BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Sebagai orang
Islam tentunya kita sudah mengetahui, bahwa salah satu kewajiban seorang
muslim adalah melaksanakan shalat lima waktu. Rukun Islam yang kedua ini
sebagai bentuk penghambaan kepada Sang Pencipta yakni Allah SWT, yang telah
menciptakaan bumi, langit beserta isinya. Sebagai seorang muslim sudah
sepatutnya kita untuk senantiasa mematuhi segala perintahnya dan larangannya
karena dengan demikian kita akan menjadi manusia yang akan mendapatkan kebaikan
baik di dunia maupun di akhirat.
Shalat merupakan
ibadah yang sangat penting bagi seorang muslim karena shalat merupakan induk
amal, apabila shalat kita baik maka amal yang lain juga Insya Allah akan baik
tetapi sebaliknya apabila shalat kita kurang baik maka amal yang lain pun akan
mengikutinya karena shalat adalah tiang agama. Kalau tiangnya runtuh maka
runtuhlah agama seseorang. Oleh karenanya seorang muslim hendaknya terus
memperbaiki shalatnya, karena dengan shalat kita baik maka kita akan senantiasa
terjaga agama kita dan kita terjaga dari perbuatan-perbuatan buruk.
Shalat, baik
shalat wajib ataupun shalat sunnah, keduanya memiliki syarat dan rukun tertentu
yang harus dipenuhi serta terdapat hal-hal yang dapat membatalkannya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian
shalat?
2. Bagaimana syarat-syarat shalat?
3. Bagaimana rukun-rukun shalat?
4. Hal-hal apa saja yang dapat
membatalkan shalat?
5. Apa saja macam-macam
shalat?
6. Bagaimana hikmah
shalat?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui
pengertian shalat
2. Untuk mengetahui syarat-syarat shalat
3. Untuk mengetahui rukun-rukun shalat
4. Untuk mengetahui Hal-hal yang dapat membatalkan shalat
5. Untuk mengetahui
macam-macam shalat
6. Untuk mengetahui
hikmah shalat
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Shalat
Secara bahasa shalat berarti do’a.
Sedangkan menurut istilah para ahli fiqih,
shalat berarti :
أَقْوَالٌ وَأَفْعَالٌ مَخْصُوْصَةٌ
مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيْرِ مُخْتَتَمَةٌ بِالتِّسْلِيْمِ
“Beberapa ucapan dan perbuatan tertentu, yang
diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.”[1]
Dalam pengertian lain, Shalat ialah
salah satu sarana komunikasi antara hamba dengan Tuhannya sebagai bentuk ibadah
yang didalamnya merupakan amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan
perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, serta sesuai
dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’.[2]
Dari pengertian di atas penulis dapat
menyimpulkan bahwa Shalat adalah suatu ibadah kepada Allah, berupa perkataan
dengan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut
syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’ berupa penyerahan diri secara
lahir batin kepada Allah dalam rangka ibadah dan memohon ridho-Nya.
B. Syarat-syarat
Shalat
Syarat-syarat shalat yaitu hal-hal yang harus
dipenuhi dahulu sebelum shalat dan tetap terpenuhi selama shalat.[3]
Para ulama membagi syarat shalat menjadi dua
macam, pertama syarat wajib, dan yang kedua syarat sah. Syarat
wajib adalah syarat yang menyebabkan seseorang wajib melaksanakan shalat.
Sedangkan syarat sah adalah syarat yang menjadikan shalat seseorang diterima
secara syara’ disamping adanya kriteria lain seperti rukun.
1. Syarat Wajib Shalat
a. Islam. Shalat diwajibkan terhadap
orang muslim, baik laki-laki maupun perempuan, dan tidak diwajibkan bagi orang
kafir atau non muslim. Orang kafir tidak dituntut untuk melaksanakan shalat,
namun mereka tetap menerima hukuman di akhirat. Walaupun demikian orang kafir
apabila masuk Islam tidak diwajibkan membayar shalat yang ditinggalkannya
selama kafir, demikian menurut kesepakatannya para ulama.
b. Baligh. anak-anak kecil
tidak dikenakan kewajiban shalat berdasarkan sabda Nabi SAW, yang artinya:
Dari Ali r.a. bahwa Nabi SAW berkata: Diangkatkan pena (tidak
ditulis dosa) dalam tiga perkara: Orang gila yang akalnya tidak berperan sampai
ia sembuh, orang tidur sampai ia bangun dan dari anak-anak sampai dia baligh. (HR Ahmad, Abu
Daud dan Al-Hakim).
c. Berakal. Orang gila,
orang kurang akal (ma’tuh) dan sejenisnya seperti penyakit ayan
yang sedang kambuh tidak diwajibkan shalat, karena akal merupakan prinsip dalam
menetapkan kewajiban (taklif), demikian menurut pendapat jumhur ulama
alasannya adalah hadits yang diterima dari Ali r.a. yang artinya:
“dan dari orang gila yang tidak berperan akalnya sampai dia
sembuh”
Namun demikian menurut Syafi’iyah disunatkan meng-qadha-nya apabila sudah senbuh. Akan tetapi golongan
Hanabilah berpendapat, bagi orang yang tertutup akalnya karena sakit atau sawan
(ayan) wajib meng-qadha shalatnya. Hal ini diqiyaskan kepada puasa, Karena
puasa tidak gugur disebabkan penyakit tersebut.[4]
2. Syarat Sah Shalat
Adapun syarat-syarat sah shalat adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui masuk waktu shalat. Shalat tidak sah apabila
seseorang yang melaksanakannya tidak mengetahui secara pasti atau dengan
persangkaan yang berat bahwa waktu telah masuk, sekalipun ternyata dia shalat
dalam waktunya. Demikian juga dengan orang yang ragu, shalatnya tidak sah.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya
shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
(QS. An-Nisa: 103)
b. Suci dari hadas
kecil dan hadas besar. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW:
“Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi SAW bersabda: Allah tidak
menerima shalat seorang dari kamu apabila berhadas hingga dia bersuci. (HR. Bukhari dan
Muslim).
c. Suci badan,
pakaian dan tempat dari najis. Untuk keabsahan shalat disyariatkan suci
badan, pakaian dan tempat dari najis yang tidak dimaafkan, demikian menurut
pendapat jumhur ulama.
d. Menutup aurat. Allah SWt
berfirman:
“Hai anak Adam,
pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid.” (QS. Al-A’raf: 31).
e. Menghadap kiblat. Allah SWT
berfirman:
“Dan dari mana saja
kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan di mana
saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya…” (QS. Al-Baqarah:
150)
Menghadap kiblat dikecualikan bagi orang yang melaksanakan shalat Al-khauf dan
sholat sunnah di atas kendaraan bagi orang musafir dalam perjalanan. Golongan
Malikiyah mengaitkan dengan situasi aman dari musuh, binatang buas dan ada
kesanggupan. Oleh karena, itu tidak wajib menghadap kiblat apabila ketakutan
atau tidak sanggup (lemah) bagi orang sakit.
C. Rukun-rukun Shalat
Rukun Shalat adalah setiap perkataan atau perbuatan yang akan membentuk
hakikat shalat. Jika salah satu rukun ini tidak ada, maka shalat pun tidak
dianggap secara syar’i dan juga tidak bisa diganti dengan sujud sahwi.[5]
Rukun shalat disebut juga fardhu shalat.
Dalam kitab Fathul Mu’in karya Syeikh
Zanuddin Abdul Aziz Al-Malibary rukun-rukun shalat ada 14,[6]
yaitu :
1.
Niat
Yaitu kesengajaan melakukan shalat.
2. Takbiratul Ihram
Yaitu membaca اَللهُ أَكْبَرُ
. Takbiratul ihram
dilakukan harus bersamaan dengan niat shalat.
3. Berdiri bagi yang mampu
Rukun berdiri bagi
yang mampu berdiri ini hanya terdapat pada shalat fardhu. Sedangkan pada shalat
sunnah tidak diwajibkan berdiri.
4. Membaca Surat Al-Fatihah
Menurut ulama’ Syafi’iyyah, membaca Al-Fatihah hukumnya wajib di tiap-tiap
rakaat dan membaca Basmallah juga demikian karena Basmallah bagian dari
Al-Fatihah, hal ini di lakukan baik shalat wajib maupun shalat sunnah.
5. Ruku’
Yaitu membungkukkan
badan sehingga dua telapak tangan dapat mencapai lutut. Berarti tidak cukup
meletakkan pucuk jari pada lutut.
6. I’tidal
I’tidal berarti bangun
dari ruku’, yaitu kembali dalam posisi badan sebelum ruku’.
7. Sujud dua kali untuk tiap-tiap rakaat
8. Duduk diantara dua sujud
9. Tuma’ninah pada setiap ruku’,
i'tidal, sujud, dan duduk di antara dua sujud
Tuma’ninah adalah tenang sejenak setelah semua anggota
badan berada pada posisi sempurna ketika melakukan suatu gerakan rukun shalat
dengan seukuran lamanya membaca Subhanallah. Tumakninah ketika rukuk
berarti tenang sejenak setelah rukuk sempurna. Tuma’ninah ketika sujud berarti
tenang sejenak setelah sujud sempurna, dst.
Tuma’ninah
dalam setiap gerakan rukun shalat merupakan bagian penting dalam shalat yang
wajib dilakukan. Jika tidak tuma’ninah maka shalatnya tidak sah.
10. Tasyahhud Akhir
11. Membaca shalawat Nabi
12. Duduk untuk tasyahhud, shalawat,
dan salam
13. Mengucapkan salam pertama
14. Tertib
Diwajibkan seluruh rukun-rukun di dalam shalat dilaksanakan dengan tertib
sesuai dengan urutannya.
D. Hal-hal yang Dapat Membatalkan
Shalat
Adapun hal-hal yang dapat
membatalkan shalat sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Fathul Mu’in,
antara lain:
1. Niat memutuskan
shalat atau menggantungkan terputuskannya shalat kepada terjadinya sesuatu. Misal:
niat keluar dari shalat padahal shalat belum selesai, atau niat akan
membatalkan shalat jika tiba-tiba hujan, dan semacamnya.
2. Merasa ragu bahwa
shalatnya telah terputus/batal.
3. Bergerak tiga kali
atau lebih secara sambung menyambung selain jenis gerakan shalat, kecuali pada
shalat khauf atau shalat sunnah dalam perjalanan.
4. Berbicara dengan
sengaja.
5. Masuknya makanan ataupun minuman kedalam rongga mulut.
6. Menambah rukun dengan sengaja.
7. Meyakini atau mengira
terhadap fardhu/rukun shalat sebagai sunnah, karena mempermainkan hukum.
8. Berhadas
9. Terkena najis yang
tidak dima’fu, kecuali jika dibuang seketika.
10. Terbuka auratnya,
kecuali jika segera ditutup kembali.
E. Macam-macam Shalat
Dilihat dari hukum melaksanakannya,
pada garis besarnya shalat dibagi menjadi dua, yaitu shalat fardu dan shalat
sunnah. Selanjutnya shalat fardu juga dibagi menjadi dua, yaitu fardu
ain dan fardu kifayah. Demikian pula shalat sunah, juga dibagi
menjadi dua, yaitu sunnah muakkad dan ghoiru muakkad.
1. Shalat
fardu
Shalat fardu adalah shalat yang hukumnya wajib, dan apabila dikerjakan
mendapatkan pahala, kalau ditinggal mendapatkan dosa.
Ø Shalat fardu Ain adalah shalat yang wajib dilakukan
setiap manusia. Contoh: shalat maktubah (shalat lima waktu), dan shalat Jum’at
(khusus bagi laki-laki yang telah memenuhi syarat-syarat shalat Jum’at).
Ø Shalat fardu
kifayah
adalah shalat yang diwajibkan pada sekelompok muslim, dan apabila salah satu
dari mereka sudah ada yang mengerjakan maka gugurlah kewajiban dari kelompok tersebut.
Contoh:
shalat jenazah
Ø Shalat fardu
karena nadzar
adalah shalat yang diwajibkan kepada orang yang berjanji kepada Allah SWT sebagai
bentuk rasa syukur kepada Allah atas segala nikmat yang telah diterimanya.
Contoh:
Ahmad akan melasanakan ujian, dia bilang kepada dirinya dan teman-temannya, “nanti ketika saya sukses mengerjakan ujian
dan lulus saya akan melakukan sholat 50 rokaat.” Ketika pengumuman dia
lulus maka Ahmad wajib melaksanakan nadzar tersebut.
2. Shalat
Sunnah
Shalat sunnah adalah shalat yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala
dan apabila tidak dikerjakan tidak mendapatkan dosa. Nama lain dari shalat sunnah antara lain: shalat nawafil, tathawwu’,
mustahab, dan mandub.[8] Shalat sunnah ada dua macam, yaitu:
a. Shalat sunnah yang pelaksanaannya tidak disunnahkan berjamaah
1) Shalat sunnah rowatib
2) Shalat Witir
3) Shalat Dluha
4) Shalat Tahiyyatul Masjid
5) Shalat Istikharah
6) Shalat sunnah ihram dan thawaf
7) Shalat sunnah wudhu
8) Shalat Awwabin
9) Shalat tasbih.[9]
b. Shalat sunnah yang pelaksanaannya disunnahkan berjamaah
1) Shalat Idul Fitri dan Idul Adha
2) Shalat gerhana
3) Shalat istisqo’
4) Shalat tarawih
5) Shalat tahajjud.[10]
F. Hikmah Shalat
1. Tinjauan
dari segi moral
a. Shalat merupakan
benteng hidup kita agar jangan sampai terjerumus ke dalam perbuatan keji dan
munkar. Hal ini tampak jelas dalam firman Allah SWT :
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan
munkar”. (QS. Al Ankabut 45)
b. Shalat yang
khusu’ mewujudkan suatu ibadah yang benar-benar ikhlas, pasrah terhadap zat
Yang Maha Suci dan Maha Mulia. Di dalam shalat tersebut kita meminta segala
sesuatu dari-Nya, memohon petunjuk untuk mendapatkan jalan yang lurus, mendapat
limpahan rahmat, rizki, barokah dan pahala dari-Nya. Oleh karena itu, orang
yang shalatnya khusu’ dan ikhlas karena Allah SWT akan selalu merasa dekat
kepada-Nya dan tidak akan menghambakan diri, tidak akan menjadikan panutan
selain daripada Allah SWT. Dengan kata lain segala sesuatu yang dilakukan
hanyalah karena Allah dan hanya untuk mendapatkan ridlo’ dari Allah. Maka
pantaslah jika Allah berfirman:
"Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusu’ dalam shalatnya”. (QS. Al Mu’minuun 1-2)
c. shalat
membersihkan jiwa dari sifat-sifat yang buruk, khususnya cara-cara hidup yang
materialis yang menjadikan urusan duniawi lebih penting dari segala-galanya
termasuk ibadah kepada Allah. Kebersihan dan kesucian jiwa ini digambarkan
dalam sebuah hadits :
"Jikalau di pintu seseorang diantara kamu ada sebuah sungai dimana
ia mandi lima kali, maka apakah akan tinggal lagi kotorannya (yang melekat pada
tubuhnya) ? Bersabda Rasulullah saw : ‘Yang demikian itu serupa dengan shalat
lima waktu yang (mana) Allah dengannya (shalat itu) dihapuskan semua kesalahan’."(HR. Abu Daud)
d. Di dalam salah
satu firman-Nya Allah juga menegaskan nilai positif dari shalat :
"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi
tenteram". (QS. Ar Ra’d:
28)
e. Shalat membina
rasa persatuan dan persaudaraan antara sesama umat Islam. Hal ini dapat kita
lihat antara lain, apabila seseorang shalat tidak dalam keadaan yang khusus
pasti selalu menghadap kiblat yaitu Ka’bah di Masjidil Haram Mekah. Umat Islam
di seluruh dunia mempunyai satu pusat titik konsentrasi dalam beribadah dan
menyembah kepada Khaliq-nya yaitu Ka’bah, hal ini akan membawa dampak secara
psikologis yaitu persatuan, kesatuan, dan kebersamaan umat. Contoh lain adalah
pada shalat berjamaah, shalat berjamaah juga mengandung hikmah kebersamaan,
persatuan, persaudaraan dan kepemimpinan dimana pada setiap gerakan shalat
ma’mum mempunyai kewajiban mengikuti gerakan imam, sedangkan imam melakukan
kesalahan, maka ma’mum wajib mengingatkan. Sehingga pada shalat berjamaah
keabsahan maupun kebenaran dalam shalat lebih terjamin, dan diantara jama’ah
akan timbul rasa kebersamaan dan persatuan untuk menyelamatkan jama’ah mereka.
2. Tinjauan
dari segi fisik (kesehatan)
Shalat disamping mengandung hikmah secara moral seperti
diuraikan diatas, juga mengandung hikmah secara fisik terutama yang menyangkut
masalah kesehatan.
Hikmah shalat menurut tinjauan kesehatan ini dijelaskan
oleh dr. A. Saboe yang mengemukakan pendapat ahli-ahli (sarjana) kedokteran
yang termasyhur terutama di barat. Mereka berpendapat sebagai berikut :
a. Bersedekap,
meletakkan telapak tangan kanan diatas pergelangan tangan kiri merupakan
istirahat yang paling sempurna bagi kedua tangan sebab sendi-sendi, otot-otot
kedua tangan berada dalam posisi istirahat penuh. Sikap seperti ini akan
memudahkan aliran darah mengalir kembali ke jantung, serta memproduksi getah
bening dan air jaringan dari kedua persendian tangan akan menjadi lebih baik
sehingga gerakan di dalam persendian akan menjadi lebih lancar. Hal ini akan
menghindari timbulnya bermacam-macam penyakit persendian seperti rheumatik.
Sebagai contoh, orang yang mengalami patah tangan, terkilir maka tangan/lengan
penderita tersebut oleh dokter akan dilipatkan diatas dada ataupun perut dengan
mempergunakan mitella yang disangkutkan di leher.
b. Ruku’,
yaitu membungkukkan badan dan meletakkan telapak tangan di atas lutut sehingga
punggung sejajar merupakan suatu garis lurus. Sikap yang demikian ini akan
mencegah timbulnya penyakit yang berhubungan dengan ruas tulang belakang, ruas
tulang punggung, ruas tulang leher, ruas tulang pinggang, dsb.
c. Sujud,
sikap ini menyebabkan semua otot-otot bagian atas akan bergerak. Hal ini bukan
saja menyebabkan otot-otot menjadi besar dan kuat, tetapi peredaran urat-urat
darah sebagai pembuluh nadi dan pembuluh darah serta limpa akan menjadi lancar
di tubuh kita. Dengan sikap sujud ini maka dinding dari urat-urat nadi yang
berada di otak dapat dilatih dengan membiasakan untuk menerima aliran darah
yang lebih banyak dari biasanya, karena otak (kepala) kita pada waktu itu
terletak di bawah.
d. Duduk Iftirasy
(duduk antara dua sujud & tahiyat awal), posisi duduk seperti ini
menyebabkan tumit menekan otot-otot pangkal paha, hal ini mengakibatkan pangkal
paha terpijit. Pijitan tersebut dapat menghindarkan atau menyembuhkan penyakit
saraf pangkal paha (neuralgia) yang menyebabkan tidak dapat berjalan. Disamping
itu urat nadi dan pembuluh darah balik di sekitar pangkal paha dapat terurut
dan terpijit sehingga aliran darah terutama yang mengalir kembali ke jantung
dapat mengalir dengan lancar. Hal ini dapat menghindarkan dari pengakit
bawasir.
e. Duduk tawarruk
(tahiyat akhir), duduk seperti ini dapat menghindarkan penyakit bawasir yang
sering dialami wanita yang hamil.
f. Salam,
diakhiri dengan menoleh ke kanan dan ke kiri. Hal ini sangat berguna untuk
memperkuat otot-otot leher dan kuduk, selain itu dapat pula untuk menghindarkan
penyakit kepala dan kuduk kaku.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Shalat menurut bahasa berarti doa. Sedangkan menurut istilah berarti suatu ibadah kepada Allah, berupa perkataan dengan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’ berupa penyerahan diri secara lahir batin kepada Allah dalam rangka ibadah dan memohon ridho-Nya.
- Syarat-syarat shalat yaitu: Islam, baligh, berakal, mengetahui masuk waktu shalat, suci dari hadas besar dan kecil, suci dari najis.
- Rukun-rukun shalat yaitu: niat; takbiratul ihram; berdiri bagi yang mampu; membaca Surat Al-Fatihah; ruku’; i’tidal; sujud dua kali untuk tiap-tiap rakaat; duduk diantara dua sujud; tuma’ninah pada setiap ruku’; i'tidal; sujud; dan duduk di antara dua sujud; tasyahhud akhir; membaca shalawat Nabi; duduk untuk tasyahhud, shalawat, dan salam; mengucapkan salam pertama; tertib.
- Hal-hal yang dapat membatalkan shalat yaitu:
a. Niat memutuskan
shalat atau menggantungkan terputuskannya shalat kepada terjadinya sesuatu.
b. Merasa ragu bahwa
shalatnya telah terputus/batal.
c. Bergerak tiga kali
atau lebih secara sambung menyambung selain jenis gerakan shalat.
d. Berbicara dengan
sengaja.
e. Masuknya makanan ataupun minuman kedalam rongga mulut.
f. Menambah rukun dengan sengaja.
g. Meyakini atau mengira
terhadap fardhu/rukun shalat sebagai sunnah, karena mempermainkan hukum.
h. Berhadas
i.
Terkena najis yang tidak dima’fu, kecuali jika dibuang
seketika.
j.
Terbuka auratnya, kecuali jika segera ditutup kembali.
k. Sengaja meninggalkan
rukun.
l.
Bimbang dalam
memutuskan shalat tapi terus melakukannya.
- Macam-macam shalat ada shalat fardu dan shalat sunnah.
- Hikmah shalat dapat dilihat dari segi moral maupun dari segi medis.
B. Saran
Dengan segala
keterbatasan dan kekurangan penulis, demikianlah makalah ini kami buat. Oleh
karena itu, sudah pasti makalah ini memerlukan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca yang budiman demi lebih baiknya makalah kami selanjutnya. Selamat
membaca dan semoga bermanfaat. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
As’ad, H. Aliy. 1980. Terjemah
Fathul Mu’in Jilid I. Kudus: Menara Kudus.
Assayuthi, Imam Bashori. 1998. Bimbingan
Ibadah Shalat Lengkap. Jakarta: Mitra Umat.
Ritoga, A. Rahman, Zainuddin.
2002. Fiqh Ibadah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
https://id.wikipedia.org/wiki/Rukun_salat. diakses tanggal 15-03-2016 pukul 20.30 wib.
http://f-adikusumo.staff.ugm.ac.id/artikel/hikmah2.html. diakses tanggal 15-03-2016 pukul 20.30 wib.
[1] H. Aliy As’ad, Terjemah Fathul Mu’in Jilid I, (Kudus: Menara
Kudus, 1980), Hlm. 9
[2] Imam Bashori Assayuthi, Bimbingan Ibadah Shalat Lengkap,
(Jakarta: Mitra Umat, 1998), hlm. 30
[3] H. Aliy As’ad, Terjemah Fathul Mu’in Jilid I, (Kudus: Menara
Kudus, 1980) Hlm. 17
[4] Dr. A. Rahman Ritoga, M.A. Dr. Zainuddin,
M.A, Fiqh Ibadah, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2002), hlm. 94-96
[5] https://id.wikipedia.org/wiki/Rukun_salat. diakses tanggal
15-03-2016 pukul 20.30 wib.
[6] H. Aliy As’ad, Terjemah Fathul Mu’in Jilid I, (Kudus: Menara
Kudus, 1980), Hlm. 111
[7] H. Aliy As’ad, Terjemah Fathul Mu’in Jilid I, (Kudus: Menara
Kudus, 1980), Hlm. 201-215
[9] Ibid, 234-249
[10] Ibid, 251-255
[11] http://f-adikusumo.staff.ugm.ac.id/artikel/hikmah2.html.
diakses tanggal 15-03-2016 pukul 20.30 wib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar