsa terbentuk karena adanya
unsur-unsur dan akar-akar sejarah yang membentuknya.[1]
Oleh karena itu, dibutuhkan pemikiran bahwa pengabdian tertinggi seorang
manusia untuk bangsa dan negara disebut dengan nasionalisme.
Cinta
tanah air merupakan tabiat alami manusia. Karena di tanah air itulah mereka
dilahirkan, dibesarkan, dididik dan disayang. Perasaan rindu terhadap tanah air
menunjukkan adanya cinta dan hubungan batin antara manusia dan tanah tumpah
darahnya. Kecintaan terhadap tanah air akan menimbulkan sikap nasionalisme,
yaitu kesadaran dan semangat cinta tanah air. Dalam makalah ini akan dibahas
tentang deskripsi dan bagaimana hukum cinta tanah air menurut pandangan Islam.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana deskripsi mengenai
cinta tanah air?
2. Bagaimana hukum cinta tanah
air dalam perspektif Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Deskripsi
Cinta Tanah Air
Cinta dapat diartikan ke dalam tiga karakteristik
yaitu apresiatif (ta’dzim), penuh perhatian (ihtimaman), dan
cinta (mahabbah). Cinta yang dimaksud di sini adalah perasaan
kasih, perhatian dan kepedulian yang ditujukan seseorang untuk tanah airnya.
Perasaan cinta tersebut dapat membangkitkan dirinya untuk rela mengorbankan
jiwa dan raganya dalam mengemban tugas negara dan untuk mempertahankan tanah
airnya. Dalam ilmu Psikologi, perasaan cinta sebenarnya mengandung unsur kasih
dan sayang terhadap sesuatu. Kemudian di dalam diri seseorang tersebut akan
tumbuh kemauan untuk merawat, melindungi dan memeliharanya dari segala ancaman
yang timbul.[2]
Ada beberapa istilah yang mempunyai makna tanah
air diantaranya yaitu al-Wathan, al-Balad dan al-Dar. Al-Wathan berarti
tempat tinggal seseorang, tempat dimana ia bertumbuh dan tempat dimana ia
dilahirkan. Al-Balad mempunyai arti tempat yang dibatasi yang dijadikan
tempat tinggal oleh sekelompok orang, atau dinamakan dengan tempat yang luas
yang ada di bumi ini. Sedangkan al-Dar berarti tempat berkumpulnya
bangunan dan halaman, tempat tinggal. Ketiga kata tersebut mempunyai makna
yaitu tempat tinggal.
Cinta tanah air adalah perasaan yang timbul dari
hati sanubari seorang warga negara untuk mengabdi, memelihara, membela,
melindungi tanah airnya dari segala ancaman dan gangguan.[3]
Cinta tanah air berarti membela dari segala macam gangguan dan ancaman yang
datang dari manapun. Cinta tanah air merupakan rasa kebanggaan, rasa memiliki,
rasa menghargai, rasa menghormati dan loyalitas yang tinggi yang dimiliki oleh
setiap individu pada negara tempat ia tinggal yang dapat tercermin dari
perilaku membela tanah airnya, menjaga dan melindungi tanah airnya, rela
berkorban untuk kepentingan bangsa dan negaranya serta mencintai adat dan
budaya yang dimiliki oleh bangsanya (Nurmantyo, 2016:9).[4]
Cinta tanah air hendaknya dipahami secara luas dan
dimengerti maksud serta tujuannya. Cinta tanah air juga sering dikenal dengan
istilah nasionalisme. Secara ringkas nasionalisme merupakan paham kebangsaan
yang merupakan kesetiaan tertinggi individu terhadap bangsa dan tanah airnya.
Cinta tanah air pada hakikatnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam
diri setiap manusia. Sebagaimana pengertian cinta tanah air di bagian
sebelumnya, cinta tanah air identik dengan sebutan nasionalisme.
Faktor pembentuk identitas bersama (nasionalisme):[5]
1. Primordial,
yaitu ikatan kekerabatan dan kesamaan suku bangsa, daerah, bahasa, dan adat
istiadat untuk membentuk suatu negara atau bangsa. Primordial ini tidak hanya
menimbulkan pola perilaku yang sama tetapi juga melahirkan persepsi tentang negara
yang dicita-citakan.
2. Sakral,
yakni kesamaan agama yang dipeluk oleh suatu masyarakat. Faktor sakral ini
ikut menyumbangkan terbentuknya sifat nasionalis dalam diri individu di dalam
suatu negara.
3. Tokoh,
kepemimpinan dalam suatu komunitas dapat menjadi salah satu faktor yang
membentuk suatu negara atau bangsa. Sebab, pemimpin ini akan menjadi panutan
masyarakat sebagai simbol persatuan dan kesatuan untuk membentuk komunitas baru
yang lebih besar
4. Sejarah,
persepsi yang sama tentang asal-usul atau pengalaman masa lalu seperti
kejayaan dan penderitaan juga dapat membentuk solidaritas yang tinggi. Sejarah
juga akan dapat menimbulkan lekad dan tujuan yang kuat dalam suatu masyarakat.
5. Bhinneka
Tunggal lka, prinsip bersatu dalam perbedaan (unity in diversity) dapat
menjadi faktor pembentuk identitas bersama. Hal ini dikarenakan kesetiaan
masyarakat terhadap suatu bangsa atau negara dipandang perlu meninggalkan unsur
perbedaan diantara mereka. Hal ini akan menimbulkan kesetiaan yang ganda dalam
diri masyarakat.
6. Perkembangan
Ekonomi, Perkembangan ekonomi (industrialisasi) akan melahirkan
spesialisasi pekerjaan yang beraneka ragam sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Solidaritas yang ditimbulkan dari situasi ini disebut dengan solidaritas
organis.
7. Kelembagaan,
Faktor lain yang menjadi pembentuk solidaritas kebangsaan adalah
terbentuknya kelembagaan seperti lembaga-lembaga politik pemerintahan, birokrasi
angkatan bersenjata dan berbagai lembaga lainnya yang dapat membantu mewujudkan
suasana sejahtera dalam suatu negara.
Pada awalnya, Islam tidak mengenal istilah
nasionalisme. Adapun yang dikenal hanya dua konsep teritorial-religious
yakni wilayah damai (Darul Islam) dan wilayah perang (Darul Harb). Oleh
karena itu, munculnya konsep negara bangsa (nation state) telah
melahirkan beberapa ketegangan historis dan konseptual di kalangan Islam.
Meski demikian, di dalam Islam dikenal dua terminologi yang mendekati konsep
negara-bangsa yaitu kata millah dan ummah yang berarti masyarakat
atau umat. Akan tetapi istilah tersebut lebih mengacu pada kelompok
sosio-religius bukan kepada masyarakat politik.
Nasionalisme di dunia Islam dapat dipelajari dari
sejarah negara-negara muslim yang ada di dunia yang bersentuhan secara langsung
dengan masyarakat dan negara-negara Eropa. Turki adalah salah satu negara
muslim yang menerima secara terbuka konsep nasionalisme sebagaimana yang ada di
negara-negara barat. Dinasti Turki Utsmani kala itu menguasai hampir seluruh
kawasan Timur Tengah. Negara-negara ini mengakui dan mengagumi beberapa konsep
politik Eropa diantaranya di bidang adminitrasi negara dan militernya.
B. Cinta
Tanah Air dalam Perspektif Islam
Al-Qur’an tidak menjelaskan secara pasti tentang
pentingnya rasa cinta tanah air (hubbul wathan) tetapi nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya mampu menjawab segala macam pertanyaan tentang
pentingnya cinta tanah air. Diantara nilai-nilai tersebut adalah semangat persatuan
dan kesatuan (Ukhuwah Islamiyyah) serta tuntunan untuk selalu
menghormati dan menghargai sesama manusia.
Dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13 disebutkan
tentang konsep cinta tanah air:
Artinya:
“Hai
manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)[6]
Ayat di atas dapat dimaknai sebagai salah satu
wujud penisbatan manusia terhadap tanah kelahirannya atau tanah air. Itu
artinya mereka telah memiliki rasa cinta terhadap tanah tumpah darahnya sejak
lahir dan hal itu merupakan bentuk kodrati.[7]
Pada dasarnya setiap manusia itu memiliki
kecintaan kepada tanah airnya sehingga ia merasa nyaman menetap di dalamnya,
selalu merindukannya ketika jauh darinya, mempertahankannya ketika diserang dan
akan marah ketika tanah airnya dicela. Dengan demikian mencintai tanah air
adalah sudah menjadi tabiat dasar manusia.
Rasulullah SAW sendiri pernah mengekspresikan
kecintaannya kepada Mekah sebagai tempat kelahirannya. Hal ini bisa kita lihat
dalam penuturan Ibnu Abbas RA yang diriwayatkan dari Ibnu Hibban berikut ini:[8]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلْدَةٍ وَأَحَبَّكِ إِلَيَّ،
وَلَوْلَا أَنَّ قَوْمِي أَخْرَجُونِي مِنْكِ، مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ
Artinya:
“Dari
Ibnu Abbas RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Alangkah baiknya engkau
sebagai sebuah negeri, dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai.
Seandainya kaumku tidak mengusirku dari engkau, niscaya aku tidak tinggal di
negeri selainmu.” (HR
Ibnu Hibban).
Di samping Mekah, Madinah juga merupakan tanah air
Rasulullah SAW. Di situlah beliau menetap serta mengembangkan dakwah Islamnya
setelah terusir dari Mekah. Di Madinah Rasulullah SAW berhasil dengan baik
membentuk komunitas Madinah dengan ditandai lahirnya watsiqah madinah
atau yang biasa disebut oleh kita dengan nama Piagam Madinah.
Kecintaan Rasulullah SAW terhadap Madinah juga tak
terelakkan. Karenanya, ketika pulang dari bepergian, Beliau memandangi dinding
Madinah kemudian memacu kendarannya dengan cepat. Hal ini dilakukan karena
kecintaannya kepada Madinah.[9]
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَنَظَرَ إِلَى جُدْرَانِ الْمَدِينَةِ
أَوْضَعَ رَاحِلَتَهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا
Artinya:
“Dari
Anas RA bahwa Nabi SAW apabila kembali dari berpergian, beliau melihat dinding
kota Madinah, maka lantas mempercepat untanya. Jika di atas atas kendaraan lain
maka beliau menggerak-gerakannya (agar lebih cepat) karena kecintaanya kepada
Madinah.” (HR Bukhari).
Apa yang dilakukan Rasulullah SAW ketika kembali
dari bepergian, yaitu memandangi dinding Madinah dan memacu kendaraannya agar
cepat sampai di Madinah sebagaimana dituturkan dalam riwayat Anas RA di atas,
menurut keterangan dalam kitab Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari karya Ibnu
Hajar Al-Asqalani menunjukkan atas keutamaan Madinah disyariatkannya cinta
tanah air.
Dalam kitab Ar-Risalah karya Hadratussyeckh
Hasyim Asy'ari menerang-kan bahwa membela negara yang sedang mengalami
penjajahan adalah hal yang wajib. Dari pendapat inilah kemudian dikenal istilah
Hubbul Wathan Minal Iman yang dipopulerkan oleh KH. Wahab Hasbullah.
Para ulama' Indonesia mengeluarkan pendapat
tentang cinta tanah air bagi seluruh warga negara. Dalam putusan Majelis Ulama'
Indonesia (MUI), membela tanah air adalah wajib. Ungkapan yang paling populer
di kalangan bangsa Indonesia adalah pendapat ulama' yang mengungkapkan kalimat:
cinta tanah air adalah bagian dari iman. Ijtihad ulama' tersebut tidak terlepas
dari fatwa resolusi jihad NU yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy'ari pada
tahun 1945. Makna resolusi jihad tersebut berarti kewajiban setiap umat Islam
untuk berjuang membela negara dan bangsa Indonesia dalam menghadapi penjajahan
Belanda dan Jepang. Resolusi jihad tersebut menjadi salah satu penyulut
semangat rakyat Indonesia dalam perang 10 Nopember 1945 di Surabaya yang
merupakan perlawanan terbesar bangsa Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia.
Cinta tanah air merupakan ungkapan syukur atas
karunia Allah yang telah memberikan segala karunianya. Jika dicermati lebih
dalam, makna kalimat “hubbul wathan” adalah cinta tanah air sebagai
wujud syukur terhadap melimpahnya karunia Tuhan terhadap tanah airnya. Hal ini
juga sesuai dengan Maqasid Asy-Syari'ah diantaranya menjaga agama,
nyawa, harta benda, keturunan dan tanah airnya.
Kesimpulannya adalah bahwa mencintai tanah air
bukan hanya karena tabiat, tetapi juga lahir dari keimanan kita. Karenanya,
jika kita mendaku diri sebagai orang yang beriman, maka mencintai Indonesia
sebagai tanah air yang jelas-jelas penduduknya mayoritas muslim merupakan
keniscayaan. Inilah makna penting pernyataan hubbul wathan minal iman
(Cinta tanah air sebagian dari iman).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas penulis dapat menyimpulkan
sebagai berikut:
1. Cinta
tanah air merupakan rasa kebanggaan, rasa memiliki, rasa menghargai, rasa
menghormati dan loyalitas yang tinggi yang dimiliki oleh setiap individu pada
negara tempat ia tinggal yang dapat tercermin dari perilaku membela tanah
airnya, menjaga dan melindungi tanah airnya, rela berkorban untuk kepentingan
bangsa dan negaranya serta mencintai adat dan budaya yang dimiliki oleh
bangsanya.
2. Cinta
tanah air wujud syukur terhadap melimpahnya karunia Tuhan terhadap tanah
airnya. Hal ini juga sesuai dengan Maqasid Asy-Syari'ah diantaranya
menjaga agama, nyawa, harta benda, keturunan dan tanah airnya. Oleh karena itu,
membela tanah air hukumnya wajib. Hal ini sesuai dengan fatwa KH. Hasyim
Asy’ari serta putusan Majlis Ulama Indonesia (MUI).
B. Saran
Dengan berbagai uraian di atas, tentunya tidak
lepas dari berbagai kekurangan baik dari segi isi materi, teknik penulisan dan
sebagainya, untuk itu sangat diharapkan saran maupun kritikan yang membangun
dalam perbaikan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Depdikbud RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2002.
Jamaluddin, M. Nasionalisme
Islam Nusantara: Nasionalisme Santri. Jakarta: Kompas Media Pustaka, 2015.
Kamilin, A.D. Cinta dalam Pandangan Penghafal Al-Qur’an.
Malang: Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang, 2014.
Kemenag RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Kementerian
Agama RI, 2015.
Nurmantyo, G. Memahami Ancaman, Menyadari Jati Diri sebagai Modal
Membangun Menuju Indonesia Emas. Jakarta: Litbang Tentara Nasional
Indonesia, 2016.
Shihab, Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Quran. Jakarta: Lentera Hati, 2014.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo,
1999.
Alwie, Khoiron Mustafit. https://resistensia.org/religi/dalil-nasionalisme-dalam-al-quran-dan-sunnah,
diakses tanggal 2 Mei 2018
Ramdlan, Mahbub Maafi. http://www.nu.or.id/post/read/70380/ketika-hukum-syariat-islam-bicara-cinta-tanah-air,
diakses tanggal 2 Mei 2018
[1] M. Jamaluddin, Nasionalisme Islam
Nusantara: Nasionalisme Santri, (Jakarta: Kompas Media Pustaka, 2015) hal.
16
[2] A.D. Kamilin, Cinta dalam
Pandangan Penghafal Al-Qur’an, (Malang: Fakultas Pendidikan Psikologi
Universitas Negeri Malang, 2014) hal. 24
[3] Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2002) hal. 778
[4] G.
Nurmantyo, Memahami Ancaman, Menyadari Jati Diri sebagai Modal Membangun
Menuju Indonesia Emas, (Jakarta: Litbang. Tentara Nasional Indonesia, 2016)
hal. 9
[5]
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 1999) hal.
44-45
[6] Kemenag RI, Al-Qur’an dan
Terjemahannya, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2015) hal. 447
[7]
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta:
Lentera Hati, 2014) hal. 445
[8] Mahbub
Maafi Ramdlan, http://www.nu.or.id/post/read/70380/ketika-hukum-syariat-islam-bicara-cinta-tanah-air,
diakses tanggal 2 Mei 2018
[9] Khoiron
Mustafit Alwie, https://resistensia.org/religi/dalil-nasionalisme-dalam-al-quran-dan-sunnah,
diakses tanggal 2 Mei 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar