Kamis, 05 Juli 2018

CINTA TANAH AIR (Mata Kuliah : Masail Fiqhiyyah)


BAB  I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Nasionalisme (cinta tanah air) adalah konsep modern yang muncul pada abad ke-17 bersamaan dengan lahirnya konsep negara bangsa. Di Eropa, nasionalisme muncul sebagai salah satu perwujudan perlawanan terhadap feodalisme (kekuasaan absolut yang dimiliki oleh pemuka agama dan bangsawan). Seiring munculnya negara bangsa, timbullah berbagai pemikiran tentang nasionalisme sebagai basis filosofis terbentuknya negara bangsa tersebut. Suatu bangsa terbentuk karena adanya unsur-unsur dan akar-akar sejarah yang membentuknya.[1] Oleh karena itu, dibutuhkan pemikiran bahwa pengabdian tertinggi seorang manusia untuk bangsa dan negara disebut dengan nasionalisme.
Cinta tanah air merupakan tabiat alami manusia. Karena di tanah air itulah mereka dilahirkan, dibesarkan, dididik dan disayang. Perasaan rindu terhadap tanah air menunjukkan adanya cinta dan hubungan batin antara manusia dan tanah tumpah darahnya. Kecintaan terhadap tanah air akan menimbulkan sikap nasionalisme, yaitu kesadaran dan semangat cinta tanah air. Dalam makalah ini akan dibahas tentang deskripsi dan bagaimana hukum cinta tanah air menurut pandangan Islam.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana deskripsi mengenai cinta tanah air?
2.      Bagaimana hukum cinta tanah air dalam perspektif Islam?


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Deskripsi Cinta Tanah Air
Cinta dapat diartikan ke dalam tiga karakteristik yaitu apresiatif (ta’dzim), penuh perhatian (ihtimaman), dan cinta (mahabbah). Cinta yang dimaksud di sini adalah perasaan kasih, perhatian dan kepedulian yang ditujukan seseorang untuk tanah airnya. Perasaan cinta tersebut dapat membangkitkan dirinya untuk rela mengorbankan jiwa dan raganya dalam mengemban tugas negara dan untuk mempertahankan tanah airnya. Dalam ilmu Psikologi, perasaan cinta sebenarnya mengandung unsur kasih dan sayang terhadap sesuatu. Kemudian di dalam diri seseorang tersebut akan tumbuh kemauan untuk merawat, melindungi dan memeliharanya dari segala ancaman yang timbul.[2]
Ada beberapa istilah yang mempunyai makna tanah air diantaranya yaitu al-Wathan, al-Balad dan al-Dar. Al-Wathan berarti tempat tinggal seseorang, tempat dimana ia bertumbuh dan tempat dimana ia dilahirkan. Al-Balad mempunyai arti tempat yang dibatasi yang dijadikan tempat tinggal oleh sekelompok orang, atau dinamakan dengan tempat yang luas yang ada di bumi ini. Sedangkan al-Dar berarti tempat berkumpulnya bangunan dan halaman, tempat tinggal. Ketiga kata tersebut mempunyai makna yaitu tempat tinggal.
Cinta tanah air adalah perasaan yang timbul dari hati sanubari seorang warga negara untuk mengabdi, memelihara, membela, melindungi tanah airnya dari segala ancaman dan gangguan.[3] Cinta tanah air berarti membela dari segala macam gangguan dan ancaman yang datang dari manapun. Cinta tanah air merupakan rasa kebanggaan, rasa memiliki, rasa menghargai, rasa menghormati dan loyalitas yang tinggi yang dimiliki oleh setiap individu pada negara tempat ia tinggal yang dapat tercermin dari perilaku membela tanah airnya, menjaga dan melindungi tanah airnya, rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negaranya serta mencintai adat dan budaya yang dimiliki oleh bangsanya (Nurmantyo, 2016:9).[4]
Cinta tanah air hendaknya dipahami secara luas dan dimengerti maksud serta tujuannya. Cinta tanah air juga sering dikenal dengan istilah nasionalisme. Secara ringkas nasionalisme merupakan paham kebangsaan yang merupakan kesetiaan tertinggi individu terhadap bangsa dan tanah airnya. Cinta tanah air pada hakikatnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam diri setiap manusia. Sebagaimana pengertian cinta tanah air di bagian sebelumnya, cinta tanah air identik dengan sebutan nasionalisme.
Faktor pembentuk identitas bersama (nasionalisme):[5]
1.   Primordial, yaitu ikatan kekerabatan dan kesamaan suku bangsa, daerah, bahasa, dan adat istiadat untuk membentuk suatu negara atau bangsa. Primor­dial ini tidak hanya menimbulkan pola perilaku yang sama tetapi juga melahirkan persepsi tentang negara yang dicita-citakan.
2.   Sakral, yakni kesamaan agama yang dipeluk oleh suatu masyarakat. Faktor sakral ini ikut menyumbangkan terbentuknya sifat nasionalis dalam diri individu di dalam suatu negara.
3.   Tokoh, kepemimpinan dalam suatu komunitas dapat menjadi salah satu faktor yang membentuk suatu negara atau bangsa. Sebab, pemimpin ini akan menjadi panutan masyarakat sebagai simbol persatuan dan kesatuan untuk membentuk komunitas baru yang lebih besar
4.   Sejarah, persepsi yang sama tentang asal-usul atau pengalaman masa lalu seperti kejayaan dan penderitaan juga dapat membentuk solidaritas yang tinggi. Sejarah juga akan dapat menimbulkan lekad dan tujuan yang kuat dalam suatu masyarakat.
5.   Bhinneka Tunggal lka, prinsip bersatu dalam perbedaan (unity in diversity) dapat menjadi faktor pembentuk identitas bersama. Hal ini dikarenakan kesetiaan masyarakat terhadap suatu bangsa atau negara dipandang perlu meninggalkan unsur perbedaan diantara mereka. Hal ini akan menimbulkan kesetiaan yang ganda dalam diri masyarakat.
6.   Perkembangan Ekonomi, Perkembangan ekonomi (industrialisasi) akan melahirkan spesialisasi pekerjaan yang beraneka ragam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Solidaritas yang ditimbulkan dari situasi ini disebut dengan solidaritas organis.
7.   Kelembagaan, Faktor lain yang menjadi pembentuk solidaritas kebangsaan adalah terbentuknya kelembagaan seperti lembaga-lembaga politik pemerintahan, birokrasi angkatan bersenjata dan berbagai lembaga lainnya yang dapat membantu mewujudkan suasana sejahtera dalam suatu negara.

Pada awalnya, Islam tidak mengenal istilah nasionalisme. Adapun yang dikenal hanya dua konsep teritorial-religious yakni wilayah damai (Darul Islam) dan wilayah perang (Darul Harb). Oleh karena itu, munculnya konsep negara bangsa (nation state) telah melahirkan beberapa ketegangan historis dan konseptual di kalangan Is­lam. Meski demikian, di dalam Islam dikenal dua terminologi yang mendekati konsep negara-bangsa yaitu kata millah dan ummah yang berarti masyarakat atau umat. Akan tetapi istilah tersebut lebih mengacu pada kelompok sosio-religius bukan kepada masyarakat politik.
Nasionalisme di dunia Islam dapat dipelajari dari sejarah negara-negara muslim yang ada di dunia yang bersentuhan secara langsung dengan masyarakat dan negara-negara Eropa. Turki adalah salah satu negara muslim yang menerima secara terbuka konsep nasionalisme sebagaimana yang ada di negara-negara barat. Dinasti Turki Utsmani kala itu menguasai hampir seluruh kawasan Timur Tengah. Negara-negara ini mengakui dan mengagumi beberapa konsep politik Eropa diantaranya di bidang adminitrasi negara dan militernya.

B.  Cinta Tanah Air dalam Perspektif Islam
Al-Qur’an tidak menjelaskan secara pasti tentang pentingnya rasa cinta tanah air (hubbul wathan) tetapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mampu menjawab segala macam pertanyaan tentang pentingnya cinta tanah air. Diantara nilai-nilai tersebut adalah semangat persatuan dan kesatuan (Ukhuwah Islamiyyah) serta tuntunan untuk selalu menghormati dan menghargai sesama manusia.
Dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13 disebutkan tentang konsep cinta tanah air:

Artinya:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)[6]

Ayat di atas dapat dimaknai sebagai salah satu wujud penisbatan manusia terhadap tanah kelahirannya atau tanah air. Itu artinya mereka telah memiliki rasa cinta terhadap tanah tumpah darahnya sejak lahir dan hal itu merupakan bentuk kodrati.[7]
Pada dasarnya setiap manusia itu memiliki kecintaan kepada tanah airnya sehingga ia merasa nyaman menetap di dalamnya, selalu merindukannya ketika jauh darinya, mempertahankannya ketika diserang dan akan marah ketika tanah airnya dicela. Dengan demikian mencintai tanah air adalah sudah menjadi tabiat dasar manusia.
Rasulullah SAW sendiri pernah mengekspresikan kecintaannya kepada Mekah sebagai tempat kelahirannya. Hal ini bisa kita lihat dalam penuturan Ibnu Abbas RA yang diriwayatkan dari Ibnu Hibban berikut ini:[8]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلْدَةٍ وَأَحَبَّكِ إِلَيَّ، وَلَوْلَا أَنَّ قَوْمِي أَخْرَجُونِي مِنْكِ، مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ
Artinya:
“Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Alangkah baiknya engkau sebagai sebuah negeri, dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku dari engkau, niscaya aku tidak tinggal di negeri selainmu.” (HR Ibnu Hibban).

Di samping Mekah, Madinah juga merupakan tanah air Rasulullah SAW. Di situlah beliau menetap serta mengembangkan dakwah Islamnya setelah terusir dari Mekah. Di Madinah Rasulullah SAW berhasil dengan baik membentuk komunitas Madinah dengan ditandai lahirnya watsiqah madinah atau yang biasa disebut oleh kita dengan nama Piagam Madinah.
Kecintaan Rasulullah SAW terhadap Madinah juga tak terelakkan. Karenanya, ketika pulang dari bepergian, Beliau memandangi dinding Madinah kemudian memacu kendarannya dengan cepat. Hal ini dilakukan karena kecintaannya kepada Madinah.[9]
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَنَظَرَ إِلَى جُدْرَانِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ رَاحِلَتَهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا
Artinya:
“Dari Anas RA bahwa Nabi SAW apabila kembali dari berpergian, beliau melihat dinding kota Madinah, maka lantas mempercepat untanya. Jika di atas atas kendaraan lain maka beliau menggerak-gerakannya (agar lebih cepat) karena kecintaanya kepada Madinah.” (HR Bukhari).

Apa yang dilakukan Rasulullah SAW ketika kembali dari bepergian, yaitu memandangi dinding Madinah dan memacu kendaraannya agar cepat sampai di Madinah sebagaimana dituturkan dalam riwayat Anas RA di atas, menurut keterangan dalam kitab Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani menunjukkan atas keutamaan Madinah disyariatkannya cinta tanah air.
Dalam kitab Ar-Risalah karya Hadratussyeckh Hasyim Asy'ari menerang-kan bahwa membela negara yang sedang mengalami penjajahan adalah hal yang wajib. Dari pendapat inilah kemudian dikenal istilah Hubbul Wathan Minal Iman yang dipopulerkan oleh KH. Wahab Hasbullah.
Para ulama' Indonesia mengeluarkan pendapat tentang cinta tanah air bagi seluruh warga negara. Dalam putusan Majelis Ulama' Indonesia (MUI), membela tanah air adalah wajib. Ungkapan yang paling populer di kalangan bangsa Indonesia adalah pendapat ulama' yang mengung­kapkan kalimat: cinta tanah air adalah bagian dari iman. Ijtihad ulama' tersebut tidak terlepas dari fatwa resolusi jihad NU yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy'ari pada tahun 1945. Makna resolusi jihad tersebut berarti kewajiban setiap umat Is­lam untuk berjuang membela negara dan bangsa Indonesia dalam menghadapi penjajahan Belanda dan Jepang. Resolusi jihad tersebut menjadi salah satu penyulut semangat rakyat Indonesia dalam perang 10 Nopember 1945 di Surabaya yang merupakan perlawanan terbesar bangsa Indone­sia setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Cinta tanah air merupakan ungkapan syukur atas karunia Allah yang telah memberikan segala karunianya. Jika dicermati lebih dalam, makna kalimat “hubbul wathan” adalah cinta tanah air sebagai wujud syukur terhadap melimpahnya karunia Tuhan terhadap tanah airnya. Hal ini juga sesuai dengan Maqasid Asy-Syari'ah diantaranya menjaga agama, nyawa, harta benda, keturunan dan tanah airnya.
Kesimpulannya adalah bahwa mencintai tanah air bukan hanya karena tabiat, tetapi juga lahir dari keimanan kita. Karenanya, jika kita mendaku diri sebagai orang yang beriman, maka mencintai Indonesia sebagai tanah air yang jelas-jelas penduduknya mayoritas muslim merupakan keniscayaan. Inilah makna penting pernyataan hubbul wathan minal iman (Cinta tanah air sebagian dari iman).



BAB  III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dari pembahasan di atas penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1.   Cinta tanah air merupakan rasa kebanggaan, rasa memiliki, rasa menghargai, rasa menghormati dan loyalitas yang tinggi yang dimiliki oleh setiap individu pada negara tempat ia tinggal yang dapat tercermin dari perilaku membela tanah airnya, menjaga dan melindungi tanah airnya, rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negaranya serta mencintai adat dan budaya yang dimiliki oleh bangsanya.
2.   Cinta tanah air wujud syukur terhadap melimpahnya karunia Tuhan terhadap tanah airnya. Hal ini juga sesuai dengan Maqasid Asy-Syari'ah diantaranya menjaga agama, nyawa, harta benda, keturunan dan tanah airnya. Oleh karena itu, membela tanah air hukumnya wajib. Hal ini sesuai dengan fatwa KH. Hasyim Asy’ari serta putusan Majlis Ulama Indonesia (MUI).

B.  Saran
Dengan berbagai uraian di atas, tentunya tidak lepas dari berbagai kekurangan baik dari segi isi materi, teknik penulisan dan sebagainya, untuk itu sangat diharapkan saran maupun kritikan yang membangun dalam perbaikan makalah selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Depdikbud RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2002.
Jamaluddin, M. Nasionalisme Islam Nusantara: Nasionalisme Santri. Jakarta: Kompas Media Pustaka, 2015.
Kamilin, A.D. Cinta dalam Pandangan Penghafal Al-Qur’an. Malang: Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang, 2014.
Kemenag RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Kementerian Agama RI, 2015.
Nurmantyo, G. Memahami Ancaman, Menyadari Jati Diri sebagai Modal Membangun Menuju Indonesia Emas. Jakarta: Litbang Tentara Nasional Indonesia, 2016.
Shihab, Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran. Jakarta: Lentera Hati, 2014.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo, 1999.
Alwie, Khoiron Mustafit. https://resistensia.org/religi/dalil-nasionalisme-dalam-al-quran-dan-sunnah, diakses tanggal 2 Mei 2018
Ramdlan, Mahbub Maafi. http://www.nu.or.id/post/read/70380/ketika-hukum-syariat-islam-bicara-cinta-tanah-air, diakses tanggal 2 Mei 2018


[1] M. Jamaluddin, Nasionalisme Islam Nusantara: Nasionalisme Santri, (Jakarta: Kompas Media Pustaka, 2015) hal. 16
[2] A.D. Kamilin, Cinta dalam Pandangan Penghafal Al-Qur’an, (Malang: Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang, 2014) hal. 24
[3] Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2002) hal. 778
[4] G. Nurmantyo, Memahami Ancaman, Menyadari Jati Diri sebagai Modal Membangun Menuju Indonesia Emas, (Jakarta: Litbang. Tentara Nasional Indonesia, 2016) hal. 9
[5] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 1999) hal. 44-45
[6] Kemenag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2015) hal. 447
[7] Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2014) hal. 445
[8] Mahbub Maafi Ramdlan, http://www.nu.or.id/post/read/70380/ketika-hukum-syariat-islam-bicara-cinta-tanah-air, diakses tanggal 2 Mei 2018
[9] Khoiron Mustafit Alwie, https://resistensia.org/religi/dalil-nasionalisme-dalam-al-quran-dan-sunnah, diakses tanggal 2 Mei 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer :