Senin, 02 Juli 2018

KITAB ASH-SHOLAH (SYARAT, RUKUN, PERKARA YANG MEMBATALKAN, DAN MACAM-MACAM SHOLAT, SERTA HIKMAHNYA)


BAB  I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Sebagai orang Islam tentunya kita sudah mengetahui, bahwa salah satu kewajiban seorang muslim adalah melaksanakan shalat lima waktu. Rukun Islam yang kedua ini sebagai bentuk penghambaan kepada Sang Pencipta yakni Allah SWT, yang telah menciptakaan bumi, langit beserta isinya. Sebagai seorang muslim sudah sepatutnya kita untuk senantiasa mematuhi segala perintahnya dan larangannya karena dengan demikian kita akan menjadi manusia yang akan mendapatkan kebaikan baik di dunia maupun di akhirat.
Shalat merupakan ibadah yang sangat penting bagi seorang muslim karena shalat merupakan induk amal, apabila shalat kita baik maka amal yang lain juga Insya Allah akan baik tetapi sebaliknya apabila shalat kita kurang baik maka amal yang lain pun akan mengikutinya karena shalat adalah tiang agama. Kalau tiangnya runtuh maka runtuhlah agama seseorang. Oleh karenanya seorang muslim hendaknya terus memperbaiki shalatnya, karena dengan shalat kita baik maka kita akan senantiasa terjaga agama kita dan kita terjaga dari perbuatan-perbuatan buruk.
Shalat, baik shalat wajib ataupun shalat sunnah, keduanya memiliki syarat dan rukun tertentu yang harus dipenuhi serta terdapat hal-hal yang dapat membatalkannya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian shalat?
2.      Bagaimana syarat-syarat shalat?
3.      Bagaimana rukun-rukun shalat?
4.      Hal-hal apa saja yang dapat membatalkan shalat?
5.      Apa saja macam-macam shalat?
6.      Bagaimana hikmah shalat?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian shalat
2.      Untuk mengetahui syarat-syarat shalat
3.      Untuk mengetahui rukun-rukun shalat
4.      Untuk mengetahui Hal-hal yang dapat membatalkan shalat
5.      Untuk mengetahui macam-macam shalat
6.      Untuk mengetahui hikmah shalat



BAB  II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Shalat
Secara bahasa shalat berarti do’a. Sedangkan menurut istilah para ahli fiqih,  shalat berarti :
أَقْوَالٌ وَأَفْعَالٌ مَخْصُوْصَةٌ مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيْرِ مُخْتَتَمَةٌ بِالتِّسْلِيْمِ
Beberapa ucapan dan perbuatan tertentu, yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.”[1]

Dalam pengertian lain, Shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara hamba dengan Tuhannya sebagai bentuk ibadah yang didalamnya merupakan amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’.[2]
Dari pengertian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa Shalat adalah suatu ibadah kepada Allah, berupa perkataan dengan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’ berupa penyerahan diri secara lahir batin kepada Allah dalam rangka ibadah dan memohon ridho-Nya.

B.     Syarat-syarat Shalat
Syarat-syarat shalat yaitu hal-hal yang harus dipenuhi dahulu sebelum shalat dan tetap terpenuhi selama shalat.[3]
Para ulama membagi syarat shalat menjadi dua macam, pertama syarat wajib, dan yang kedua syarat sah. Syarat wajib adalah syarat yang menyebabkan seseorang wajib melaksanakan shalat. Sedangkan syarat sah adalah syarat yang menjadikan shalat seseorang diterima secara syara’ disamping adanya kriteria lain seperti rukun.
1.      Syarat Wajib Shalat
a.   Islam. Shalat diwajibkan terhadap orang muslim, baik laki-laki maupun perempuan, dan tidak diwajibkan bagi orang kafir atau non muslim. Orang kafir tidak dituntut untuk melaksanakan shalat, namun mereka tetap menerima hukuman di akhirat. Walaupun demikian orang kafir apabila masuk Islam tidak diwajibkan membayar shalat yang ditinggalkannya selama kafir, demikian menurut kesepakatannya para ulama.
b.   Baligh. anak-anak kecil tidak dikenakan kewajiban shalat berdasarkan sabda Nabi SAW, yang artinya:
Dari Ali r.a. bahwa Nabi SAW berkata: Diangkatkan pena (tidak ditulis dosa) dalam tiga perkara: Orang gila yang akalnya tidak berperan sampai ia sembuh, orang tidur sampai ia bangun dan dari anak-anak sampai dia baligh. (HR Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim).

c.   Berakal. Orang gila, orang kurang akal (ma’tuh) dan sejenisnya seperti penyakit ayan yang sedang kambuh tidak diwajibkan shalat, karena akal merupakan prinsip dalam menetapkan kewajiban (taklif), demikian menurut pendapat jumhur ulama alasannya adalah hadits yang diterima dari Ali r.a. yang artinya:
“dan dari orang gila yang tidak berperan akalnya sampai dia sembuh”

Namun demikian menurut Syafi’iyah disunatkan meng-qadha-nya  apabila sudah senbuh. Akan tetapi golongan Hanabilah berpendapat, bagi orang yang tertutup akalnya karena sakit atau sawan (ayan) wajib meng-qadha shalatnya. Hal ini diqiyaskan kepada puasa, Karena puasa tidak gugur disebabkan penyakit tersebut.[4]

2.      Syarat Sah Shalat
Adapun syarat-syarat sah shalat adalah sebagai berikut:
a.       Mengetahui masuk waktu shalat. Shalat tidak sah apabila seseorang yang melaksanakannya tidak mengetahui secara pasti atau dengan persangkaan yang berat bahwa waktu telah masuk, sekalipun ternyata dia shalat dalam waktunya. Demikian juga dengan orang yang ragu, shalatnya tidak sah. Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 103)

b.   Suci dari hadas kecil dan hadas besar. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW:
“Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi SAW bersabda: Allah tidak menerima shalat seorang dari kamu apabila berhadas hingga dia bersuci. (HR. Bukhari dan Muslim).

c.   Suci badan, pakaian dan tempat dari najis. Untuk keabsahan shalat disyariatkan suci badan, pakaian dan tempat dari najis yang tidak dimaafkan, demikian menurut pendapat jumhur ulama.
d.   Menutup aurat. Allah SWt berfirman:
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid.” (QS. Al-A’raf: 31).

e.   Menghadap kiblat. Allah SWT berfirman:
Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya…” (QS. Al-Baqarah: 150)

Menghadap kiblat dikecualikan bagi orang  yang melaksanakan shalat Al-khauf dan sholat sunnah di atas kendaraan bagi orang musafir dalam perjalanan. Golongan Malikiyah mengaitkan dengan situasi aman dari musuh, binatang buas dan ada kesanggupan. Oleh karena, itu tidak wajib menghadap kiblat apabila ketakutan atau tidak sanggup (lemah) bagi orang sakit.

C.    Rukun-rukun Shalat
Rukun Shalat adalah setiap perkataan atau perbuatan yang akan membentuk hakikat shalat. Jika salah satu rukun ini tidak ada, maka shalat pun tidak dianggap secara syar’i dan juga tidak bisa diganti dengan sujud sahwi.[5] Rukun shalat disebut juga fardhu shalat.
Dalam kitab Fathul Mu’in karya Syeikh Zanuddin Abdul Aziz Al-Malibary rukun-rukun shalat ada 14,[6] yaitu :
1.      Niat
Yaitu kesengajaan melakukan shalat.
2.      Takbiratul Ihram
Yaitu membaca اَللهُ أَكْبَرُ . Takbiratul ihram dilakukan harus bersamaan dengan niat shalat.
3.      Berdiri bagi yang mampu
Rukun berdiri bagi yang mampu berdiri ini hanya terdapat pada shalat fardhu. Sedangkan pada shalat sunnah tidak diwajibkan berdiri.
4.      Membaca Surat Al-Fatihah
Menurut ulama’ Syafi’iyyah, membaca Al-Fatihah hukumnya wajib di tiap-tiap rakaat dan membaca Basmallah juga demikian karena Basmallah bagian dari Al-Fatihah, hal ini di lakukan baik shalat wajib maupun shalat sunnah.
5.      Ruku’
Yaitu membungkukkan badan sehingga dua telapak tangan dapat mencapai lutut. Berarti tidak cukup meletakkan pucuk jari pada lutut.
6.      I’tidal
I’tidal berarti bangun dari ruku’, yaitu kembali dalam posisi badan sebelum ruku’.
7.      Sujud dua kali untuk tiap-tiap rakaat
8.      Duduk diantara dua sujud
9.      Tuma’ninah pada setiap ruku’, i'tidal, sujud, dan duduk di antara dua sujud
Tuma’ninah adalah tenang sejenak setelah semua anggota badan berada pada posisi sempurna ketika melakukan suatu gerakan rukun shalat dengan seukuran lamanya membaca Subhanallah. Tumakninah ketika rukuk berarti tenang sejenak setelah rukuk sempurna. Tuma’ninah ketika sujud berarti tenang sejenak setelah sujud sempurna, dst.
Tuma’ninah dalam setiap gerakan rukun shalat merupakan bagian penting dalam shalat yang wajib dilakukan. Jika tidak tuma’ninah maka shalatnya tidak sah.
10.  Tasyahhud Akhir
11.  Membaca shalawat Nabi
12.  Duduk untuk tasyahhud, shalawat, dan salam
13.  Mengucapkan salam pertama
14.  Tertib
Diwajibkan seluruh rukun-rukun di dalam shalat dilaksanakan dengan tertib sesuai dengan urutannya.

D.    Hal-hal yang Dapat Membatalkan Shalat
Adapun hal-hal yang dapat membatalkan shalat sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Fathul Mu’in, antara lain:
1.      Niat memutuskan shalat atau menggantungkan terputuskannya shalat kepada terjadinya sesuatu. Misal: niat keluar dari shalat padahal shalat belum selesai, atau niat akan membatalkan shalat jika tiba-tiba hujan, dan semacamnya.
2.      Merasa ragu bahwa shalatnya telah terputus/batal.
3.      Bergerak tiga kali atau lebih secara sambung menyambung selain jenis gerakan shalat, kecuali pada shalat khauf atau shalat sunnah dalam perjalanan.
4.      Berbicara dengan sengaja.
5.      Masuknya makanan ataupun minuman kedalam rongga mulut.
6.      Menambah rukun dengan sengaja.
7.      Meyakini atau mengira terhadap fardhu/rukun shalat sebagai sunnah, karena mempermainkan hukum.
8.      Berhadas
9.      Terkena najis yang tidak dima’fu, kecuali jika dibuang seketika.
10.  Terbuka auratnya, kecuali jika segera ditutup kembali.
11.  Sengaja meninggalkan rukun.[7]

E.     Macam-macam Shalat
Dilihat dari hukum melaksanakannya, pada garis besarnya shalat dibagi menjadi dua, yaitu shalat fardu dan shalat sunnah. Selanjutnya shalat fardu juga dibagi menjadi dua, yaitu fardu ain dan fardu kifayah. Demikian pula shalat sunah, juga dibagi menjadi dua, yaitu sunnah muakkad dan ghoiru muakkad.

1.   Shalat fardu
Shalat fardu adalah shalat yang hukumnya wajib, dan apabila dikerjakan mendapatkan pahala, kalau ditinggal mendapatkan dosa.
Ø      Shalat fardu Ain adalah shalat yang wajib dilakukan setiap manusia. Contoh: shalat maktubah (shalat lima waktu), dan shalat Jum’at (khusus bagi laki-laki yang telah memenuhi syarat-syarat shalat Jum’at).
Ø      Shalat fardu kifayah adalah shalat yang diwajibkan pada sekelompok muslim, dan apabila salah satu dari mereka sudah ada yang mengerjakan maka gugurlah kewajiban dari kelompok tersebut.
Contoh: shalat jenazah
Ø      Shalat fardu karena nadzar adalah shalat yang diwajibkan kepada orang yang berjanji kepada Allah SWT sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah atas segala nikmat yang telah diterimanya.
Contoh: Ahmad akan melasanakan ujian, dia bilang kepada dirinya dan teman-temannya, “nanti ketika saya sukses mengerjakan ujian dan lulus saya akan melakukan sholat 50 rokaat.” Ketika pengumuman dia lulus maka Ahmad wajib melaksanakan nadzar tersebut.
 
2.   Shalat Sunnah
Shalat sunnah adalah shalat yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak mendapatkan dosa. Nama lain dari shalat sunnah antara lain: shalat nawafil, tathawwu’, mustahab, dan mandub.[8] Shalat sunnah ada dua macam, yaitu:

a.       Shalat sunnah yang pelaksanaannya tidak disunnahkan berjamaah

1)      Shalat sunnah rowatib

2)      Shalat Witir

3)      Shalat Dluha

4)      Shalat Tahiyyatul Masjid

5)      Shalat Istikharah

6)      Shalat sunnah ihram dan thawaf

7)      Shalat sunnah wudhu

8)      Shalat Awwabin

9)      Shalat tasbih.[9]

 

b.      Shalat sunnah yang pelaksanaannya disunnahkan berjamaah

1)      Shalat Idul Fitri dan Idul Adha

2)      Shalat gerhana

3)      Shalat istisqo’

4)      Shalat tarawih

5)      Shalat tahajjud.[10]


F.     Hikmah Shalat
1.   Tinjauan dari segi moral
a.   Shalat merupakan benteng hidup kita agar jangan sampai terjerumus ke dalam perbuatan keji dan munkar. Hal ini tampak jelas dalam firman Allah SWT :
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar”. (QS. Al Ankabut 45)

b.   Shalat yang khusu’ mewujudkan suatu ibadah yang benar-benar ikhlas, pasrah terhadap zat Yang Maha Suci dan Maha Mulia. Di dalam shalat tersebut kita meminta segala sesuatu dari-Nya, memohon petunjuk untuk mendapatkan jalan yang lurus, mendapat limpahan rahmat, rizki, barokah dan pahala dari-Nya. Oleh karena itu, orang yang shalatnya khusu’ dan ikhlas karena Allah SWT akan selalu merasa dekat kepada-Nya dan tidak akan menghambakan diri, tidak akan menjadikan panutan selain daripada Allah SWT. Dengan kata lain segala sesuatu yang dilakukan hanyalah karena Allah dan hanya untuk mendapatkan ridlo’ dari Allah. Maka pantaslah jika Allah berfirman:
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusu’ dalam shalatnya”. (QS. Al Mu’minuun 1-2)

c.   shalat membersihkan jiwa dari sifat-sifat yang buruk, khususnya cara-cara hidup yang materialis yang menjadikan urusan duniawi lebih penting dari segala-galanya termasuk ibadah kepada Allah. Kebersihan dan kesucian jiwa ini digambarkan dalam sebuah hadits :
"Jikalau di pintu seseorang diantara kamu ada sebuah sungai dimana ia mandi lima kali, maka apakah akan tinggal lagi kotorannya (yang melekat pada tubuhnya) ? Bersabda Rasulullah saw : ‘Yang demikian itu serupa dengan shalat lima waktu yang (mana) Allah dengannya (shalat itu) dihapuskan semua kesalahan’."(HR. Abu Daud)

d.   Di dalam salah satu firman-Nya Allah juga menegaskan nilai positif dari shalat :
"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram". (QS. Ar Ra’d: 28)
e.   Shalat membina rasa persatuan dan persaudaraan antara sesama umat Islam. Hal ini dapat kita lihat antara lain, apabila seseorang shalat tidak dalam keadaan yang khusus pasti selalu menghadap kiblat yaitu Ka’bah di Masjidil Haram Mekah. Umat Islam di seluruh dunia mempunyai satu pusat titik konsentrasi dalam beribadah dan menyembah kepada Khaliq-nya yaitu Ka’bah, hal ini akan membawa dampak secara psikologis yaitu persatuan, kesatuan, dan kebersamaan umat. Contoh lain adalah pada shalat berjamaah, shalat berjamaah juga mengandung hikmah kebersamaan, persatuan, persaudaraan dan kepemimpinan dimana pada setiap gerakan shalat ma’mum mempunyai kewajiban mengikuti gerakan imam, sedangkan imam melakukan kesalahan, maka ma’mum wajib mengingatkan. Sehingga pada shalat berjamaah keabsahan maupun kebenaran dalam shalat lebih terjamin, dan diantara jama’ah akan timbul rasa kebersamaan dan persatuan untuk menyelamatkan jama’ah mereka.

2.   Tinjauan dari segi fisik (kesehatan)
Shalat disamping mengandung hikmah secara moral seperti diuraikan diatas, juga mengandung hikmah secara fisik terutama yang menyangkut masalah kesehatan.
Hikmah shalat menurut tinjauan kesehatan ini dijelaskan oleh dr. A. Saboe yang mengemukakan pendapat ahli-ahli (sarjana) kedokteran yang termasyhur terutama di barat. Mereka berpendapat sebagai berikut :
a.   Bersedekap, meletakkan telapak tangan kanan diatas pergelangan tangan kiri merupakan istirahat yang paling sempurna bagi kedua tangan sebab sendi-sendi, otot-otot kedua tangan berada dalam posisi istirahat penuh. Sikap seperti ini akan memudahkan aliran darah mengalir kembali ke jantung, serta memproduksi getah bening dan air jaringan dari kedua persendian tangan akan menjadi lebih baik sehingga gerakan di dalam persendian akan menjadi lebih lancar. Hal ini akan menghindari timbulnya bermacam-macam penyakit persendian seperti rheumatik. Sebagai contoh, orang yang mengalami patah tangan, terkilir maka tangan/lengan penderita tersebut oleh dokter akan dilipatkan diatas dada ataupun perut dengan mempergunakan mitella yang disangkutkan di leher.
b.   Ruku’, yaitu membungkukkan badan dan meletakkan telapak tangan di atas lutut sehingga punggung sejajar merupakan suatu garis lurus. Sikap yang demikian ini akan mencegah timbulnya penyakit yang berhubungan dengan ruas tulang belakang, ruas tulang punggung, ruas tulang leher, ruas tulang pinggang, dsb.
c.   Sujud, sikap ini menyebabkan semua otot-otot bagian atas akan bergerak. Hal ini bukan saja menyebabkan otot-otot menjadi besar dan kuat, tetapi peredaran urat-urat darah sebagai pembuluh nadi dan pembuluh darah serta limpa akan menjadi lancar di tubuh kita. Dengan sikap sujud ini maka dinding dari urat-urat nadi yang berada di otak dapat dilatih dengan membiasakan untuk menerima aliran darah yang lebih banyak dari biasanya, karena otak (kepala) kita pada waktu itu terletak di bawah.
d.   Duduk Iftirasy (duduk antara dua sujud & tahiyat awal), posisi duduk seperti ini menyebabkan tumit menekan otot-otot pangkal paha, hal ini mengakibatkan pangkal paha terpijit. Pijitan tersebut dapat menghindarkan atau menyembuhkan penyakit saraf pangkal paha (neuralgia) yang menyebabkan tidak dapat berjalan. Disamping itu urat nadi dan pembuluh darah balik di sekitar pangkal paha dapat terurut dan terpijit sehingga aliran darah terutama yang mengalir kembali ke jantung dapat mengalir dengan lancar. Hal ini dapat menghindarkan dari pengakit bawasir.
e.   Duduk tawarruk (tahiyat akhir), duduk seperti ini dapat menghindarkan penyakit bawasir yang sering dialami wanita yang hamil.
f.    Salam, diakhiri dengan menoleh ke kanan dan ke kiri. Hal ini sangat berguna untuk memperkuat otot-otot leher dan kuduk, selain itu dapat pula untuk menghindarkan penyakit kepala dan kuduk kaku.[11]

BAB  III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
  1. Shalat menurut bahasa berarti doa. Sedangkan menurut istilah berarti suatu ibadah kepada Allah, berupa perkataan dengan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’ berupa penyerahan diri secara lahir batin kepada Allah dalam rangka ibadah dan memohon ridho-Nya.
  2. Syarat-syarat shalat yaitu: Islam, baligh, berakal, mengetahui masuk waktu shalat, suci dari hadas besar dan kecil, suci dari najis.
  3. Rukun-rukun shalat yaitu: niat; takbiratul ihram; berdiri bagi yang mampu; membaca Surat Al-Fatihah; ruku’; i’tidal; sujud dua kali untuk tiap-tiap rakaat; duduk diantara dua sujud; tuma’ninah pada setiap ruku’; i'tidal; sujud; dan duduk di antara dua sujud; tasyahhud akhir; membaca shalawat Nabi; duduk untuk tasyahhud, shalawat, dan salam; mengucapkan salam pertama; tertib.
  4. Hal-hal yang dapat membatalkan shalat yaitu:
a.       Niat memutuskan shalat atau menggantungkan terputuskannya shalat kepada terjadinya sesuatu.
b.      Merasa ragu bahwa shalatnya telah terputus/batal.
c.       Bergerak tiga kali atau lebih secara sambung menyambung selain jenis gerakan shalat.
d.      Berbicara dengan sengaja.
e.       Masuknya makanan ataupun minuman kedalam rongga mulut.
f.       Menambah rukun dengan sengaja.
g.      Meyakini atau mengira terhadap fardhu/rukun shalat sebagai sunnah, karena mempermainkan hukum.
h.      Berhadas
i.        Terkena najis yang tidak dima’fu, kecuali jika dibuang seketika.
j.        Terbuka auratnya, kecuali jika segera ditutup kembali.
k.      Sengaja meninggalkan rukun.
l.        Bimbang dalam memutuskan shalat tapi terus melakukannya.
  1. Macam-macam shalat ada shalat fardu dan shalat sunnah.
  2. Hikmah shalat dapat dilihat dari segi moral maupun dari segi medis.

B.     Saran
Dengan segala keterbatasan dan kekurangan penulis, demikianlah makalah ini kami buat. Oleh karena itu, sudah pasti makalah ini memerlukan kritik dan saran yang membangun dari pembaca yang budiman demi lebih baiknya makalah kami selanjutnya. Selamat membaca dan semoga bermanfaat. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

As’ad, H. Aliy. 1980. Terjemah Fathul Mu’in Jilid I. Kudus: Menara Kudus.
Assayuthi, Imam Bashori. 1998. Bimbingan Ibadah Shalat Lengkap. Jakarta: Mitra Umat.
Ritoga, A. Rahman, Zainuddin. 2002. Fiqh Ibadah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
https://id.wikipedia.org/wiki/Rukun_salat. diakses tanggal 15-03-2016 pukul 20.30 wib.
http://f-adikusumo.staff.ugm.ac.id/artikel/hikmah2.html. diakses tanggal 15-03-2016 pukul 20.30 wib.


[1] H. Aliy As’ad, Terjemah Fathul Mu’in Jilid I, (Kudus: Menara Kudus, 1980), Hlm. 9
[2] Imam Bashori Assayuthi, Bimbingan Ibadah Shalat Lengkap, (Jakarta: Mitra Umat, 1998), hlm. 30
[3] H. Aliy As’ad, Terjemah Fathul Mu’in Jilid I, (Kudus: Menara Kudus, 1980) Hlm. 17
[4] Dr. A. Rahman Ritoga, M.A. Dr. Zainuddin, M.A, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hlm. 94-96
[5] https://id.wikipedia.org/wiki/Rukun_salat. diakses tanggal 15-03-2016 pukul 20.30 wib.
[6] H. Aliy As’ad, Terjemah Fathul Mu’in Jilid I, (Kudus: Menara Kudus, 1980), Hlm. 111
[7] H. Aliy As’ad, Terjemah Fathul Mu’in Jilid I, (Kudus: Menara Kudus, 1980), Hlm. 201-215
[8] H. Aliy As’ad, Terjemah Fathul Mu’in Jilid I, (Kudus: Menara Kudus, 1980), Hlm. 233
[9] Ibid, 234-249
[10] Ibid, 251-255
[11] http://f-adikusumo.staff.ugm.ac.id/artikel/hikmah2.html. diakses tanggal 15-03-2016 pukul 20.30 wib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer :