Kamis, 05 Juli 2018

REVIEW JURNAL (Mata Kuliah : Psikologi Kepribadian)


A.    Identitas Jurnal
1.      Judul                         :   “Gambaran Kesejahteraan Psikologis pada Remaja Laki-Laki di SMA Negeri Se-DKI Jakarta”
2.      Keywords                 :   Kesejahteraan psikologis, remaja laki-laki
3.      Nama Penulis            :   1)  Susi Fitri
2)  Meithy Intan Rukia Luawo
3)  Ranchia Noor
4.      Departemen Penulis  :   Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta
5.      Tahun                        :   2017
6.      Metode Penelitian     :   Deskriptif Kuantitatif
7.      Tujuan Penelitian      :   Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kesejahteraan psikologis pada remaja laki-laki di SMA Negeri se-DKI Jakarta

B.     Ringkasan Jurnal
1.      Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kesejahteraan psikologis pada remaja laki-laki di SMA Negeri se-DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Subyek penelitian ini adalah siswa laki-laki di SMA Negeri se-DKI Jakarta dengan sampel 15% dari populasi, dengan teknik multistages random sampling. Sehingga sampel yang diambil sebanyak 303 responden. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen scale of psychological well-being (SPWB) yang diadaptasi dari Ryff, yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya dan menghasilkan 60 butir pernyataan yang valid dan 24 butir pernyataan yang drop dari keseluruhan 84 butir pernyataan. Sedangkan reliabilitasnya sebesar 0,895 yang berarti tinggi. Analisa data hasil penelitian menggunakan teknik deskriptif persentase. Berdasarkan analisa data, dapat disimpulkan bahwa sebagian responden berada pada kategori sedang dengan persentase sebesar 54,45%. Hal ini menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis pada remaja di SMA Negeri se-DKI Jakarta cukup baik. Jika dilihat per aspek, persentase tertinggi ada pada aspek penerimaan diri. Sedangkan jika dilihat per kelas tingkat kesejahteraan psikologis pada remaja laki-laki pada kelas XII memiliki persantase tertinggi.
2.      Pendahuluan
Kesejahteraan psikologis atau psychological well-being merupakan kondisi dimana seseorang memiliki fungsi mental yang baik, merasakan kebahagian, dan dapat mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Ryff (1995), menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis adalah keadaan individu yang dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri sebagaimana adanya, memilki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengarahkan perilakunya sendiri, mampu menguasai lingkungan, serta memiliki tujuan dalam hidup.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis. sehingga tidak semua orang memilki tingkat kesejahteraan psikologis yang sama. Penelitian-penelitian yang sudah ada menunjukkan bahwa tidak ada penentu tunggal dari kesejahteraan. Beberapa kondisi tampaknya diperlukan untuk mencapai kesejahteraan psikologis yang tinggi seperti kesehatan mental dan hubungan sosial yang positif. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan kesejahteraan psikologis diantaranya usia,gender, status sosial, ekonomi, pendidikan, budaya, religiusitas, kepribadian, dan dukungan sosial. Ryff dan Keyes (1995) menemukan bahwa aspek penguasaan lingkungan dan aspek otonomi terdapat pola yang meningkat seiring pertambahan usia.
3.      Metodologi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri di seluruh DKI Jakarta. Penelitian ini di laksanakan pada bulan maret sampai bulan desember 2016. Peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif dalam penelitian survey.
Pada penelitian ini, yang menjadi populasi penelitian adalah remaja SMA Negeri di lima wilayah DKI Jakarta, yaitu 36.529 siswa dari 134 SMA Negeri di DKI Jakarta. Pada penelitian ini, teknik sampel yang digunakan adalah Gugus Bertahap Ganda (dua atau lebih) atau Multistages Sampling. Sehingga, dengan teknik pengambilan sampling yang digunakan terdapat total sampel responden sekitar 303 siswa yang akan mewakili DKI Jakarta.
4.      Hasil dan Pembahasan
Penelitian yang telah dilakukan kepada 303 siswa laki-laki SMA Negeri yang berada di wilayah DKI Jakarta sebagian besar berada pada kategori sedang, artinya sebagian besar remaja laki-laki memiliki kesejahteraan psikologis yang cukup baik.
Remaja laki-laki telah memiliki kesejahteraan psikologis per aspek dengan cukup baik, dimana aspek penerimaan diri, otonomi, penguasaan lingkungan, dan aspek tujuan dalam hidup pada remaja laki-laki berada di kategorisasi sedang dengan jumlah persentase yang lebih tinggi dibandingkan aspek hubungan yang positif dengan orang lain dan aspek perkembangan pribadi.
Posisi teratas pada kategorisasi sedang yaitu aspek penerimaan diri, menunjukkan bahwa remaja laki-laki telah memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan memiliki perasaan yang positif terhadap masa lalu yang cukup baik.
Posisi kedua, aspek otonomi. aspek ini menunjukkan kemampuan laki-laki yang telah mampu mandiri serta dapat mengatasi tekanan sosial.
Posisi ketiga, aspek penguasaan lingkungan pada remaja laki laki disebabkan oleh kematangan sebagai seseorang yang membangun ketertarikan yang kuat di luar dan berpartisipasi dalam aktivitas manusia.
Posisi keempat, aspek tujuan hidup. remaja laki-laki memiliki tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dalam hidup dengan cukup baik. Mayoritas remaja laki-laki memiliki kemandirian pada kategori sedang dan memilki tujuan dalam hidup pada kategori sedang. Sehingga terdapat hubungan positif antara tujuan dalam hidup dengan kemandirian atau semakin tinggi tujuan dalam hidup maka semakin tinggi kemandirian pada remaja laki-laki.
Sedangkan posisi kelima, aspek perkembangan pribadi. Remaja laki-laki menganggap diri mereka dapat membuat kemajuan yang signifikan dan mengembangkan diri mereka untuk masa depan. Dapat dilihat dari kemampuan remaja laki-laki untuk selalu berubah dalam konteks pengembangan sikap atau perilaku baru.

C.    Analisis Jurnal
Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa sebagian besar remaja laki-laki di SMA Negeri se-DKI Jakarta memiliki kesejahteraan psikologis yang cukup baik. Kesejahteraan psikologis ini terbagi menjadi lima aspek yaitu: (1) aspek penerimaan diri, (2) aspek otonomi, (3) aspek penguasaan lingkungan, (4) aspek tujuan hidup, dan (5) aspek perkembangan pribadi.
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa semakin bertambah usia seseorang maka akan lebih tinggi tingkat kesejahteraan psikologisnya. Hal ini sesuai dengan konsep kematangan yang kemukakan oleh Gordon Allport bahwa kematangan kepribadian merupakan hasil akhir keselarasan antara fungsi-fungsi fisik dan psikis sebagai hasil pertumbuhan dan perkembangan. Psikologis remaja adalah pembahasan yang selalu hangat di kalangan para pakar karena selalu berkembang sesuai perkembangan zaman. Kondisi psikologis remaja antara suatu daerah dengan daerah lain bisa saja berbeda karena adanya perbedaan budaya dan adat istiadat.
Pembahasan dan referensi dipaparkan dengan sangat jelas hanya saja pada pembahasan masih menyebutkan referensi-referensi sehingga sedikit membingungkan pembaca. 

D.  Kelebihan dan Kelemahan
      1.   Kelebihan
Kelebihan pada penelitian ini adalah penggunaan teori dan referensi yang sangat gamblang sehingga dapat dipahami secara runtut. Hasil penelitian juga disajikan dengan tabel sehingga mudah untuk dipahami.

      2.   Kelemahan
Penelitian ini terdapat kelemahan yaitu hanya dilaksanakan di kota besar saja. Jika dilaksanakan di wilayah pedesaan mungkin hasilnya sedikit berbeda. Budaya dan pola pikir orang di daerah perkotaan dan pedesaan tentunya berbeda, sehingga kondisi psikologisnya pun juga berbeda.

E.  Saran
1.      Bagi remaja diharapkan agar bisa memahami serta menguasai emosi, sehingga mampu mencapai kondisi emosional yang adaptif, sebagai upaya remaja untuk mendapat tempat, peran, dan penerimaan diri dari lingkungan.
2.      Bagi orang tua diharapkan agar mengetahui kebutuhan anak dan mampu bersikap bijaksana dalam segala permasalahan yang dihadapi oleh anak.

PENDIDIKAN KARAKTER (Mata Kuliah : Isu Kontemporer Pendidikan Islam)


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan suatu sistem  yang teratur dan mengemban misi yang cukup luas yaitu segala sesuatu yang bertalian dengan perkembangan fisik, kesehatan, keterampilan, pikiran, perasaan, kemauan, sosial sampai kepada masalah kepercayaan atau keimanan. Hal ini menunjukkan bahwa sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan formal mempunyai suatu muatan beban yang cukup berat dalam melaksanakan misi pendidikan tersebut. Lebih-lebih kalau dikaitkan dengan pesatnya perubahan zaman dewasa ini yang sangat berpengaruh terhadap anak-anak didik dalam berfikir, bersikap dan berperilaku, khususnya terhadap mereka yang masih dalam tahap perkembangan dalam transisi yang mencari identitas diri.[1]
Pendidikan yang sangat dibutuhkan saat ini adalah pendidikan yang dapat mengintegrasikan pendidikan karakter dengan pendidikan yang dapat meng-optimalkan perkembangan seluruh dimensi anak (kognitif, fisik, sosial-emosi, kreativitas, dan spiritual). Pendidikan dengan model pendidikan seperti ini berorientasi pada pembentukan anak sebagai manusia yang utuh. Kualitas anak didik menjadi unggul tidak hanya dalam aspek kognitif, namun juga dalam karakternya. Anak yang unggul dalam karakter akan mampu menghadapi segala persoalan dan tantangan dalam hidupnya.  Ia juga akan menjadi seseorang yang lifelong learner. Pada saat menentukan metode pembelajaran yang utama adalah menetukan kemampuan apa yang akan diubah dari anak setelah menjalani pembelajaran tersebut dari sisi karakternya. Apabila kita ingin mewujudkan karakter tersebut dalam kehidupan sehari-hari, maka sudah menjadikan kewajiban bagi kita untuk membentuk pendidik sukses dalam pendidikan dan pengajarannya.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.   Bagaimana pengertian pendidikan karakter?
2.   Bagaimana fungsi dan tujuan pendidikan karakter?
3.   Bagaimana konsep pendidikan karakter?
4.   Bagaimana prinsip-prinsip pendidikan karakter?
5.   Apa saja komponen pendukung dalam pendidikan karakter?
6.   Bagaimana penerapan pendidikan karakter?
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Pendidikan Karakter
Dalam dunia pendidikan, terdapat dua istilah yang hampir sama bentuknya, yaitu paedagogie dan paedagogiek. Paedagogie artinya pendidikan, sedangkan paedagogiek berarti ilmu pendidikan. Pedagogik atau ilmu pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki, merenungkan tentang gejala-gejala perbuatan mendidik. Pedagogik berasal dari kata Yunani paedagogia yang berarti pergaulan dengan anak-anak.[2] 
Kata karakter berasal dari bahasa latin kharakter, kharassein, kharax, dalam bahasa Inggris character dan Indonesia “karakter”, Yunani character, dari charassein yang berarti membuat tajam, membuat dalam. Dalam kamus Poerwadaminta, karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak dan budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain. Sedangkan menurut Kamus Bahasa Indonesia karakter diartikan sebagai watak, tabiat, pembawaan, kebiasaan.
Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau paedagogie, berarti bimbingan atau pertolongan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Selanjutnya pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan seseorang  atau kelompok lain agar menjadi dewasa  untuk mencapai tingkat hidup atau penghidupam lebih tinggi dalam arti mental.[3] Sedangkan karakter  menurut Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan, adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat tabiat, temperamen dan watak. Sementara itu, yang disebut dengan berkarakter ialah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat dan berwatak.
Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seserorang yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya.[4] Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter  adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu memperngaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru bebicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Jadi, Pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, linkungan, maupun bangsa, sehingga akan terwujud insan kamil.

B.  Fungsi dan Tujuan Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Pendidikan  karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.
Sahrudin dan Sri Iriani berpendapat bahwa pendidikan karakter bertujuan membentuk masyarakat yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergorong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, serta berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi, yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa sekaligus berdasarkan Pancasila.
Pendidikan karakter memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut:
-     Mengembangkan potensi dasar peserta didik agar ia tumbuh menjadi sosok yang berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik.
-     Memperkuat dan membangun perilaku masyarakat yang multikultur.
-     Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif
Fungsi dan tujuan pendidikan karakter itu sendiri itu dicapai apabila pendidikan karakter dilakukan secara benar dan menggunakan media yang tepat.
               
C. Konsep Pendidikan Karakter
1.   Konsep Pendidikan Karakter dalam Agama Islam
Konsep dasar pendidikan karakter identik dengan pendidikan akhlak. Kata akhlaq bentuk jamak dari khuluq yang menurut bahasa diartikan budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Rumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara Khaliq dan makhluk serta antara makhluk dan makhluk. Kata ini bersumber dari kalimat yang tercantum dalam Al-Quran surah al-Qalam ayat 4.
Artinya : “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”
Dari penjelasan di atas dapat digarisbawahi bahwa pendidikan karakter dan pendidikan akhlak memiliki kesamaan yaitu untuk menjadikan manusia lebih baik. Pendidikan karakter bersumber pada nilai-nilai kebaikan universal (nilai-nilai kehidupan yang baik atau buruknya diakui oleh seluruh umat manusia), dan pada dasarnya ajaran Islam adalah agama yang mengandung nilai-nilai universal yang dapat diterima oleh seluruh umat manusia.
Dengan demikian maka pendidikan akhlak bisa dikatakan sebagai pendidikan karakter atau pembentukan karakter sesuai dengan nilai-nilai Islam yang bersumber pada ajaran Islam yang universal (al-Qur’an dan Hadist).
Konsep pendidikan karakter dalam agama Islam bersumber pada al-Qur’an dan Hadis. Berbagai karakter yang harus dimiliki oleh kaum Muslimin baik menurut al-Qur’an maupun Hadis antara lain:[5]
a.   Bersilaturahmi, menyambung komunikasi
Al-Hadis: Barang siapa ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah ia bersilaturahmi. (HR Bukhari Muslim dari Anas)
b.   Berkomunikasi dengan baik dan menebar salam
Al-Qur’an: Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan debatlah (berdiskusilah) kamu dengan mereka menurut cara yang lebih baik. (QS. An-Nahl: 125)
c.   Jujur, tidak curang, menepati janji dan amanah.
Al-Qur’an: Celakalah orang-orang yang curang dalam timbangan/takaran. (QS. Tathfif: 1)
d.   Berbuat adil, tolong menolong, saling mengasihi, dan saling menyayangi.
Al-Qur’an: Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat adil, baik dan member bantuan kepada kerabat. (QS. An-Nahl: 90)
e.   Sabar dan optimis
Al-Qur’an: Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan orang yang berbuat kebaikan. (QS. Hud: 115)
f.    Kasih sayang dan hormat pada orang tua
Al-Qur’an: Dan Kami wasiatkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada orang tuanya. (QS. Al-Ankabut: 8)
g.   Berkata benar, tidak berdusta
Al-Qur’an: Sangat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. Shaff: 3)
h.   Selalu bersyukur
Al-Qur’an: Allah tidak akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan ber-iman. Dan Allah Maha Mensyukuri, Maha Mengetahui. (QS. An-Nisa’: 147)
Al-Hadis: Tidak termasuk bersyukur kepada Allah orang yang tidak bersyukur kepada manusia (menghargai dan membalas kebaikannya). (HR Turmudzi)
i.    Tidak sombong dan angkuh
Al-Qur’an: Dan janganlah kamu memalingkan muka (karena sombong) dan janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh.Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. (Q.S luqman: 18)
j.    Teguh hati, tidak berputus asa
Al-Qur’an: Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang kafir. (Q.S. Yusuf: 87)
k.   Punya rasa malu dan iman
Al-Hadis: Malu dan iman selalu berkumpul bersama, maka kalau yang satu lenyap, lenyap pulalah yang lain. (H.R Abu Na’im dari Abu Umar)
l.    Berkata yang baik atau diam
Al-Hadis: Barang siapa benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah ia berkata yang baik atau diam. (H.R. Bukhari dan Muslim)
m.  Konsisten, istiqomah
Al-Qur’an: Sesungguhnya orang-orang yang berkata Tuhan kami Allah dan beristiqamah (konsiten), maka tiada ketakutan bagi mereka. (Q.S. Al-Ahqaf: 13)
n.   Bertanggung jawab
Al-Qur’an: Apakah manusia itu akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)? (QS. Qiyamah: 36)
o.   Berbuat jujur, tidak korupsi
Al-Qur’an: Janganlah kamu makan harta sesamamu dengan cara yang tidak benar. (QS. Al-Baqarah: 188)

Implementasi Pendidikan karakter dalam Islam tersimpul dalam karakter pribadi Rasulullah saw. Dalam pribadi Rasul, bersemai nilai-nilai karakter yang mulia dan agung. Allah berfirman dalam Al-Quran surah al-Ahzab ayat 21:
Artinya :“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”.

2.   Konsep Pendidikan Karakter di Indonesia
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dalam rumusan definisi tersebut, secara jelas tersurat tentang adanya konsep penanaman pendidikan karakter.
Jika dipahami lebih jauh, dalam UU ini sudah mencakup pendidikan karekter. Dalam kalimat terakhir dari defenisi pendidikan dalam UU tentang Sisdiknas ini, yaitu memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Selain bagian dari defenisi pendidikan di Indonesia, bagian kalimat tersebut juga menggambarkan tujuan pendidikan yang mencakup tiga dimensi. Yaitu dimensi ketuhanan, pribadi dan sosial. Artinya, pendidikan bukan diarahkan pada pendidikan yang sekuler, bukan pada pendidikan individualistik, dan bukan pula pada pendidikan sosialistik. Tapi dari defenisi pendidikan ini, pendidikan yang diarahkan di Indonesia itu adalah pendidikan mencari keseimbangan antara ketuhanan, individu dan sosial.
Selain tergambar jelas dalam Undang-Undang Sisdiknas, konsep pendidikan karakter juga dirumuskan dalam Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya dan Karakter yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 14 Januari 2010. Hasil pertemuan tersebut merumuskan hal-hal sebagai berikut:
a.   Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari pendidikan nasional secara utuh.
b.   Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dikembangkan secara komprehensif sebagai proses pembudayaan. Oleh karena itu, pendidikan dan kebudayaan secara kelembagaan perlu diwadahi secara utuh.
c.   Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, sekolah, dan orang tua.[6]

Terdapat 18 nilai dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa yang dibuat oleh Diknas, yaitu:
1)      Religius, merupakan suatu sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2)      Jujur, adalah perilaku yang didasarkan pada kebenaran, menghindari perilaku yang salah, serta menjadikan dirinya menjadi orang yang selalu dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3)      Toleransi, suatu tindakan dan sikap yang menghargai pendapat, sikap dan tindakan orang lain yang berbeda pendapat, sikap, dan tindakan dengan dirinya.
4)      Disiplin, suatu tindakan tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan yang harus dilaksanakannya.
5)      Kerja keras, suatu upaya yang diperlihatkan untuk selalu menggunakan waktu yang tersedia untuk suatu pekerjaan dengan sebaik-baiknya sehingga pekerjaan yang dilakukan selesai tepat waktu.
6)      Kreatif, berpikir untuk menghasilkan suatu cara atau produk baru dari apa yang telah dimilikinya.
7)      Mandiri, kemampuan melakukan pekerjaan sendiri dengan kemampuan yang telah dimilikinya.
8)      Demokratis, sikap dan tindakan yang menilai tinggi hak dan kewajiban dirinya dan orang lain dalam kedudukan yang sama.
9)      Rasa ingin tahu, suatu sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui apa yang dipelajarinya secara lebih mendalam dan meluas dalam berbagai aspek terkait.
10)  Semangat kebangsaan, suatu cara berfikir, bertindak, dan wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11)  Cinta tanah air, suatu sikap yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik bangsanya.
12)  Menghargai prestasi, suatu sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat dan mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain.
13)  Bersahabat/komunikatif, suatu tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul dan bekerjasama dengan orang lain.
14)  Cinta damai, suatu sikap dan tindakan yang selalu menyebabkan orang lain senang dan dirinya diterima dengan baik oleh orang lain, masyarakat dan bangsa.
15)  Senang membaca, suatu kebiasaan yang selalu menyediakan waktu untuk membaca bahan bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16)  Peduli sosial, suatu sikap dan tindakan yang selalu ingin memberikan bantuan untuk membantu orang lain dan masyarakat dalam meringankan kesulitan yang mereka hadapi.
17)  Peduli lingkungan, suatu sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan upayaupaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
18)  Tanggung jawab, sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajiban yang seharusnya dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

D.  Prinsip-prinsip Pendidikan Karakter
Pendidikan di sekolah akan berjalan lancar, jika dalam pelaksanaannya memperhatikan beberapa prinsip pendidikan karakter. Terdapat 11 prinsip yang harus dijalankan untuk mewujudkan pendidikan karakter yang efektif, yaitu:
1.      Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter.
2.      Mengidentifikasikan karakter secara komperehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan dan perilaku.
3.      Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter.
4.      Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian.
5.      Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukan perilaku yang baik.
6.      Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna  dan menantang  yang menghargai semua peserta didik, membangun karakter mereka, dan membantu mereka untuk sukses.
7.      Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada para peserta didik.
8.      Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama.
9.      Adanya pembagian kepemimpinan  moral dan dukungan luas  dalam  membangun inisiatif pendidikan karakter.
10.  Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter.
11.  Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan peserta didik.[7]
Berdasarkan pada prinsip-prinsip di atas, dapat dikemukakan bahwa program pendidikan karakter di sekolah perlu dikembangkan dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.      Pendidikan karakter di sekolah harus dilaksanakan secara berkelanjutan (kontinuitas). Hal ini mengandung arti bahwa proses pengembangan nilai-nilai karakter merupakan proses yang panjang, mulai sejak awal peserta didik masuk sekolah hingga mereka lulus sekolah pada suatu satuan pendidikan.
2.      Pendidikan karakter hendaknya dikembangkan melalui semua mata pelajaran terintegrasi, melalui pengembangan diri, dan budaya suatu satuan pendidikan.  Pembinaan karakter bangsa dilakukan dengan  mengintegrasikan dalam seluruh mata pelajaran, dalam kegiatan kurikuler pelajaran, sehingga semua mata pelajaran diarahkan pada pengembangan nilai-nilai karakter tersebut. Pengembangan nilai-nilai karakter juga dapat dilakukan dengan melalui pengembangan diri, baik melalui konseling maupun kegiatan ekstrakurikuler, seperti kegiatan kepramukaan dan lain sebagainya.
3.      Sejatinya nilai-nilai karakter tidak diajarkan dalam bentuk pengetahuan, jika hal tersebut diintegrasikan dalam mata pelajaran, kecuali bila dalam bentuk mata pelajaran agama yang di dalamnya mengandung ajaran maka tetap diajarkan dengan proses, pengetahuan (knowing), melakukan (doing), dan akhirnya membiasakan (habit).
4.      Proses pendidikan dilakukan peserta didik dengan secara aktif (active learning) dan menyenangkan (enjoy full learning). Proses ini menunjukkan bahwa proses pendidikan karakter dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru. Sedangkan guru menerapkan “tutwuri handayani”  dalam setiap perilaku sesuai yang ditunjukan agama.

E.  Komponen Pendukung dalam Pendidikan Karakter
Sebagaimana halnya dunia pendidikan pada umumnya, pendidikan mensyaratkan  keterlibatan banyak pihak di dalamnya. Kita tidak bisa menyerahkan tugas pengajaran, terutama dalam rangka mengembangkan karakter  peserta didik, hanya semata-mata kepada guru. Sebab, setiap peserta didik memiliki latar belakang yang berbeda, yang ikut menentukan kepribadian dan karakternya. Oleh karena itu, guru, orang tua maupun masyarakat seharusnya memiliki keterlibatan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Oleh karena itu, ada beberapa komponen yang perlu diperhatikan dalam rangka menjalankan pendidikan karakter diantaranya sebagai berikut:
a.   Partisipasi Masyarakat
Dalam hal ini, masyarakat meliputi tenaga pendidik, orangtua, anggota masyarakat, dan peserta didik itu sendiri, semua komponen itu hendaknya dapat bekerja sama dan membantu memberikan masukan, terutama mengenai langkah-langkah penanaman karakter bagi peserta didik.
Oleh sebab itu, setiap sekolah yang akan menerapkan pendidikan karakter bagi peserta didiknya harus memiliki badan khusus yang dibentuk sebagai sarana komunikasi antara peserta didik, tenaga pendidik, orangtua dan masyarakat. Badan ini bertugas membicarakan konsep dan nilai-nilai yang diperlukan untuk mendidik karakter peserta didik.
b.   Kebijakan Pendidikan
Meskipun pendidikan karakter lebih mengedepankan aspek moral dan tingkah laku, namun bukan berarti  sama sekali tidak menetapkan kebijakan-kebijakan. Sekolah perlu menetapkan landasan filosofi yang tepat dalam membuat pendidikan karakter, serta menentukkan dan menetapkan tujuan, visi dan misi, maupun beberapa kebijakan lainnya, hal ini bisa dilakukan dengan mengadopsi kebijakan pendidikan formal atau kebijakan baru.
c.   Kesepakatan
Betapa pun pentingnya dan mendesaknya lembaga pendidikan menerapkan pendidikan karakter, namun bukan berarti itu ditetapkan secara sepihak. Sekolah harus mengadakan pertemuan dengan orang tua peserta didik terlebih dahulu dengan melibatkan  tenaga guru dan perwakilan masyarakat guna mencari kesepakatan-kesepakatan di antara mereka. Pertemuan itu bertujuan memperoleh kesepakatan definisi pendidikan karakter, fungsi dan manfaatnya, serta cara mewujudkannya.
d.   Kurikulum Terpadu
Agar tujuan penerapan karakter dapat berjalan secara maksimal, sekolah perlu membuat kurikulum terpadu  di semua tingkatan kelas. Sebab, setiap peserta didik memiliki hak yang sama untuk mendapatkan materi mengenai pengembangan karakter. Oleh karena itu, meskipun pendidikan karakter perlu diperkenalkan sejak dini, namun bukan berarti tidak berlaku bagi peserta didik yang sudah dewasa. Dan, salah satu cara penerapannya adalah pemberlakuan kurikulum terpadu dengan semua mata pelajaran.
e.   Pengalaman Pembelajaran
Pendidikan karakter sebenarnya lebih menitikberatkan pada pengalaman daripada sekedar pemahaman. Oleh karena itu, melibatkan peserta didik dalam berbagai aktivitas positif dapat membantunya mengenal dan mempelajari kenyataan yang dihadapi. Pelayanan yang baik oleh seorang guru berupa kerja sama, pendampingan, dan pengarahan optimal, merupakan komponen yang perlu diberlakukan secara nyata. Sebab, hal itu akan memberikan kesan positif bagi peserta didik dan mempengaruhi cara berpikirnya sekaligus karakternya
f.    Evaluasi
Guru perlu melakukan evaluasi sejauhmana keberhasilan pendidikan karakter yang sudah diterapkan. Evaluasi dilakukan tidak dalam ragka mendapatkan nilai, melainkan mengetahui sejauhmana peserta didik mengalami perilaku dibandingkan sebelumnya.
Dalam hal ini, guru harus mengapresiasi setiap aktivitas kebaikan  yang dilakukan peserta didik, kemudian memberinya penjelasan mengenai akibat aktivitas tersebut dalam pengembangan karakternya.
g.   Peran Orang Tua
Untuk mendukung keberhasilan, pihak sekolah hendaknya meminta orangtua peserta didik untuk ikut terlibat memberikan pengajaran karakter ketika peserta didik berada di rumah. Bahkan, sekolah perlu memberikan gambaran umum tentang prinsip-prinsip yang diterapkan di sekolah dan di rumah, seperti aspek kejujuran, dan lain sebagainya.
Tanpa melibatkan peran orangtua di rumah, berarti sekolah akan tetap kesulitan menerapkan pendidikan karakter terhadap peserta didik. Sebab, interaksinya justru lebih banyak dihabiskan di rumah bersama keluarga.
h.   Pengembangan Staf
Perlu disediakan waktu pelatihan dan pengembangan bagi para staf di sekolah sehingga mereka dapat membuat dan melaksanakan pendidikan karakter secara berkelanjutan. Hal itu termasuk waktu untuk diskusi dan pemahaman dari proses dan program, serta demi menciptakan pelajaran dan kurikulum selanjutnya. Perlu diingat bahwa semua pihak di sekolah merupakan sarana yang perlu dimanfaatkan untuk membantu menjalankan pendidikan karakter
i.    Program
Program kependidikan karakter harus dipertahankan dan diperbaharui melalui pelaksanaan dengan perhatian khusus pada tingkat komitmen yang tinggi dari atas, dana yang memadai, dukungan untuk koordinasi distrik staf yang berkualitas tinggi, pengembangan profesional berkelanjutan dan jaringan, serta dukungan sistem bagi guru yang melaksanakan program tersebut

F.   Penerapan Pendidikan Karakter
Penerapan pendidikan karakter sebaiknya dimulai sejak usia anak-anak (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Oleh karena itu, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dalam lingkungan keluarga yang merupakan lingkungan awal bagi pertumbuhan anak.
Pembentukan karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Karakter tidak terbatas pada pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuaanya jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah emosi dan kebiasan diri.[8] Dengan demikian diperlukan tiga komponen yang baik yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling  atau perasaan (penguatan emosi), dan moral action (perbuatan bermoral). Hal ini diperlukan agar peserta didik dan atau warga sekolah lain yang terlibat dalam sistem pendidikan tersebut sekaligus dapat memahami, merasakan, menghayati, dan mengamalkan (mengerjakan) nilai-nilai kebajikan.

BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
1.   Pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, linkungan, maupun bangsa, sehingga akan terwujud insan kamil.
2.   Fungsi pendidikan karakter antara lain: (1) mengembangkan potensi dasar peserta didik agar ia tumbuh menjadi sosok yang berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik, (2) memperkuat dan membangun perilaku masyarakat yang multikultur, (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif.
      Tujuan pendidikan karakter: membentuk masyarakat yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergorong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, serta berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi, yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa sekaligus berdasarkan Pancasila.
3.   Konsep pendidikan karakter dalam Islam yaitu pembentukan karakter sesuai dengan nilai-nilai Islam yang bersumber pada ajaran Islam yang universal (al-Qur’an dan Hadist).
      Konsep pendidikan karakter di Indonesia mencakup tiga dimensi. Yaitu dimensi ketuhanan, pribadi dan sosial.
4.   Prinsip-prinsip pendidikan karakter: (1) harus dilaksanakan secara berkelanjutan, (2) diaplikasikan pada semua mata pelajaran yang relevan, (3) tidak hanya diajarkan dalam bentuk pengetahuan saja tetapi dilaksanakan dan dibiasakan, (4) dilaksanakan secara aktif dan menyenangkan.
5.   Komponen pendukung dalam pendidikan karakter: (1) partisipasi masyarakat, (2) kebijakan pendidikan, (3) kesepakatan, (4) kurikulum terpadu, (5) pengalaman, (6) evaluasi, (7) peran orang tua, (8) pengembangan staf, (9) program.
6.   Penerapan pendidikan karakter sebaiknya dimulai sejak usia anak-anak dan dimulai dalam lingkungan keluarga yang merupakan lingkungan awal bagi pertumbuhan anak.

B.  Saran
Dengan berbagai uraian di atas, tentunya tidak lepas dari berbagai kekurangan baik dari segi isi materi, teknik penulisan dan sebagainya, untuk itu sangat diharapkan saran maupun kritikan yang membangun dalam perbaikan makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Agustian, Ari Gunanjar. 2006. Rahasia Membangkitkan Emosional Spiritual Quetiont Power. Jakarta: Arga.
Asmani, Jamal Ma’mur. 2012. Buku panduan internalisasi pendidikan karakter di sekolah. Yogyakarta: Diva Press.
Departemen Agama. 2001. Kendali Mutu, Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.
Junaedi, Mahfud. 2017. Paradigma Baru Filsafat Pendidikan Islam. Depok: Kencana.
Karsidi, Ravik. 2018. Ilmu Pendidikan dan Paradigma Pendidikan Inklusif yang Berkualitas, https://www.uny.ac.id/fokus-kita/prof-dr-ravik-karsidi-ms, diakses tgl. 5 April 2018.
Munir, Abdullah. 2010. Pendidikan Karakter. Yoggyakarta: Pedagogia.
N, Sudirman. 1992. Ilmu pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Rosidatun. 2018. Model Implementasi Pendidikan Karakter. Gresik: Caremedia Communication.


[1] Departemen Agama, Kendali Mutu, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001), hal. 10
[2] Ravik Karsidi, Ilmu Pendidikan dan Paradigma Pendidikan Inklusif yang Berkualitas, https://www.uny.ac.id/fokus-kita/prof-dr-ravik-karsidi-ms, diakses tgl. 5 April 2018.
[3] Sudirman N, Ilmu pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992) hal. 4
[4] Abdullah Munir, Pendidikan Karakter, (Yoggyakarta: Pedagogia, 2010), hal. 4
[5] Mahfud Junaedi, Paradigma Baru Filsafat Pendidikan Islam, (Depok: Kencana, 2017), hal 260
[6] Rosidatun, Model Implementasi Pendidikan Karakter, (Gresik: Caremedia Communication, 2018), hal. 25
[7] Jamal Ma’mur Asmani, Buku panduan internalisasi pendidikan karakter di sekolah, (Yogyakarta: Diva Press, 2012), hal. 56-57
[8] Ari Gunanjar Agustian, Rahasia Membangkitkan Emosional Spiritual Quetiont Power, (Jakarta: Arga, 2006) hal. 86

Populer :